Inilah tulisan tangan terakhir Jenderal Qasim Sulaimani di Air Port Syaria sebelum berlepas (2/3 jam sebelum syahid) dengan 3 tandatangan:
"Ilahi la Taklini. Tuhanku jangan biarkan aku. Tuhanku terimalah aku. Tuhanku aku mencintai/gilakan pertemuan denganmu. Pertemuan yang sama yang menyebabkan Musa tak mampu berdiri dan bernafas. Tuhanku terimalah aku dalam keadaan suci."
Dalam berbagai khasanah keagamaan, Iran sebagai negeri para Mullah, di sana agama benar-benar hidup. Betapa tidak, ilmu pengetahuan terus berlanjut dikaji dan diamalkan. Lihat bagaimana mereka beribadah, 51 rakaat adalah ciri khas mereka. Terdiri dari 17 rakaat shalat wajib, 8 rakaat shalat tahajud, 2 rakaat shalat shaf, 1 rakaat shalat witir, 23 rakaat shalat sunnah rawatib yang terdiri 2 rakaat sebelum subuh, 8 rakaat sebelum dhuhur, 8 rakaat sebelum Ashar, 4 rakaat sesudah magrib dan 1 rakaat setelah isya. Belum lagi shalat sunnah harian.
Amalan dan zikir serta berbagai munajat yang hampir tidak terhitung jumlahnya menghiasi kitab-kitab mereka. Dari jumlah rakaat serta berbagai munajat menunjukan adanya kesungguhan yang kuat dalam mempersaksikan kehambaan pada sang khalik. Kehidupan intelektual dan spiritual begitu hidup dan tumbuh di kalangan para pengikutnya.
Peringatan, sebagai konsekuensi pengikut Ja'fari terus diperingati sebagai jalan untuk menapaktilasi kehidupan para Imam di kalangan pengikutnya. Peringatan demi peringatan dilakukan sebagai wujud kecintaan kepada Allah dan para nabi serta imam-imam suci dari kalangan mereka.
Sungguh sebuah cara beribadah yang begitu menarik dan menakjubkan. Kesungguhan mereka dalam menjalani ritual-ritual ibadah nampak pada berbagai aktivitas. Bahkan Imam Ali Khamenei, Rahbar sebagai pimpinan tertinggi, konon di samping kesibukan mengajar dan berbagai aktivitas politik, masih bisa mengkhatamkan Quran pertiga hari.
Dalam aktivitas politik, bahkan berbagai tugas kemiliteran, semua memiliki korelasi dengan tugas-tugas suci. Karena itu, di negeri para Mullah itu, seluruh sistem dan sub sistem menjadi terhubung antara satu dengan lainya di bawah komando, Rahbar, Imam Ali Khamenei.
Terlepas dari itu semua, di awal 2020 telah terjadi peristiwa pembunuhan terencana atas Qasim Sulaimani yang telah menggemparkan dunia. Amerika Serikat, atas perintah Donald Trump telah mengakhiri hidup seorang Jenderal Bayangan (The Shadow Commander). Atas pembunuhan itu, AS telah melanggar kedaulatan negara yang sah. Karena hanya dengan cara culas itu, mereka bisa membunuh sang Jenderal.
Dalam pembunuhan itu, mereka lupa bahwa sang Jenderal adalah manusia yang menggadaikan dirinya pada pencipta-Nya. Apa artinya dalam pandangan Irfan, bahwa yang terbunuh di jalan Allah sungguh mereka tidak mati, akan tetapi mereka hidup di sisi Tuhan-Nya. Lihat apa kata Quran : Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (3: 169).
Kematian pada para syuhada, adalah puncak syahadah, yakni persaksian, ia bukan saja realitas keyakinan dan persaksian, akan tetapi dengan kematian di jalan syahadah akan menggerakkan jiwa-jiwa yang memiliki kecenderungan di jalan Tuhan. Kematian para syuhada justru akan melipat gandakan orang-orang yang akan melakukan perlawanan yang sama terhadap kebatilan. Bahkan akan semakin menumbuhkan semangat di jalan syahadah. Perlawanan dari alam kematian akan terasa lebih keras. Kata-kata Tan Malaka, cukup mewakili pandangan ini.
Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi.
Perlawanan tidak akan berhenti setelah kematian, bahkan kematian akan menandai perlawanan yang semakin sengit. Kematian jangan dicari, tetapi jika kematian datang maka sambutlah. Para kesatria menempatkan kesadaran-keberanian dan misi sebagai jalan menuju kemuliaan. Tak pelak lagi Qasim Suleimani adalah sosok yang melebihi dari sekedar kesadaran-keberanian dan misi, yakni ketaatan pada wilayah adalah kemestian.
Puncak dari pengabdian adalah membangun ketaatan pada otoritas wilayah dalam hak-hal kepemimpinan.
Ujian kehambaan, salah satunya adalah mesti melewati ketaatan-ketaatan hierarkis dalam struktur Nubuwah. Pada wilayah ini, sang hamba harus mampu, sadar dan cerdas dalam menerjemahkan nilai-nilai misi yang diemban. Qosim Suleimani, adalah salah satu manusia unggul yang mampu menempatkan batas -batas dirinya dengan tugas dan misi risalah kehidupan, bahwa dalam hidup, ada kelompok yang mesti menjadi martir dalam memperjuangkan nilai-nilai risalah.
Qosim Suleimani, mampu menerjemahkan dirinya secara sosiologis dan politis, sehingga jejaknya adalah jejak atas tugas dan misi kemanusiaan. Suriah, Afganistan, Yaman dan Irak dan berbagai misi telah ia jalani sebagai misi dalam menentang kezaliman. Tak berhenti sampai di situ, ia juga menjadi bapak anak-anak para syahid.
Tidak heran kalau kesyahdiannya, ditangisi oleh anak-anak yang pernah ia sentuh atau bahkan anak-anak yang hanya sempat melihat dirinya di berbagai media, tidak luput dari kesedihan dan duka yang mendalam atas dirinya.
Ia pemberani dan keras terhadap musuh, akan tetapi ia tidak kehilangan kasih sayang pada orang-orang yang teraniaya. Dan lemah lembut pada anak-anak dan keluarga. Ia penyayang pada sahabat, ia rindu pada ziarah dan lemah di hadapan Tuhannya, ia rajin baca Quran, ziarah dan munajat hingga meneteskan air mata sambil bersimpuh penuh kesedihan pada Tuhannya.
"Ilahi la Taklini. Tuhanku jangan biarkan aku.Tuhanku terimalah aku. Tuhanku aku mencintai/gilakan pertemuan denganmu. Pertemuan yang sama yang menyebabkan Musa tak mampu berdiri dan bernafas. Tuhanku terimalah aku dalam keadaan suci."
Ini adalah tulisan terakhir sekitar 2/3 jam menjelang kematiannya. Kata Jenderal Qosim Suleimani : "Ilahi la Taklini. Tuhanku jangan biarkan aku. Rintihan ini adalah munajat bagaimana ia menempatkan diri dalam kekhawatiran atas keterpisahan sang kekasih. Tanpa Dia, akan sia-sia seluruh hidupnya, ia memelas dengan panggilan ilahi, sebagai bentuk panggilan yang paling presisi bagi hamba yang sedang membutuhkan Tuhannya.
Kata Jenderal Qosim Suleimani : Tuhanku terimalah aku. Adalah ungkapan puncak dari seorang hamba yang segera akan menemui Tuhannya, ia merendahkan dirinya pada serendah-rendah hamba di hadapan Tuhannya, karena ia diliputi ketakutan keterpisahan pada Tuhannya.
Munajat Qosim Suleimani, “ Tuhanku terimalah aku". Adalah munajat yang serupa pada munajat ahli ma'rifat “ Ya Ilahi, rahmatilah aku kesempurnaan menyatu dengan-Mu, sehingga mata batinku selalu memandang cahaya wajahmu yang mulia".
Ungkapan “Tuhanku terimalah aku", Rabiatul Adawiyah bahkan menolak Surga andaikan ia terpisah dari Tuhannya. Qosim Suleimani, menegaskan pada kalimat yang berbeda dalam makna yang sama, bahwa berpisah dengan Tuhan atau bahkan mendiami surga tanpa kedekatan dengan Tuhan akan melahirkan kerinduan dan kerinduan dengan cara ini, tidak lain adalah derita.
Kesendirian tanpa-Mu adalah kecelakaan, duhai Tuhan-Ku maka bersamalah denganku agar hidupku tidak diliputi ketakutan dan khawatirkan. Karena itu, Duhai Tuhanku, maka terimalah aku dengan potongan tubuh yang sudah tercabik-cabik ini. Karena aku malu bertemu dengan junjunganku Al-Husein dalam tubuh yang sempurna, aku tidak punya bukti kecintaan di hadapannya atas baktiku padanya tanpa wujud yang tercabik-cabik. Maka aku memilih jalan syahada seperti yang terjadi pada Imam Al-Husein.
Kata Qosim Suleimani :
Tuhanku aku mencintai/gilakan pertemuan denganmu. Pertemuan yang sama yang menyebabkan Musa tak mampu berdiri dan bernafas.
Duh, kata-kata di atas adalah ungkapan yang penuh dengan mistik, semacam kerinduan yang tak lagi tertahankan pada perjumpaan dengan sang kekasih. Musa As seperti yang ia ungkapan dalam kata-kata terakhirnya “ Tuhanku aku mencintai/gilakan pertemuan denganmu. Pertemuan yang sama, yang menyebab Musa tak mampu berdiri dan bernafas."
Duh, sebuah perjalanan yang hendak menyaksikan dan sibuk secara total ingin berjumpa dengan Tuhannya, sebuah perjalanan puncak kemanusiaan yang ujungnya adalah kematian, penuh dengan keagungan dan kesempurnaan. Ia seakan bergegas menjemput kematiannya, karena ia sedang diliputi kerinduan yang amat dalam pada Tuhannya.
Pada keadaan demikianlah, ia hanya berada pada cahaya keyakinan seperti cahaya yang di saksikan oleh Musa As di puncak gunung Tursina.
Ungkapan dan keadaan Qasim Suleimani dalam kalimat terakhirnya mengingatkan kita pada kata-kata imam Ali Kw "Ilahi, cukup bagiku sebagai kemuliaan, jika aku menjadi hamba-Mu dan cukup bagiku sebagai kebanggaan, jika Engkau menjadi Tuhanku, Engkau seperti yang aku cintai, maka jadikanlah aku seperti yang Engkau cintai."
Duh, Qosim Suleimani, “kegilaan” akan perjumpaan dengan Tuhanmu," mengingatkan kita juga kerinduan Mansur Al-Hallaj pada tiang gantungan, yang merepresentasikan kerinduan puncak pada pertemuan dengan ilahi.
Ya, Qosim Suleimani, adalah satu diantara sekian banyak manusia yang merindukan kematian, bahkan berkali-kali memohon pada Rahbar untuk mendoakan agar ia syahid. Ya, Rahbar akhirnya mendoakan Qosim Suleimani dan terjadilah sesuai keinginannya. Ia menemui Syahadah pada subuh hari Jumat.
Sekali lagi, Selamat Jalan Jendral..
Makassar, 05.01.2020
0 Komentar