Subscribe Us

ksk logo.jpg

Ramadang


Rajab S. Dg. Mattayang

Namanya Ramadang. Begitu yang tertulis di akta kelahiran dan ijazahnya. Biasa dipanggil Andang saja, baik oleh orang tuanya maupun oleh teman-temannya.  Itu adalah nama dengan aksen khas orang Makassar. Mudah ditebak, ia lahir di bulan yang penuh berkah itu, Ramadhan.  Entah siapa yang mengukir  namanya ketika  lahir, apakah bapaknya, ibunya, saya tidak tidak tahu menahu. 

Saya mengenal Andang, ketika ia masih berstatus pelajar di sebuah Sekolah Menengah Atas. Ketika itu ia sudah kelas tiga akhir. Perkenalan saya dengannya pun boleh dibilang terjadi secara kebetulan saja.   Saat  itu dia datang sebagai salah satu pelangganku. Di usaha foto copy milikku. Bisnis itu  pun masih terbilang belia.  Berbekal pinjaman modal sana sini dan sedikit suntikan pinjaman dari bank. Tapi Alhamdulillah sudah mulai banyak pelanggannya. Pun sudah bisa dikembangkan secara perlahan-lahan. Syukurnya ada tempat sendiri.  Jadi tidak perlu menyewa tempat usaha lagi. Apalagi lokasi usahaku itu terbilang dekat dengan  salah satu universitas ternama di kota Makassar, Universitas Hasanuddin.  Disamping itu,  ada juga usaha printing kecil-kecilan dan penjualan alat tulis menulis. 

Sore itu bertepatan dengan akhir pekan, Sabtu jelang malam minggu.  Biasanya kalau wiken seperti itu pelanggan lumayan sepi, tidak seperti misalnya, kalau hari senin atau hari kerja lainnya, pelanggan jauh lebih ramai.  Bahkan saya terkadang kewalahan melayani orderan yang masuk. Apalagi kalau hanya saya sendiri yang melayani. Betul-betul capek.  Kadang tepar. Sudah hampir dua jam,  Andang duduk mengetik di depan komputer rentalku. Nampaknya ia sangat serius. Saya perhatikan sudah hampir lusinan kali,  dia menggaruk-garuk kepalanya. Rambutnya sedikit ikal memang,  hampir kribo. Apakah banyak kutu yang sembunyi di rambutnya itu, atau  apakah dia lagi punya masalah. Entahlah.

“Sekolah di mana, Dek?” tanyaku sembari memperhatikan baju putihnya,  yang sudah terlihat  kusam.
“Di SMA swasta, Kak.” Nampaknya ia merasa sedikit minder. Dari nada bicara dan raut mukanya.
“SMA swasta mana?” tanyaku lagi ingin memperjelas.
“SMA Cakrawala Kak, yang di Jalan Sultan Alauddin itu, dekat Pasar Senggol”

Setahu saya SMA Cakrawala itu sering digelari sebagai SMA buangan, maksudnya mereka yang bersekolah di sana pada umumnya adalah anak-anak yang tidak lolos di SMA Negeri sekaligus terkenal sebagai gudangnya anak nakal karena banyak yang berasal dari  keluarga broken-home. Di sekolah itu juga dikenal sangat longgar aturannya. Dengar-dengar, banyak siswanya yang jarang masuk sekolah, tapi akhirnya dapat Ijazah juga. Sehingga sampai-sampai,  ada yang menggelarinya sebagai sekolah para pemburu ijazah.

“Ohh, di Cakrawala,” jawabku datar tanpa maksud merendahkan apalagi mencibir.
“Yang terpenting kan selesai di SMA dulu, kalau ada peluang, bisa dilanjut ke Perguruan Tinggi akan lebih bagus,” kataku ingin  memotivasi.
“Iyya Kak, rencana memang ini kalau tamat SMA mau lanjut ke perguruan tinggi, tapi masalahnya di biaya." Jawabnya sambil menggaruk kepalanya.

Entah mengapa sedikit demi sedikit,  ia bercerita tentang dirinya, termasuk keluarganya bahkan boleh dikata dia membongkar rahasia-rahasianya. Seperti ada chemistry di antara kami. Boleh jadi,  karena saya juga termasuk orang yang seringkali hidup susah. Dan penampilan serta  gaya hidup saya pun terbilang biasa-biasa saja. Namun, ternyata perjalanan hidupnya jauh lebih pedih dan berliku, yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.  

Baru saya tahu kalau ibunya adalah seorang payabo, sebutan untuk pemulung di daerah Makassar,  yang setiap subuh atau pagi hari,  menyusuri jalan-jalan untuk mengais plastik atau kardus bekas. Saya tambah percaya,  karena kalau diperhatikan Andang memang punya kemiripan dengan ibu itu. Bukan hanya ibunya yang jadi payabo, Andang juga ternyata  bekerja seperti itu. Bedanya, Andang bertugas selepas pulang sekolah, dan biasanya hingga larut malam. Supaya tidak dikenali, Andang sengaja  melindungi mukanya dengan baju, yang diikatkan pada kepalanya,  hingga hanya dua matanya saja yang terlihat.

“Palingan hanya beberapa orang saja yang kenal betul dengan saya,” katanya.
Ia juga bercerita, kalau sudah beberapa kali ia diteriaki, dimarahi bahkan diburu oleh warga, karena disangka pencuri. Andang juga punya pekerjaan lain, terutama di hari Sabtu dan Minggu, sebagai tukang antar bahan-bahan bangunan, di Usaha Bahan Bangunan Jaya Makmur milik Haji Madong, tidak jauh dari tempat usaha Foto Copy saya. Ia biasa dipanggil membantu di sana mengantar pasir, batu bata, semen dan sebagainya karena karyawan tetap usaha bahan bangunan itu,  libur kalau Sabtu dan Minggu.

Ia juga bercerita,  kalau kerja keras itu itu harus ia jalani bersama ibunya,  lantaran bapaknya sudah tidak ada lagi. Bukan karena bapaknya sudah meninggal dunia, tapi lantaran melarikan diri,  atau menghindar dari tanggung jawab. Bapaknya pergi jauh ketika Andang masih berumur sekitar lima tahun. Bertepatan dengan kelahiran adik perempuannya. Parahnya lagi, adiknya itu lahir dalam kondisi cacat otak atau ada kelainan otak, semacam sakit saraf kejepit,  menurut dokter. Ada kemungkinan, menurut Andang, itulah juga yang menjadi alasan, kenapa bapaknya meninggalkan mereka. Bapaknya shock berat  ketika  tahu begitu kondisi anaknya yang baru lahir. Dan sudah hampir lima belas tahun terakhir ini,  tidak kembali-kembali. Boro-boro, bapaknya itu mengirimkan uang untuk keluarganya, memberi kabar saja tidak pernah. Dengar-dengar,  bapaknya sudah menikah di Manado sana, bahkan sudah punya anak dua orang.

Adiknya sekarang sudah berusia dua belas tahun, tapi belum memperlihatkan kesembuhan yang berarti, meskipun sudah berkali-kali pergi berobat, ke ahli saraf secara medis, bahkan ke dukun atau orang pintar. Semuanya sudah dilakukan. Andang dan ibunya harus bergiliran menjaga adiknya di rumah. Kalau tidak, adiknya bisa mengamuk dan merusak barang-barang yang ada. Pernah suatu ketika, adiknya ditinggal sendiri, apa yang terjadi? Televisi satu-satunya, pemberian tetangganya, dirusaknya hingga pecah dan tak bisa diperbaiki lagi. Sejak kejadian itu, tidak pernah lagi, adiknya dibiarkan sendirian di rumah.

Dari pembicaraan yang panjang lebar dan kian akrab itu, kira-kira sejak sebelum shalat  dhuhur, hingga sekitar jam Sembilan malam, saya menangkap isyarat kalau dia ingin ikut bekerja di tempat usaha saya. Andang, rupanya, malu-malu melamar kerja langsung. Barangkali,  dianggapnya untuk lebih memperbaiki pendapatannya, tak perlu lagi pake tutup muka, tak mesti lagi berpanas-panas, atau berhujan-hujan.  Dan, pastinya, akan sangat menunjang pendidikannya, karena ia bisa menguasai komputer, yang akan memperlancar penyelesain tugas-tugasnya. Gayung bersambut, akhirnya Andang saya terima bekerja, dengan tugas utamanya pengetikan, printing dan bisa juga sesekali membantu fotocopy, menjilid dan menjual alat-alat tulis. Kebetulan saat itu, istriku juga lagi hamil tua, menunggu kelahiran anak kedua kami. Jadi otomatis, istri saya tidak bisa banyak membantu, apalagi kalau nanti sudah melahirkan. Pasti  akan lebih sibuk lagi.

Kehadiran Andang membuat usaha saya makin lancar dan maju. Andang memang tipe pekerja yang ulet.  Dan pantang menolak orderan, biar pun waktunya kepepet. Ia rela begadang, bahkan tidak tidur selama dua puluh empat jam, untuk mengerjakan orderan yang ada. Kalau sudah lembur begitu, selalu saja dia ditemani dengan minuman penambah stamina, kalau bukan fanter pasti ekstrajoss.  Saya selalu menasehatinya, agar mengurangi minuman seperti itu. Tapi seperti biasa, dia tidak menjawab dengan kata-kata, hanya nyengir saja sambil garuk-garuk kepala.

Akhirnya, keinginan keras Andang kuliah pun kesampaian juga.  Padahal, ibunya sangat tidak setuju. Sampai-sampai ibunya pernah datang ke rumah secara khusus, meminta saya agar menasehati Andang.  Agar mengurungkan niatnya berkuliah. Tapi kemauan kokoh Andang tak goyah sedikit pun. Ia berjanji untuk tidak membebani ibunya.  Dalam urusan biaya kuliah bahkan Andang tetap akan membantu perekonomian keluarganya. Ternyata, Andang juga cukup lihai dan cerdas memanfaatkan situasi. Berkat lobi-lobinya dan berbekal surat keterangan tidak mampu,  ia dibebaskan biaya kuliah hingga selesai. Bahkan ia mendapat uang saku setiap semester. Kebetulan saat itu, memang,  ada program bebas biaya bagi kalangan tidak mampu.

“Ambil jurusan apa?” tanyaku, sembari menjilid makalah dari seorang pelanggan
“Saya ambil Ekonomi Kak, jurusan manajemen,” seraya menghentikan hentakan jari-jemarinya di papan keyboard, lalu tangan kanannya menggaruk-garuk kepalanya.

Nampaknya, ia betul-betul terobsesi untuk memperbaiki kondisi  ekonomi keluarganya, sebagaimana ia sering utarakan, ketika bersama-sama  mengerjakan orderan di toko.  Ibunya pun sekarang sudah berhenti jadi payabo.  Ibunya hanya bekerja menjadi tukang cuci pakaian di beberapa rumah tetangganya. Beda dengan dulu, semua pekerjaan dijalankannya.

Tak terasa, sudah sekitar lima tahun Andang bekerja di tempatku. Sekitar akhir November, saat itu hujan agak gerimis. Tidak seperti biasanya, Andang datang dengan muka sangat berseri-seri. Nampaknya ada berita bahagia ini. Ternyata, ia menyodorkan sebuah undangan syukuran wisuda, yang diam-diam ia ketik semalam. Alhamdulillah, seruku dalam hati. Perjuanganmu untuk menjadi seorang sarjana akhirnya tercapai juga.  Hari-hari berikutnya ia sudah mulai jarang masuk kerja. Alasannya bermacam-macam :  banyak urusan, ada pertemuan dengan teman, pelatihan bisnislah, apalah. Akhirnya di penghujung  tahun, dia berterus terang pada saya,  bahwa sekarang ia juga telah merintis sebuah usaha yang hampir sama dengan usaha yang saya jalani. Tempat usahanya itu sangat strategis dan menjanjikan. Walaupun agak berat rasanya melepas dia, yang selama ini ikut membesarkan usaha saya, tapi untuk masa depannya, saya justru ikut memotivasinya. Bahkan mengajaknya bekerja sama,  agar bisa mendapatkan lebih banyak orderan.  

Tahun berganti tahun, musim berganti musim. Saya dengan Andang  tidak pernah ketemu sekali pun, sejak dia pamit berhenti bekerja. Mungkin karena sama-sama sibuk. Atau ia lagi tancap gas, membesarkan usahanya. Dari seorang kenalan, saya dengar  berita, kalau Andang sudah menikah dengan seorang wanita asal Kendari yang dulunya kuliah  di Makassar. Dan tempat usahanya yang kian maju itu, katanya hendak dipindahkan ke kota Kendari. Karena peluang berkembang di sana, jauh lebih besar lantaran belum banyak saingan untuk usaha serupa. Dan dengar-dengar, Andang semakin perlente saja penampilannya. Karyawannya pun sudah ada beberapa orang. Sekali lagi, saya ucapkan, Alhamdulillah. Saya ikut senang dan bahagia mendengar keberhasilannya. Setidaknya, saya punya secuil andil dalam membantu meraih cita-citanya.  Namun ada satu hal yang sedikit mengganggu pikiranku, dimana ibu dan adiknya sekarang? Bagaimana keadaan mereka?

Di suatu sore, tepatnya hari Sabtu,  saya menemukan jawabannya.  Ketika Ibu Andang datang ke rumah bersama anak perempuannya. Saya baru tahu juga nama ibunya, Ibu Sabariah, begitu biasa ia dipanggil. Dia bercerita, sejak menikah, Andang belum pernah kembali ke Makassar lagi. Bahkan sudah lima bulan terakhir, Andang tidak pernah lagi,  mengiriminya uang belanja kebutuhan sehari-hari. Kalau sebelum menikah, setiap bulan selalu ada kiriman uang dari Andang, bahkan tak jarang Andang langsung membelikan ibunya  barang kebutuhan pokok  selama sebulan, seperti beras, gula, teh, minyak dan sebagainya. Sampai-sampai, biasa ada sisa uang untuk ditabung.

“Sudah habis sekali persediaan di rumahku,  Pak.  Makanya saya beranikan diri ke sini. Tadinya saya malu, tapi mau diapalagi Pak.  Kemana lagi saya minta bantuan kalau bukan ke bapak?” katanya perlahan-lahan seraya menunduk.
Saya hanya bisa terdiam menyimak, sambil sesekali menggelengkan kepala, mengernyitkan kening dan menghela napas panjang. Kenapa ini bisa terjadi? Betul-betul saya tidak habis pikir. Sulit dipercaya. Akhirnya ibu Sabariah saya terima bekerja.  Membantu istriku di rumah mencuci piring dan pakaian. Karena istriku juga makin kewalahan,  mengurus tetek-bengek pekerjaan rumah, apatah lagi saat itu, kami tengah menanti kelahiran anak ketiga kami.

Sekali lagi,  saya nyaris tidak percaya apa yang tengah  terjadi. Tetapi ini adalah kenyataan hidup, yang amat pahit lagi getir. Ramadhan kini bukan milik ibunya lagi.  Ia sepenuhnya sudah jadi milik istrinya. Sebagaimana bapaknya dulu yang pergi begitu saja. Apakah peristiwa-peristiwa serupa  akan terulang lagi. Tapi kepada ibu Sabariah dan anak perempuannya, siapa yang akan meninggalkan siapa? Bukankah ibu Sabariah semakin renta dimakan usia dan tenaganya makin reda. Dan anaknya, yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal itu, belum juga betul-betul terbebas dari penyakit yang telah lama dideritanya.















Posting Komentar

1 Komentar