Subscribe Us

ksk logo.jpg

Fitrah Manusia


Oleh : Dr. Syamsunar Nurdin


فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
QS. Ar-Ruum ayat 30

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Kata fitrah secara leksikal bermakna watak ciptaan suatu maujud, namun dalam istilahnya mempunyai pengertian yang bermacam-macam. Dan yang kita maksudkan fitrah di sini adalah sisi-sisi universal yang terdapat pada manusia dan mendasari sifat dan kecenderungan hakiki manusia dalam menerima agama dan penyembahan kepada Tuhan.

Adapun mengenai fitrah manusia kepada Tuhan dan agama terdapat tiga pandangan:

1. Membenarkan keberadaan Tuhan merupakan pengetahuan yang bersifat fitrah manusia. Fitrah dalam pengertian ini adalah fitrah akal yang berhubungan dengan sistem pengenalan dan pengetahuan manusia.

2. Manusia secara hudhuri dan syuhudi memiliki pengetahuan kepada Tuhan, dan manusia berdasarkan potensinya masing-masing mendapatkan pengetahuan hudhuri dari Tuhan tanpa perantara.

3. Fitrah manusia kepada Tuhan adalah kecenderungan alami dan esensi yang terdapat dalam diri manusia, yakni kecenderungan dan keinginan kepada Tuhan merupakan hakikat penciptaan manusia.

Syahid Murtadha Muthahari  dalam kitab Majmu’e âtsar, jilid 6, hal.934, mengomentari pandangan pertama  berkata: Sebagian orang yang berpandangan tentang kefitrahan pengetahuan kepada Tuhan yang mereka maksud dalam hal ini adalah fitrah akal. Mereka berkata bahwa manusia berdasarkan hukum akal yang bersifat fitrah tersebut tidak membutuhkan premis-premis argumentasi dalam menegaskan wujud Tuhan.

Dengan memperhatikan tatanan eksistensi dan keteraturan segala sesuatu, maka otomatis dan tanpa membutuhkan argumen, manusia mendapatkan keyakinan tentang keberadaan Sang Pengatur yang Maha Perkasa.

Pandangan kedua tentang fitrah adalah manusia secara fitrah mempunyai pengetahuan hudhuri kepada Tuhan, bukan dengan ilmu hushuli yang diperoleh lewat argumentasi akal. Yakni manusia mempunyai hubungan yang dalam dan hakiki dengan penciptanya, dan ketika manusia memandang ke dalam dirinya, dia akan menemukan hubungan tersebut.

Karena kebanyakan manusia sibuk dengan kehidupan materi, maka dia tidak mendapatkan hubungan dengan penciptanya. Tapi manusia pada saat memutuskan hubungannya dengan kesibukan-kesibukan kehidupan dunia, atau saat manusia kehilangan harapan dari sebab-sebab materi, barulah manusia merasakan hubungan tersebut yang terdapat dalam dirinya.

Fitrah dalam pandangan ketiga juga bukan fitrah akal atau pengetahuan hushuli yang sederhana, tetapi yang dimaksud adalah fitrah qalbu. Syahid Muthahari berkata: Fitrah qalbu adalah manusia secara khusus diciptakan berkecenderungan dan berkeinginan kepada Tuhan.

Masih menurut Syahid  Muthahari  di  Majmu’e âtsar, dalam diri manusia telah diletakkan suatu bentuk insting pencarian Tuhan, kecenderungan kepada Tuhan, cinta dan penyembahan kepada Tuhan, sebagaimana insting kerinduan kepada  ibu dalam watak seorang anak.

Anak-anak yang baru dilahirkan meskipun belum memahami makna kesadaran nyata tetapi terdapat dalam dirinya apa yang tidak disadarinya berupa kecenderungan kepada ibu dan kerinduan padanya.

Dalam wujud manusia terdapat kecenderungan seperti ini, suatu kecenderungan agung dan tinggi, yakni kecenderungan penyembahan dan kecenderungan kepada Tuhan. Kecenderungan inilah yang membawa manusia ingin berhubungan dengan suatu hakikat yang tinggi dan ingin dekat kepada hakikat tersebut serta mensucikannya.

Fitrah manusia yang telah diciptakan Tuhan dan diletakkan pada diri manusia dalam bentuk tabiat penciptaan, dengan tabiat tersebut  manusia menerima agama dan menyembah dan mencintai Tuhan.

Gambar creative bird dari metroworld

Posting Komentar

0 Komentar