Oleh : Hamsinah Hamid
Belakangan ini, beranda Facebook dipenuhi oleh berita duka. Berita duka dari Gaza, Palestina. Gaza dihujani roket yang ditembakkan oleh tentara Israel menyebabkan beberapa rumah hancur. Bahkan menimbulkan korban yang meninggal maupun luka dari beberapa keluarga. Simpati dan empatipun berdatangan dari berbagai belahan dunia. Termasuk dari Indonesia.
Berbagai cara dilakukan untuk menunjukkan simpati. Bahwa mereka, penduduk Palestina tidak sendirian. Banyak yang mendukung mereka. Aksi pembantaian Israel adalah isu kemanusiaan. Karena itu demonstrasi pro gaza tidak hanya terjadi di Negara Islam, namun melanda seluruh dunia, termasuk Eropa dan Amerika Latin.
Bukan kali ini saja penduduk Palestina merasakan kekejaman zionis Israel. Hal ini sudah berlangsung sejak lama. Semenjak masa pendudukan dimulai, kekejaman itu berlangsung terus menerus. Pada perang 1948 saja, rezim zionis melakukan penghancuran atas desa-desa bangsa Palestina, Israel tercatat menghancurkan, menistakan, dan mengubah fungsi-fungsi tempat-tempat suci umat Islam Palestina. Bisa dibayangkan penderitaan bangsa Palestina dengan tindakan zionis Israel yang zalim itu.
Wilayah Palestina yang pada awalnya meliputi kawasan yang luas. Akibat pendudukan zionis Israel di wilayah Palestina itu, berangsur-angsur menyusut menyisakan wilayah Tepi Barat dan Gaza. Imigran Yahudi didatangkan dari berbagai belahan dunia, khususnya dari Eropa untuk menempati wilayah-wilayah Palestina yang diduduki oleh tentara pendudukan Israel itu. Dan yang lebih menyedihkan lagi, wilayah yang tersisa, Gaza pun mengalami pemblokadean oleh bangsa penjajah itu.
Menurut Muhsin Labib, dalam bukunya, Gelegar Gaza, Sejak pertengahan 2007, Jalur Gaza, di Palestina, sebuah wilayah yang tidak mencapai setengah luas Jakarta dan padat dihuni oleh lebih dari 1,5 juta populasi, diblokade dari darat, laut, dan udara. Penduduknya dipaksa bergantung hidup dari bantuan kemanusiaan yang aksesnya juga dibatasi tentara pendudukan Israel. Banyak orang menyebut wilayah jalur pantai ini sebagai “penjara paling besar di dunia” (the biggest prison in the world).
Penduduk Gaza hidup kedinginan karena minimnya pasokan listrik dan bahan bakar untuk menghangatkan tubuh. Ratusan bayi kekurangan gizi. Mereka yang sakit dan perempuan-perempuan hamil kerap harus meregang nyawa karena kurangnya persediaan obat-obatan, atau terbatasnya akses ke rumah-rumah sakit di luar perbatasan.
Hidup tanpa pilihan di bawah blokade yang ketat seperti itu membuat mereka, melihat bahwa perlawanan adalah satu-satunya pilihan. Mereka menggali terowongan-terowongan sempit melintasi perbatasan demi bertahan hidup. Mereka menembakkan roket-roket primitif demi meneriakkan perlawanan terhadap ketidakadilan yang ditimpakan kepada mereka, tutur Muhsin Labib lebih lanjut dalam buku tersebut.
Bangsa Israel yang mengklaim Palestina sebagai tanah yang dijanjikan merasa berhak untuk menguasai tanah yang dulu pernah ditinggalkannya berabad-abad tahun yang lalu. Namun tanah itu sudah didiami oleh bangsa lain, sehingga mereka berusaha mengusir bangsa tersebut dengan cara-cara di luar batas kemanusiaan. Berbagai dukungan dan penolakan terhadap pendudukan dan pemblokadean Gaza berdatangan dari berbagai belahan dunia. Termasuk dari seorang perempuan yang bernama Rachel Corrie. Rachel Corrie inilah yang diabadikan sebagai nama sebuah kapal pengangkut bantuan kemanusiaan untuk Gaza.
Rachel Corrie, seorang gadis muda dari Washington. Ia menamatkan pendidikannya di SMA, kemudian melanjutkan studinya ke Evergreen State College. Di sinilah Corrie bergabung dengan sebuah gerakan kemanusiaan yang didirikan tahun 2001. Gerakan kemanusiaan itu bernama ISM (International Solidarity Movement). Gerakan ini berupaya untuk menekan Israel dan tentaranya supaya menghentikan penjajahan terhadap Palestina.
Corrie berangkat ke Rafah di Jalur Gaza pada tahun 2003 dan mengikuti pelatihan di sana untuk menjalankan aksi damai. Corrie menyaksikan secara langsung betapa banyaknya rumah warga Palestina yang dihancurkan Zionis Israel dengan kejamnya. Dia juga menyaksikan warga Palestina yang terbunuh setiap saat. Ia merekam kejadian ini di dalam e-mail yang dikirmkan kepada keluarga dan teman-temannya di Washington.
“Wahai kawan dan keluarga, saya sudah dua pekan satu jam di Palestina. Saya masih kesulitan berkata-kata untuk bisa menggambarkan kondisi yang saya lihat di sini. Sungguh ini kondisi paling sulit buat saya untuk memikirkannya sambil duduk dan menuliskan kembali setelah berada di Amerika,” Demikian bunyi e-mail Corrie.
Sampai suatu hari, Corrie melihat adanya penggusuran paksa yang dilakukan oleh Tentara Israel. Saat itu, Corrie secara spontan berupaya untuk menghentikan penggusuran itu. Namun, upaya Corrie tidak berhasil. Buldozer tetap melaju menuju rumah-rumah warga. Corrie ingin menghalangi lajunya karena Corrie mengetahui bahwa di dalam rumah-rumah itu masih ada warga.
Corrie berusaha sekuat tenaga. Corrie berteriak tapi tidak digubris sang penggusur. Bulldozer itu tetap melaju. Perempuan muda asal Washington itu pun pasang badan. Ikhtiar Corrie ini pun harus dibayar mahal. Buldozer Israel itu menabrak dan melindah tubuh Corrie berulang kali tanpa ampun. Tubuh pejuang Corrie pun hancur. Corrie pun meninggal di usia yang sangat muda, 23 tahun. Sejak saat itu ia pun menjadi martir bagi perjuangan membela Gaza. Nama Corrie pun diabadikan sebagai pejuang kemanusiaan.
Luar biasa perjuangan dan pengorbanannya, bukan? Corrie yang nonmuslim rela mengorbankan jiwanya untuk membela orang-orang yang tertindas di Palestina. Ini membuktikan bahwa apa yang terjadi di Palestina adalah tragedi kemanusiaan. Walaupun ada segelintir zionis sawo matang di tanah air yang membela Israel. Namun, sebagian besar penduduk Indonesia mendukung kemerdekaan bangsa Palestina. Sebagai komitmen bangsa kita yang anti penjajahan. Bahwa Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Bangsa kita cukup lama merasakan penjajahan dan penindasan bangsa Asing. Dan hal itu sangat-sangat tidak menyenangkan. Dan saat ini kita ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara kita di belahan dunia lain. Dan tentu saja ingin terlibat membantu mereka dengan berbagai cara, sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang menyalurkan bantuan dana, ada yang senantiasa menshare berita-berita tentang kondisi Palestina terkini. Dan ada pula yang selalu mendoakan saudara-saudara mereka yang ada di Palestina. Apapun bentuk dukungan kita terhadap perjuangan Palestina akan sangat berarti bagi mereka.
Sebagai warga negara Indonesia, saya bersyukur pemerintah kita senantiasa berperan aktif dalam membela perjuangan bangsa Palestina di forum-forum Internasional. Dan satu lagi, saya bangga negara kita tidak pernah menjalin kerja sama dengan negara penjajah itu. Apalagi memberikan izin untuk membuka kedutaan mereka di negara kita. Seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang menjadi kebanggaan sebagian umat Islam di negara kita seperti Arab Saudi dan Turki. Namun, sebagai pribadi, saya merasa bahwa belum bisa berbuat apa-apa untuk mereka, belum bisa memberikan sumbangsih yang cukup berarti terhadap perjuangan bangsa Palestina. But, I always hope, Palestina will be Free...
0 Komentar