Oleh : Ust. Dr. Muhammad Adlani
Dalam perspektif
filosof Islam, hubungan kausalitas bersifat universal dan tidak dibatasi pada
alam tertentu, tapi dapat diterapkan pada semua alam, baik materi maupun
nonmateri (gaib).
1.
Hukum Kausalitas
Hukum kausalitas
berbunyi, "Setiap akibat membutuhkan sebab." Definisi ini badihi,
jelas, dan gamblang, karenanya tidak membutuhkan argumentasi. Ketika kita
mempersepsi makna akibat, suatu realitas yang bergantung kepada realitas yang
lain, maka kita akan memahami bahwa kebergantungan dan kebutuhan kepada
realitas yang lain merupakan konsekuensi dan hakikat suatu akibat. Jadi,
sebenarnya kita tidak perlu argumentasi dan dalil dalam membuktikan kebenaran
hukum dan prinsip kausalitas.
Dengan
memperhatikan definisi Wujud-Niscaya dan wujud-mungkin yang telah dijabarkan di
atas, maka hukum kausalitas itu menjadi demikian: setiap wujud-mungkin
membutuhkan sebab. Secara esensial, wujud-mungkin berada di antara
Wujud-Niscaya dan wujud-mustahil atau antara niscaya ada dan mustahil ada.
Wujud yang demikian ini, supaya mengada niscaya dan mesti memerlukan suatu
sebab yang akan menghadirkan dan mewujudkannya, dan tanpa sebab ini, ia
mustahil ada dan mengada. Inilah teori kausalitas.
Ciri-ciri
wujud-mungkin sebagai berikut: wujudnya lemah, terbatas, bergantung secara
hakiki dan mutlak kepada sebabnya, kebutuhan kepada sebabnya bersifat abadi dan
kekal, tidak sempurna, dan secara esensial terus mengalami perubahan,
perpindahan, dan gerak. Perubahan, perpindahan, dan pergerakan ini merupakan
ciri dan sifat hakiki dari suatu realitas yang butuh, berkekurangan, dan
miskin.
Wujud yang tidak
sempurna, mustahil dapat menafikan kebutuhan dan kekurangan dari dirinya
selama-lamanya. Karena itu, wujud-mungkin secara aktual niscaya senantiasa
memerlukan realitas yang maha sempurna dalam memenuhi segala kekurangannya,
mencukupkan seluruh kebutuhannya, dan mengaktualkan semua potensinya.
2. Hakikat
Kausalitas
Hakikat kausalitas
adalah setiap akibat memerlukan sebab atau setiap wujud-mungkin membutuhkan
Wujud-Niscaya. Sebagian filosof barat, karena keliru memahami hakikat
kausalitas, beranggapan bahwa setiap realitas atau eksistensi memerlukan sebab.
Karena Tuhan adalah realitas dan eksistensi, maka memerlukan sebab pula.
John Hospers dalam
menegaskan eksistensi Tuhan berkata, "Begitu banyak anak remaja dan orang
dewasa dengan penuh keraguan bertanya kepada orang tua mereka tentang sebab
bagi eksistensi Tuhan. Pertanyaan mereka bisa dibenarkan, karena kita telah
menegaskan bahwa segala sesuatu memerlukan sebab, dan kalau proposisi ini
benar, maka eksistensi Tuhan (yang karena tergolong sebagai sesuatu) memiliki
sebab pula, dan kalau Tuhan tidak memiliki sebab, maka proposisi itu salah.
Oleh karena itu,
argumen wujud akan kehilangan keabsahannya, bahkan mengandung kontradiksi.
Pernyataan yang
berbunyi: Tuhan tidak memiliki sebab, ini bertentangan dengan definisi
kausalitas yang berbunyi: segala sesuatu memiliki sebab. Kalau definisi ini
sebagai mukadimah argumen kemungkinan dan keniscayaan adalah benar, maka
silogisme argumen kemungkinan dan keniscayaan adalah benar pula, tetapi
mukadimah itu salah. Begitu banyak masyarakat tidak memahami kenapa argumen ini
digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Mereka, pada akhirnya melupakan
cara tersebut untuk menegaskan keberadaan Tuhan."
Kritik John
Hospers dan mereka yang sealiran dengannya, beranggapan bahwa segala realitas
memerlukan sebab, padahal maksud dari prinsip kausalitas adalah setiap wujud
yang tidak sempurna niscaya memerlukan sebab, bukan segala realitas atau wujud.
Tuhan adalah realitas dan wujud yang sempurna, Dia bukan wujud yang
berkekurangan. Oleh karena itu, Tuhan tidak memiliki sebab, bahkan Dialah sebab
pertama dan sebab dari segala sebab. Tuhan adalah realitas dan wujud yang swa-ada
(ada dengan dirinya sendiri).
Penegasan di atas
bisa dianalogikan dengan ungkapan berikut: sesuatu yang bergaram dan
kegaramannya bersumber dari zat lain seperti air, maka kegaramannya bukanlah
bersifat esensial, karena bersumber dari zat lain. Ini berbeda jika
dibandingkan dengan zat garam itu sendiri, yang kegaramannya bersifat esensial,
yakni bukan berasal dari zat lain. Oleh karenanya, zat garam tidak memerlukan
zat lain untuk kegaramannya. Zat garam bergaram dengan sendirinya atau
swa-garam.
Definisi yang
sempurna tentang hukum kausalitas adalah setiap wujud yang lemah dan rendah
membutuhkan sebab. Definisi kausalitas yang digunakan oleh Mulla sadra adalah
setiap kuiditas (wujud-mugkin) dalam keberadaan dan ketiadaannya membutuhkan
sebab.
3. Kesepadanan dan
Kesesuaian Antara Sebab dan Akibat
Salah satu
pembahasan penting dalam teori kausalitas adalah kesepadanan, keserasian,
keharmonisan, kecocokan, keselarasan, dan kesesuaian antara sebab dan akibat.
Filosof Islam membagi sebab dalam dua bagian, sebab Ilahi dan sebab natural.
Sebab Ilahi adalah
sebab pemberi eksistensi, bukan pemberi kuiditas kepada akibat. Sebab seperti
ini meniscayakan, kesempurnaan eksistensial akibat bersumber dari kesempurnaan
eksistensial sebab atau kesempurnaan eksistensial sebab niscaya ada pada akibat
pula, karena menurun kepada akibatnya. Jika suatu sebab tidak memiliki
kesempurnaan eksistensial, maka akibat pun mustahil memilikinya. Kesempurnaan
yang mesti dimiliki oleh sebab dan akibatnya adalah kesempurnaan eksistensial,
bukan kesempurnaan kuiditas.
Kaidah filsafat
berbunyi: sesuatu yang tidak memiliki mustahil bisa memberi. Inilah makna
kesepadanan dan keserasian antara sebab dan akibat. Berdasarkan kaidah ini,
eksistensi sesuatu tidak otomatis berasal dari sebab tertentu. Setiap
kesempurnaan akibat yang khusus berasal dari sebab yang khusus. Dan
kesempurnaan sebab yang khusus meniscayakan kesempurnaan akibat yang khusus
pula. Pengetahuan terhadap hubungan kesepadanan antara sebab Ilahi dan
akibatnya diperoleh melalui persepsi akal, bukan dengan metode empiris.
Sebab natural
berbeda dengan sebab Ilahi, karena hanya berkaitan dengan gerak. Sebab ini
disebut pula sebab materi.
Aplikasi
sebab-sebab natural terbatas pada kondisi-kondisi tertentu. Sebab ini hanya
berlaku di alam materi. Alam materi meniscayakan gerak, karenanya
perubahan-perubahan yang terjadi di alam ini dikarenakan oleh sebab natural.
Pembuktian
kesepadanan sebab natural dan akibatnya adalah dengan metode empiris, bukan
persepsi akal. Misalnya api adalah panas. Kalau pembuktian kaidah ini melalui
persepsi akal, maka sebab api niscaya panas. Namun tidaklah demikian. Dengan
metode empiris, kita dapat mengetahui sebab natural api. Kita ketahui bahwa
tidak semua benda merupakan sebab natural api.
Sebagian filosof barat menolak secara mutlak kaidah kesepadanan antara sebab dan akibat.
Jawabannya, kaidah
ini adalah kaidah akal yang tidak bersumber dari perkara-perkara empiris.
Kaidah ini tidak memerlukan dalil karena bersifat aksioma. Berbeda dengan sebab
natural yang berhubungan dengan perkara-perkara empiris. Karena itu, mustahil
menerapkan kaidah ini secara umum. Dan membatasinya hanya pada sebab natural,
berkonsekuensi tidak berlakunya kaidah ini secara umum.
4. Hubungan
Niscaya Antara Sebab dan Akibat
Hubungan
keniscayaan antara sebab dan akibat bermakna bahwa ketika sebab sempurna ada,
maka akibatnya pun niscaya ada atau akan mengada. Adalah mustahil terpisah
antara keberadaan akibat dan keberadaan sebab sempurna.
Yang dimaksud
dengan sebab sempurna adalah syarat-syarat dan kebutuhan-kebutuhan yang harus
terpenuhi dalam perwujudan suatu akibat. Kalau diasumsikan bahwa akibat tidak
ada dengan kehadiran sebabnya, berarti ada syarat-syarat dan kondisi-kondisi
yang tidak terpenuhi secara sempurna oleh sebabnya. Jika asumsi ini diterima,
maka terjadi kontradiksi dengan kesempurnaan mutlak suatu sebab. Begitu juga,
jika diasumsikan adanya halangan dalam perwujudan suatu akibat, inipun
bertentangan dengan kesempurnaan mutlak suatu sebab, karena tiadanya halangan ini
juga merupakan syarat bagi perwujudan suatu akibat. Kesempurnaan mutlak suatu
sebab berarti meniscayakan tiadanya segala bentuk halangan dan hambatan dalam
perwujudan suatu akibat.
5. Kebersamaan
Hakiki Antara Sebab dan Akibat
Di sini akan
dibahas dua poin:
Jika sebab
sempurna ada, niscaya akibatnya ada;
Jika akibat ada, niscaya sebab sempurnanya ada.
Jika akibat ada, niscaya sebab sempurnanya ada.
Inti poin pertama adalah akibat senantiasa bersama dengan sebab sempurnanya atau keduanya mustahil terpisah. Adalah mustahil jika sebab sempurna ada tapi akibatnya tiada atau akibat ada tetapi sebab sempurnanya tiada. Setiap sebab sempurna ada niscaya akibatnya ada pula. Prinsipnya, terdapat kebersamaan hakiki yang tidak terpisahkan antara sebab sempurna dan akibatnya.
Argumen untuk poin
pertama dirumuskan sebagai berikut:
Pertama-tama kita
asumsikan, sebab sempurna ada, namun pada saat yang sama, akibatnya tiada.
Dengan asumsi ini, sebab sempurna ada dan akibatnya tiada. Hal itu bertentangan
dengan prinsip kausalitas. Berdasarkan prinsip ini, tiadanya akibat karena
tiadanya sebab sempurna. Kalau diasumsikan, akibat tiada, berdasarkan prinsip
kausalitas, maka niscaya sebab sempurnanya tiada, Karena sebab sempurnanya ada
(berdasarkan asumsi di atas), pada saat yang sama, ia tiada (berdasarkan
prinsip kausalitas itu), maka terjadi kontradiksi.
Setelah
menjelaskan poin pertama, kita akan membahas poin kedua. Hakikat poin kedua,
jika akibat ada, niscaya sebab sempurnanya senantiasa ada.
Sebagian teolog
Islam menolak pemikiran ini dengan memberikan contoh antara bangunan (baca:
akibat) dan tukang bangunan (baca: sebab) dan antara anak (baca: akibat) dan
kedua orang tuanya (baca: sebab). Argumen mereka antara lain: jika tukang
bangunan meninggal, rumah tetap ada, begitu pula, jika orang tua meninggal,
anak-anaknya tetap ada. Karena itu, mustahil terdapat kebersamaan hakiki antara
sebab dan akibatnya.
Jawaban kritikan:
Sebab terbagi dua:
Sebab sempurna
(sebab hakiki), contohnya matahari dengan cahayanya;
Sebab tidak sempurna atau cacat (sebab tidak hakiki), contohnya tukang bangunan dengan bangunannya.
Sebab tidak sempurna atau cacat (sebab tidak hakiki), contohnya tukang bangunan dengan bangunannya.
Yang dimaksud dengan kebersamaan hakiki antara sebab dan akibatnya adalah kebersamaan hakiki antara sebab sempurna dan akibatnya, bukan antara sebab tidak sempurna atau cacat dan akibatnya. Adalah mustahil cahaya matahari (akibat) ada tanpa keberadaan mataharinya (sebab sempurna). Dalam sebab tidak sempurna sangat mungkin terpisah antara sebab dan akibatnya atau sebaliknya, contohnya antara tukang bangunan dengan bangunan atau antara orang tua dengan anak.
Argumentasi untuk
poin kedua:
Untuk menetapkan
kebenaran proposisi itu, yakni mustahil terpisahnya akibat dan sebab
sempurnanya, kita tetap menggunakan metode di atas, yaitu mengasumsikan bahwa
akibat ada, dan pada saat yang sama, sebab sempurnanya tidak mesti ada. Dengan
ungkapan lain, setelah akibat ada, sebab sempurnanya tidak mesti ada secara
abadi, yakni sebab sempunanya bisa tetap ada dan bisa tiada. Jika pada asumsi
ini, sebab sempurnanya tiada, sementara akibatnya ada, namun pada saat yang
sama, sebab sempurnanya tiada.
Berdasarkan teori
kausalitas, tiadanya sebab sempurna meniscayakan tiadanya akibat. Jadi kalau
sebab sempurnanya tiada (berdasar pada asumsi itu), maka akibatnya pun niscaya
tiada (berdasarkan teori kausalitas). Karena akibatnya ada (berdasarkan asumsi
itu), pada saat yang sama, akibatnya tiada pula (berdasarkan teori kausalitas),
maka terjadi kontradiksi.
6. Hubungan Sebab
Akibat hanya pada Tataran Wujud
Hal yang harus
diperhatikan di sini adalah hubungan kausalitas merupakan hubungan yang
dibangun di atas eksistensi dan wujud, bukan di atas kuiditas (mahiyah).
Hubungan kausalitas terjadi di antara dua wujud, yakni satu wujud yang
senantiasa butuh kepada wujud lain. Dengan ungkapan lain, hanya eksistensi dan
wujud kuiditas yang membutuhkan wujud lain. Dari sini dapat diketahui
ketidaktepatan definisi kausalitas yang berbunyi, "Kuiditas membutuhkan
sebab dalam keberadaan dan ketiadaannya." Karena kuiditas sebagaimana
kuiditas itu sendiri tidaklah ada dan tidak memiliki eksistensi.
Bagaimana mungkin
yang-tiada dapat dikatakan bergantung dan butuh kepada realitas yang lain.
Misalnya dikatakan, Yazid tiada, yakni ia tidak memiliki realitas dan
keberadaan sama sekali. Karena itu, mustahil jika kita katakan, "Yazid
bergantung dan butuh kepada seseorang." Dengan demikian, tidak ada
kausalitas (hubungan sebab-akibat) dalam ketiadaan.
Sesungguhnya
subyek pembahasan teori kausalitas adalah wujud-mungkin, bukan kuiditas. Dengan
demikian definisi kausalitas adalah wujud-mungkin yang membutuhkan wujud lain
dalam keberadaannya.
*Tulisan ini disajikan pada kajian terbatas di Komunitas Sungai Kenabian (medio Februari 2020)
*Tulisan ini disajikan pada kajian terbatas di Komunitas Sungai Kenabian (medio Februari 2020)
0 Komentar