Subscribe Us

ksk logo.jpg

Argumen Wujud dalam Pembuktian Eksistensi Tuhan (4)


 

 Oleh : Ust. Dr. Muhammad Adlani

Dalam perspektif filosof Islam, hubungan kausalitas bersifat universal dan tidak dibatasi pada alam tertentu, tapi dapat diterapkan pada semua alam, baik materi maupun nonmateri (gaib).

1.      Hukum Kausalitas

Hukum kausalitas berbunyi, "Setiap akibat membutuhkan sebab." Definisi ini badihi, jelas, dan gamblang, karenanya tidak membutuhkan argumentasi. Ketika kita mempersepsi makna akibat, suatu realitas yang bergantung kepada realitas yang lain, maka kita akan memahami bahwa kebergantungan dan kebutuhan kepada realitas yang lain merupakan konsekuensi dan hakikat suatu akibat. Jadi, sebenarnya kita tidak perlu argumentasi dan dalil dalam membuktikan kebenaran hukum dan prinsip kausalitas.

Dengan memperhatikan definisi Wujud-Niscaya dan wujud-mungkin yang telah dijabarkan di atas, maka hukum kausalitas itu menjadi demikian: setiap wujud-mungkin membutuhkan sebab. Secara esensial, wujud-mungkin berada di antara Wujud-Niscaya dan wujud-mustahil atau antara niscaya ada dan mustahil ada. Wujud yang demikian ini, supaya mengada niscaya dan mesti memerlukan suatu sebab yang akan menghadirkan dan mewujudkannya, dan tanpa sebab ini, ia mustahil ada dan mengada. Inilah teori kausalitas.

Ciri-ciri wujud-mungkin sebagai berikut: wujudnya lemah, terbatas, bergantung secara hakiki dan mutlak kepada sebabnya, kebutuhan kepada sebabnya bersifat abadi dan kekal, tidak sempurna, dan secara esensial terus mengalami perubahan, perpindahan, dan gerak. Perubahan, perpindahan, dan pergerakan ini merupakan ciri dan sifat hakiki dari suatu realitas yang butuh, berkekurangan, dan miskin.

Wujud yang tidak sempurna, mustahil dapat menafikan kebutuhan dan kekurangan dari dirinya selama-lamanya. Karena itu, wujud-mungkin secara aktual niscaya senantiasa memerlukan realitas yang maha sempurna dalam memenuhi segala kekurangannya, mencukupkan seluruh kebutuhannya, dan mengaktualkan semua potensinya.

2. Hakikat Kausalitas

Hakikat kausalitas adalah setiap akibat memerlukan sebab atau setiap wujud-mungkin membutuhkan Wujud-Niscaya. Sebagian filosof barat, karena keliru memahami hakikat kausalitas, beranggapan bahwa setiap realitas atau eksistensi memerlukan sebab. Karena Tuhan adalah realitas dan eksistensi, maka memerlukan sebab pula.

John Hospers dalam menegaskan eksistensi Tuhan berkata, "Begitu banyak anak remaja dan orang dewasa dengan penuh keraguan bertanya kepada orang tua mereka tentang sebab bagi eksistensi Tuhan. Pertanyaan mereka bisa dibenarkan, karena kita telah menegaskan bahwa segala sesuatu memerlukan sebab, dan kalau proposisi ini benar, maka eksistensi Tuhan (yang karena tergolong sebagai sesuatu) memiliki sebab pula, dan kalau Tuhan tidak memiliki sebab, maka proposisi itu salah.

Oleh karena itu, argumen wujud akan kehilangan keabsahannya, bahkan mengandung kontradiksi.

Pernyataan yang berbunyi: Tuhan tidak memiliki sebab, ini bertentangan dengan definisi kausalitas yang berbunyi: segala sesuatu memiliki sebab. Kalau definisi ini sebagai mukadimah argumen kemungkinan dan keniscayaan adalah benar, maka silogisme argumen kemungkinan dan keniscayaan adalah benar pula, tetapi mukadimah itu salah. Begitu banyak masyarakat tidak memahami kenapa argumen ini digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Mereka, pada akhirnya melupakan cara tersebut untuk menegaskan keberadaan Tuhan."

Kritik John Hospers dan mereka yang sealiran dengannya, beranggapan bahwa segala realitas memerlukan sebab, padahal maksud dari prinsip kausalitas adalah setiap wujud yang tidak sempurna niscaya memerlukan sebab, bukan segala realitas atau wujud. Tuhan adalah realitas dan wujud yang sempurna, Dia bukan wujud yang berkekurangan. Oleh karena itu, Tuhan tidak memiliki sebab, bahkan Dialah sebab pertama dan sebab dari segala sebab. Tuhan adalah realitas dan wujud yang swa-ada (ada dengan dirinya sendiri).

Penegasan di atas bisa dianalogikan dengan ungkapan berikut: sesuatu yang bergaram dan kegaramannya bersumber dari zat lain seperti air, maka kegaramannya bukanlah bersifat esensial, karena bersumber dari zat lain. Ini berbeda jika dibandingkan dengan zat garam itu sendiri, yang kegaramannya bersifat esensial, yakni bukan berasal dari zat lain. Oleh karenanya, zat garam tidak memerlukan zat lain untuk kegaramannya. Zat garam bergaram dengan sendirinya atau swa-garam.

Definisi yang sempurna tentang hukum kausalitas adalah setiap wujud yang lemah dan rendah membutuhkan sebab. Definisi kausalitas yang digunakan oleh Mulla sadra adalah setiap kuiditas (wujud-mugkin) dalam keberadaan dan ketiadaannya membutuhkan sebab.

3. Kesepadanan dan Kesesuaian Antara Sebab dan Akibat

Salah satu pembahasan penting dalam teori kausalitas adalah kesepadanan, keserasian, keharmonisan, kecocokan, keselarasan, dan kesesuaian antara sebab dan akibat. Filosof Islam membagi sebab dalam dua bagian, sebab Ilahi dan sebab natural.

Sebab Ilahi adalah sebab pemberi eksistensi, bukan pemberi kuiditas kepada akibat. Sebab seperti ini meniscayakan, kesempurnaan eksistensial akibat bersumber dari kesempurnaan eksistensial sebab atau kesempurnaan eksistensial sebab niscaya ada pada akibat pula, karena menurun kepada akibatnya. Jika suatu sebab tidak memiliki kesempurnaan eksistensial, maka akibat pun mustahil memilikinya. Kesempurnaan yang mesti dimiliki oleh sebab dan akibatnya adalah kesempurnaan eksistensial, bukan kesempurnaan kuiditas.

Kaidah filsafat berbunyi: sesuatu yang tidak memiliki mustahil bisa memberi. Inilah makna kesepadanan dan keserasian antara sebab dan akibat. Berdasarkan kaidah ini, eksistensi sesuatu tidak otomatis berasal dari sebab tertentu. Setiap kesempurnaan akibat yang khusus berasal dari sebab yang khusus. Dan kesempurnaan sebab yang khusus meniscayakan kesempurnaan akibat yang khusus pula. Pengetahuan terhadap hubungan kesepadanan antara sebab Ilahi dan akibatnya diperoleh melalui persepsi akal, bukan dengan metode empiris.

Sebab natural berbeda dengan sebab Ilahi, karena hanya berkaitan dengan gerak. Sebab ini disebut pula sebab materi.
Aplikasi sebab-sebab natural terbatas pada kondisi-kondisi tertentu. Sebab ini hanya berlaku di alam materi. Alam materi meniscayakan gerak, karenanya perubahan-perubahan yang terjadi di alam ini dikarenakan oleh sebab natural.

Pembuktian kesepadanan sebab natural dan akibatnya adalah dengan metode empiris, bukan persepsi akal. Misalnya api adalah panas. Kalau pembuktian kaidah ini melalui persepsi akal, maka sebab api niscaya panas. Namun tidaklah demikian. Dengan metode empiris, kita dapat mengetahui sebab natural api. Kita ketahui bahwa tidak semua benda merupakan sebab natural api.

Sebagian filosof barat menolak secara mutlak kaidah kesepadanan antara sebab dan akibat.
Jawabannya, kaidah ini adalah kaidah akal yang tidak bersumber dari perkara-perkara empiris. Kaidah ini tidak memerlukan dalil karena bersifat aksioma. Berbeda dengan sebab natural yang berhubungan dengan perkara-perkara empiris. Karena itu, mustahil menerapkan kaidah ini secara umum. Dan membatasinya hanya pada sebab natural, berkonsekuensi tidak berlakunya kaidah ini secara umum.

4. Hubungan Niscaya Antara Sebab dan Akibat

Hubungan keniscayaan antara sebab dan akibat bermakna bahwa ketika sebab sempurna ada, maka akibatnya pun niscaya ada atau akan mengada. Adalah mustahil terpisah antara keberadaan akibat dan keberadaan sebab sempurna.

Yang dimaksud dengan sebab sempurna adalah syarat-syarat dan kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi dalam perwujudan suatu akibat. Kalau diasumsikan bahwa akibat tidak ada dengan kehadiran sebabnya, berarti ada syarat-syarat dan kondisi-kondisi yang tidak terpenuhi secara sempurna oleh sebabnya. Jika asumsi ini diterima, maka terjadi kontradiksi dengan kesempurnaan mutlak suatu sebab. Begitu juga, jika diasumsikan adanya halangan dalam perwujudan suatu akibat, inipun bertentangan dengan kesempurnaan mutlak suatu sebab, karena tiadanya halangan ini juga merupakan syarat bagi perwujudan suatu akibat. Kesempurnaan mutlak suatu sebab berarti meniscayakan tiadanya segala bentuk halangan dan hambatan dalam perwujudan suatu akibat.

5. Kebersamaan Hakiki Antara Sebab dan Akibat

Di sini akan dibahas dua poin:
Jika sebab sempurna ada, niscaya akibatnya ada;
Jika akibat ada, niscaya sebab sempurnanya ada.

Inti poin pertama adalah akibat senantiasa bersama dengan sebab sempurnanya atau keduanya mustahil terpisah. Adalah mustahil jika sebab sempurna ada tapi akibatnya tiada atau akibat ada tetapi sebab sempurnanya tiada. Setiap sebab sempurna ada niscaya akibatnya ada pula. Prinsipnya, terdapat kebersamaan hakiki yang tidak terpisahkan antara sebab sempurna dan akibatnya.

Argumen untuk poin pertama dirumuskan sebagai berikut:
Pertama-tama kita asumsikan, sebab sempurna ada, namun pada saat yang sama, akibatnya tiada. Dengan asumsi ini, sebab sempurna ada dan akibatnya tiada. Hal itu bertentangan dengan prinsip kausalitas. Berdasarkan prinsip ini, tiadanya akibat karena tiadanya sebab sempurna. Kalau diasumsikan, akibat tiada, berdasarkan prinsip kausalitas, maka niscaya sebab sempurnanya tiada, Karena sebab sempurnanya ada (berdasarkan asumsi di atas), pada saat yang sama, ia tiada (berdasarkan prinsip kausalitas itu), maka terjadi kontradiksi.

Setelah menjelaskan poin pertama, kita akan membahas poin kedua. Hakikat poin kedua, jika akibat ada, niscaya sebab sempurnanya senantiasa ada.
Sebagian teolog Islam menolak pemikiran ini dengan memberikan contoh antara bangunan (baca: akibat) dan tukang bangunan (baca: sebab) dan antara anak (baca: akibat) dan kedua orang tuanya (baca: sebab). Argumen mereka antara lain: jika tukang bangunan meninggal, rumah tetap ada, begitu pula, jika orang tua meninggal, anak-anaknya tetap ada. Karena itu, mustahil terdapat kebersamaan hakiki antara sebab dan akibatnya.

Jawaban kritikan:
Sebab terbagi dua:
Sebab sempurna (sebab hakiki), contohnya matahari dengan cahayanya;
Sebab tidak sempurna atau cacat (sebab tidak hakiki), contohnya tukang bangunan dengan bangunannya.

Yang dimaksud dengan kebersamaan hakiki antara sebab dan akibatnya adalah kebersamaan hakiki antara sebab sempurna dan akibatnya, bukan antara sebab tidak sempurna atau cacat dan akibatnya. Adalah mustahil cahaya matahari (akibat) ada tanpa keberadaan mataharinya (sebab sempurna). Dalam sebab tidak sempurna sangat mungkin terpisah antara sebab dan akibatnya atau sebaliknya, contohnya antara tukang bangunan dengan bangunan atau antara orang tua dengan anak.

Argumentasi untuk poin kedua:
Untuk menetapkan kebenaran proposisi itu, yakni mustahil terpisahnya akibat dan sebab sempurnanya, kita tetap menggunakan metode di atas, yaitu mengasumsikan bahwa akibat ada, dan pada saat yang sama, sebab sempurnanya tidak mesti ada. Dengan ungkapan lain, setelah akibat ada, sebab sempurnanya tidak mesti ada secara abadi, yakni sebab sempunanya bisa tetap ada dan bisa tiada. Jika pada asumsi ini, sebab sempurnanya tiada, sementara akibatnya ada, namun pada saat yang sama, sebab sempurnanya tiada.

Berdasarkan teori kausalitas, tiadanya sebab sempurna meniscayakan tiadanya akibat. Jadi kalau sebab sempurnanya tiada (berdasar pada asumsi itu), maka akibatnya pun niscaya tiada (berdasarkan teori kausalitas). Karena akibatnya ada (berdasarkan asumsi itu), pada saat yang sama, akibatnya tiada pula (berdasarkan teori kausalitas), maka terjadi kontradiksi.

6. Hubungan Sebab Akibat hanya pada Tataran Wujud

Hal yang harus diperhatikan di sini adalah hubungan kausalitas merupakan hubungan yang dibangun di atas eksistensi dan wujud, bukan di atas kuiditas (mahiyah). Hubungan kausalitas terjadi di antara dua wujud, yakni satu wujud yang senantiasa butuh kepada wujud lain. Dengan ungkapan lain, hanya eksistensi dan wujud kuiditas yang membutuhkan wujud lain. Dari sini dapat diketahui ketidaktepatan definisi kausalitas yang berbunyi, "Kuiditas membutuhkan sebab dalam keberadaan dan ketiadaannya." Karena kuiditas sebagaimana kuiditas itu sendiri tidaklah ada dan tidak memiliki eksistensi.

Bagaimana mungkin yang-tiada dapat dikatakan bergantung dan butuh kepada realitas yang lain. Misalnya dikatakan, Yazid tiada, yakni ia tidak memiliki realitas dan keberadaan sama sekali. Karena itu, mustahil jika kita katakan, "Yazid bergantung dan butuh kepada seseorang." Dengan demikian, tidak ada kausalitas (hubungan sebab-akibat) dalam ketiadaan.

Sesungguhnya subyek pembahasan teori kausalitas adalah wujud-mungkin, bukan kuiditas. Dengan demikian definisi kausalitas adalah wujud-mungkin yang membutuhkan wujud lain dalam keberadaannya.

*Tulisan ini disajikan pada kajian terbatas di Komunitas Sungai Kenabian (medio Februari 2020)

Posting Komentar

0 Komentar