Namanya Ramadang. Begitu yang tertulis di akta kelahiran dan
ijazahnya. Biasa dipanggil Andang saja, baik oleh orang tuanya maupun oleh
teman-temannya. Itu adalah nama dengan
aksen khas orang Makassar. Mudah ditebak, ia lahir di bulan yang penuh berkah
itu, Ramadhan. Entah siapa yang mengukir namanya ketika lahir, apakah
bapaknya, ibunya, saya tidak tidak tahu menahu.
Saya mengenal Andang, ketika ia masih berstatus pelajar di
sebuah Sekolah Menengah Atas. Ketika itu ia sudah kelas tiga akhir. Perkenalan
saya dengannya pun boleh dibilang terjadi secara kebetulan saja. Saat itu dia datang sebagai salah satu pelangganku.
Di usaha foto copy milikku. Bisnis itu pun masih terbilang belia. Berbekal pinjaman modal sana sini dan sedikit
suntikan pinjaman dari bank. Tapi Alhamdulillah sudah mulai banyak pelanggannya.
Pun sudah bisa dikembangkan secara perlahan-lahan. Syukurnya ada tempat sendiri.
Jadi tidak perlu menyewa tempat usaha
lagi. Apalagi lokasi usahaku itu terbilang dekat dengan salah satu universitas ternama di kota
Makassar, Universitas Hasanuddin.
Disamping itu, ada juga usaha
printing kecil-kecilan dan penjualan alat tulis menulis.
Sore itu bertepatan dengan akhir pekan, Sabtu jelang malam
minggu. Biasanya kalau wiken seperti itu pelanggan lumayan
sepi, tidak seperti misalnya, kalau hari senin atau hari kerja lainnya, pelanggan
jauh lebih ramai. Bahkan saya terkadang
kewalahan melayani orderan yang masuk. Apalagi kalau hanya saya sendiri yang
melayani. Betul-betul capek. Kadang
tepar. Sudah hampir dua jam, Andang
duduk mengetik di depan komputer rentalku. Nampaknya ia sangat serius. Saya
perhatikan sudah hampir lusinan kali, dia
menggaruk-garuk kepalanya. Rambutnya sedikit ikal memang, hampir kribo. Apakah banyak kutu yang
sembunyi di rambutnya itu, atau apakah
dia lagi punya masalah. Entahlah.
“Sekolah di mana, Dek?” tanyaku sembari memperhatikan baju
putihnya, yang sudah terlihat kusam.
“Di SMA swasta, Kak.” Nampaknya ia merasa sedikit minder. Dari
nada bicara dan raut mukanya.
“SMA swasta mana?” tanyaku lagi ingin memperjelas.
“SMA Cakrawala Kak, yang di Jalan Sultan Alauddin itu, dekat Pasar
Senggol”
Setahu saya SMA Cakrawala itu sering digelari sebagai SMA
buangan, maksudnya mereka yang bersekolah di sana pada umumnya adalah anak-anak
yang tidak lolos di SMA Negeri sekaligus terkenal sebagai gudangnya anak nakal karena banyak yang berasal dari keluarga broken-home.
Di sekolah itu juga dikenal sangat longgar aturannya. Dengar-dengar,
banyak siswanya yang jarang masuk sekolah, tapi akhirnya dapat Ijazah juga. Sehingga
sampai-sampai, ada yang menggelarinya
sebagai sekolah para pemburu ijazah.
“Ohh, di Cakrawala,” jawabku datar tanpa maksud merendahkan
apalagi mencibir.
“Yang terpenting kan selesai di SMA dulu, kalau ada peluang,
bisa dilanjut ke Perguruan Tinggi akan lebih bagus,” kataku ingin memotivasi.
“Iyya Kak, rencana memang ini kalau tamat SMA mau lanjut ke
perguruan tinggi, tapi masalahnya di biaya." Jawabnya sambil menggaruk
kepalanya.
Entah mengapa sedikit demi sedikit, ia bercerita tentang dirinya, termasuk
keluarganya bahkan boleh dikata dia membongkar rahasia-rahasianya. Seperti ada chemistry di antara kami. Boleh jadi, karena saya juga termasuk orang yang
seringkali hidup susah. Dan penampilan serta gaya hidup saya pun terbilang biasa-biasa
saja. Namun, ternyata perjalanan hidupnya jauh lebih pedih dan berliku, yang
tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Baru saya tahu kalau ibunya adalah seorang payabo,
sebutan untuk pemulung di daerah Makassar, yang setiap subuh
atau pagi hari, menyusuri jalan-jalan
untuk mengais plastik atau kardus bekas. Saya tambah percaya, karena kalau diperhatikan Andang memang punya
kemiripan dengan ibu itu. Bukan hanya ibunya yang jadi payabo, Andang juga ternyata bekerja seperti itu. Bedanya, Andang bertugas
selepas pulang sekolah, dan biasanya hingga larut malam. Supaya tidak dikenali,
Andang sengaja melindungi mukanya dengan
baju, yang diikatkan pada kepalanya, hingga hanya dua matanya saja yang terlihat.
“Palingan hanya beberapa orang saja yang kenal betul dengan saya,”
katanya.
Ia juga bercerita, kalau sudah beberapa kali ia diteriaki,
dimarahi bahkan diburu oleh warga, karena disangka pencuri. Andang juga punya
pekerjaan lain, terutama di hari Sabtu dan Minggu, sebagai tukang antar
bahan-bahan bangunan, di Usaha Bahan Bangunan Jaya Makmur milik Haji Madong,
tidak jauh dari tempat usaha Foto Copy saya. Ia biasa dipanggil membantu di sana
mengantar pasir, batu bata, semen dan sebagainya karena karyawan tetap usaha
bahan bangunan itu, libur kalau Sabtu dan Minggu.
Ia juga bercerita, kalau kerja keras itu itu harus ia jalani
bersama ibunya, lantaran bapaknya sudah
tidak ada lagi. Bukan karena bapaknya sudah meninggal dunia, tapi lantaran
melarikan diri, atau menghindar dari
tanggung jawab. Bapaknya pergi jauh ketika Andang masih berumur sekitar lima
tahun. Bertepatan dengan kelahiran adik perempuannya. Parahnya lagi, adiknya
itu lahir dalam kondisi cacat otak atau ada kelainan otak, semacam sakit saraf
kejepit, menurut dokter. Ada
kemungkinan, menurut Andang, itulah juga yang menjadi alasan, kenapa bapaknya
meninggalkan mereka. Bapaknya shock
berat ketika tahu begitu kondisi anaknya yang baru lahir. Dan
sudah hampir lima belas tahun terakhir ini, tidak kembali-kembali. Boro-boro, bapaknya itu
mengirimkan uang untuk keluarganya, memberi
kabar saja tidak pernah. Dengar-dengar, bapaknya sudah menikah di Manado sana, bahkan
sudah punya anak dua orang.
Adiknya sekarang sudah berusia dua belas tahun, tapi belum
memperlihatkan kesembuhan yang berarti, meskipun sudah berkali-kali pergi berobat,
ke ahli saraf secara medis, bahkan ke dukun atau orang pintar. Semuanya sudah
dilakukan. Andang dan ibunya harus bergiliran menjaga adiknya di rumah. Kalau
tidak, adiknya bisa mengamuk dan merusak barang-barang yang ada. Pernah suatu
ketika, adiknya ditinggal sendiri, apa yang terjadi? Televisi satu-satunya,
pemberian tetangganya, dirusaknya hingga pecah dan tak bisa diperbaiki lagi.
Sejak kejadian itu, tidak pernah lagi, adiknya dibiarkan sendirian di rumah.
Dari pembicaraan yang panjang lebar dan kian akrab itu,
kira-kira sejak sebelum shalat dhuhur, hingga sekitar jam Sembilan malam, saya
menangkap isyarat kalau dia ingin ikut bekerja di tempat usaha saya. Andang,
rupanya, malu-malu melamar kerja langsung. Barangkali, dianggapnya untuk lebih memperbaiki
pendapatannya, tak perlu lagi pake tutup muka, tak mesti lagi berpanas-panas,
atau berhujan-hujan. Dan, pastinya,
akan sangat menunjang pendidikannya, karena ia bisa menguasai komputer, yang
akan memperlancar penyelesain tugas-tugasnya. Gayung bersambut, akhirnya Andang
saya terima bekerja, dengan tugas utamanya pengetikan, printing dan bisa juga sesekali membantu fotocopy, menjilid dan
menjual alat-alat tulis. Kebetulan saat itu, istriku juga lagi hamil tua,
menunggu kelahiran anak kedua kami. Jadi otomatis, istri saya tidak bisa banyak
membantu, apalagi kalau nanti sudah melahirkan. Pasti akan lebih sibuk lagi.
Kehadiran Andang membuat usaha saya makin lancar dan maju. Andang
memang tipe pekerja yang ulet. Dan
pantang menolak orderan, biar pun waktunya kepepet. Ia rela begadang, bahkan
tidak tidur selama dua puluh empat jam, untuk mengerjakan orderan yang ada.
Kalau sudah lembur begitu, selalu saja dia ditemani dengan minuman penambah
stamina, kalau bukan fanter pasti ekstrajoss.
Saya selalu menasehatinya, agar mengurangi minuman seperti itu. Tapi
seperti biasa, dia tidak menjawab dengan kata-kata, hanya nyengir saja sambil
garuk-garuk kepala.
Akhirnya, keinginan keras Andang kuliah pun kesampaian
juga. Padahal, ibunya sangat tidak
setuju. Sampai-sampai ibunya pernah datang ke rumah secara khusus, meminta saya
agar menasehati Andang. Agar mengurungkan niatnya berkuliah. Tapi kemauan kokoh
Andang tak goyah sedikit pun. Ia berjanji untuk tidak membebani ibunya. Dalam urusan biaya kuliah bahkan Andang tetap
akan membantu perekonomian keluarganya. Ternyata, Andang juga cukup lihai dan
cerdas memanfaatkan situasi. Berkat lobi-lobinya dan berbekal surat keterangan
tidak mampu, ia dibebaskan biaya kuliah
hingga selesai. Bahkan ia mendapat uang saku setiap semester. Kebetulan saat
itu, memang, ada program bebas biaya
bagi kalangan tidak mampu.
“Ambil jurusan apa?” tanyaku, sembari menjilid makalah dari
seorang pelanggan
“Saya ambil Ekonomi Kak, jurusan manajemen,” seraya
menghentikan hentakan jari-jemarinya di papan keyboard, lalu tangan kanannya
menggaruk-garuk kepalanya.
Nampaknya, ia betul-betul terobsesi untuk memperbaiki
kondisi ekonomi keluarganya, sebagaimana
ia sering utarakan, ketika bersama-sama
mengerjakan orderan di toko.
Ibunya pun sekarang sudah berhenti jadi payabo. Ibunya hanya bekerja
menjadi tukang cuci pakaian di beberapa rumah tetangganya. Beda dengan dulu,
semua pekerjaan dijalankannya.
Tak terasa, sudah sekitar lima tahun Andang bekerja di
tempatku. Sekitar akhir November, saat itu hujan agak gerimis. Tidak seperti
biasanya, Andang datang dengan muka sangat berseri-seri. Nampaknya ada berita
bahagia ini. Ternyata, ia menyodorkan sebuah undangan syukuran wisuda, yang
diam-diam ia ketik semalam. Alhamdulillah, seruku dalam hati. Perjuanganmu
untuk menjadi seorang sarjana akhirnya tercapai juga. Hari-hari berikutnya ia sudah mulai jarang
masuk kerja. Alasannya bermacam-macam : banyak urusan, ada pertemuan dengan teman, pelatihan
bisnislah, apalah. Akhirnya di penghujung tahun, dia berterus terang pada saya, bahwa sekarang ia juga telah merintis sebuah
usaha yang hampir sama dengan usaha yang saya jalani. Tempat usahanya
itu sangat strategis dan menjanjikan. Walaupun agak berat rasanya melepas dia, yang selama ini
ikut membesarkan usaha saya, tapi untuk masa depannya, saya justru ikut
memotivasinya. Bahkan mengajaknya bekerja sama,
agar bisa mendapatkan lebih banyak orderan.
Tahun berganti tahun, musim berganti musim. Saya dengan Andang
tidak pernah ketemu sekali pun, sejak dia
pamit berhenti bekerja. Mungkin karena sama-sama sibuk. Atau ia lagi tancap
gas, membesarkan usahanya. Dari seorang kenalan, saya dengar berita, kalau Andang sudah menikah dengan
seorang wanita asal Kendari yang dulunya kuliah
di Makassar. Dan tempat usahanya yang kian maju itu, katanya hendak
dipindahkan ke kota Kendari. Karena peluang berkembang di sana, jauh lebih besar lantaran belum banyak saingan
untuk usaha serupa. Dan dengar-dengar, Andang semakin perlente saja
penampilannya. Karyawannya pun sudah ada beberapa orang. Sekali lagi, saya
ucapkan, Alhamdulillah. Saya ikut senang dan bahagia mendengar keberhasilannya.
Setidaknya, saya punya secuil andil dalam membantu meraih cita-citanya. Namun ada satu hal yang sedikit mengganggu
pikiranku, dimana ibu dan adiknya sekarang? Bagaimana keadaan mereka?
Di suatu sore, tepatnya hari Sabtu, saya menemukan jawabannya. Ketika Ibu Andang datang ke rumah bersama anak
perempuannya. Saya baru tahu juga nama ibunya, Ibu Sabariah, begitu biasa ia
dipanggil. Dia bercerita, sejak menikah, Andang belum pernah kembali ke
Makassar lagi. Bahkan sudah lima bulan terakhir, Andang tidak pernah lagi, mengiriminya uang belanja kebutuhan
sehari-hari. Kalau sebelum menikah, setiap bulan selalu ada kiriman uang dari Andang,
bahkan tak jarang Andang langsung membelikan ibunya barang kebutuhan pokok selama sebulan, seperti beras, gula, teh,
minyak dan sebagainya. Sampai-sampai, biasa ada sisa uang untuk ditabung.
“Sudah habis sekali persediaan di rumahku, Pak. Makanya saya beranikan diri ke sini. Tadinya
saya malu, tapi mau diapalagi Pak. Kemana lagi saya minta bantuan kalau bukan
ke bapak?” katanya perlahan-lahan seraya menunduk.
Saya hanya bisa terdiam menyimak, sambil sesekali menggelengkan
kepala, mengernyitkan kening dan menghela napas panjang. Kenapa ini bisa
terjadi? Betul-betul saya tidak habis pikir. Sulit dipercaya. Akhirnya ibu
Sabariah saya terima bekerja. Membantu
istriku di rumah mencuci piring dan pakaian. Karena istriku juga makin kewalahan,
mengurus tetek-bengek pekerjaan rumah,
apatah lagi saat itu, kami tengah menanti kelahiran anak ketiga kami.
Sekali lagi, saya nyaris
tidak percaya apa yang tengah terjadi. Tetapi
ini adalah kenyataan hidup, yang amat pahit lagi getir. Ramadhan kini bukan milik
ibunya lagi. Ia sepenuhnya sudah jadi milik istrinya. Sebagaimana bapaknya dulu
yang pergi begitu saja. Apakah peristiwa-peristiwa serupa akan terulang lagi. Tapi kepada ibu Sabariah
dan anak perempuannya, siapa yang akan meninggalkan siapa? Bukankah ibu Sabariah
semakin renta dimakan usia dan tenaganya makin reda. Dan anaknya, yang tidak pernah mengenyam pendidikan
formal itu, belum juga betul-betul terbebas dari penyakit yang telah lama dideritanya.
1 Komentar
Slamat bung
BalasHapus