Subscribe Us

ksk logo.jpg

Liputan Maulid Akbar di Penghujung Rabiul Awwal



Di penghujung Rabiul Awwal, kembali personil KSK menghadiri undangan maulid akbar dari Komunitas Pecinta Nabi dan Ahlulbaitnya. Dalam acara tersebut disamping diisi dengan suguhan sholawat yang syahdu dari grup nasyid Misykat, juga dibanjiri oleh hadiah untuk menggembirakan anak-anak. Acara tersebut juga diselingi dengan kuis berhadiah bagi yang bisa menjawab pertanyaan. Orang tua yang memiliki anak yang namanya sama dengan nama Nabi yang mulia juga tidak luput mendapatkan hadiah.

Pada kesempatan tersebut tampil dua penceramah hikmah maulid yaitu Uztad Muhammad Adlani dan Uztad Miftah. Dalam pengantar ceramahnya, uztad Miftah sempat memprotes panitia yang menempatkan namanya lebih di atas daripada nama Uztad Muhammad Adlani. Menurutnya orang yang memiliki nama yang sama dengan nama Nabi, wajib dimuliakan. Bahkan ketika menyebut nama depannya Muhammad maka seharusnya (secara adab) berhenti sejenak menyampaikan sholawat kemudian melanjutkan menyebut kata keduanya. Biasanya orang yang memiliki nama awal Muhammad menyingkatnya menjadi Muh. atau M, menurutnya seharusnya hal tersebut tidak dilakukan dan yang terlanjur melakukannya seharusnya memohon maaf kepada Nabi.

Beliau mengawali ceramahnya dengan kalimat penegasan  bahwa Baginda Nabi dan almaksumin tidak pernah terdahului dalam satu amalan kebaikan. Saking pentingnya proposisi ini beliau sempat mengulang-ulang berkali-kali dan berpesan bahwa seandainya tidak ada yang lain yang bisa diingat dari dari ceramahnya selain kalimat tersebut, itu sudah memadai.

Menurut beliau, orang umumnya lebih sering merujuk kepada kata sunnah nabi. Namun ada juga kata lain yakni uswah yang berarti teladan tinggi dari nabi, sesuatu yang menurutnya teramat berat menjalankannya.

Prinsip "Tidak akan pernah terdahului dalam satu amalan kebaikan", misalnya Nabi tidak pernah terdahului dalam mengucapkan salam, karena dalam satu salam ada tujuhpuluh kebaikan, 69 kebaikan bagi yang mengucapkannya dan satu bagi yang menjawabnya. Begitupun dalam berjabatan tangan, beliau tidak pernah melepas tangannya lebih dulu. Kalau ada jamuan makan, beliau selalu pertama mengambil makanan dan selalu terakhir berhenti makan, agar sahabat-sahabatnya tidak sungkan. Begitupun beliau selalu mengambil makanan yang terdekat bukan yang terlezat. Dalam berbicara pun beliau tidak pernah memotong pembicaraan seseorang karena hal tersebut seolah-olah  menampar wajah orang yg berbicara tersebut. Teladan Imam Sajjad juga dalam hal ini tidak memotong pembicaraan orang lain meskipun orang tersebut mencaci makinya. Begitupula dalam memakai wewangian, sampai-sampai belanja beliau untuk wewangian lebih besar dari belanjanya untuk makan.

Berangkat dari prinsip tadi, lebih lanjut beliau mengajukan pertanyaan kuiz :
- Siapa yang lebih merindukan siapa, kita atau nabi?
- Siapa yang lebih wajib memuliakan siapa?
- Siapa yang mesti lebih merendah dihadapan siapa ?
- Siapa yang harus membuat ridho siapa ?
Seseorang yang menjawab pertanyaan tersebut terjebak pada term ahlaki keseharian, bahwa kitalah yang seharusnya lebih merindukan, memuliakan dan merendahkan diri dihadapan nabi. Padahal proposisi kunci "Nabi dan al ma'sumin tidak pernah terdahului dalam satu amalan kebaikan."  Jika merindukan adalah suatu kebaikan maka tentu kerinduan nabi jauh lebih besar.

Demikian pula halnya dengan merendahkan diri, Nabi lebih merendahkan dirinya di hadapan kita. Hal ini menurut beliau sesuai dengan firman Allah dalam Surah As Syuara : 214, 215. Dalam ayat tersebut ada perintah kepada Nabi : "Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu...". Dalam hal ini ada yang  berpendapat bahwa merendahkan diri, dimaknai merendahkan diri secara pemahaman. Maksudnya berbicara kepada khalayak sesuai dengan kadar akal. Di sinilah menurutnya makna yang tepat atas taqiyah, bukan menyembunyikan apa yang dipahami, melainkan menyampaikan suatu kebenaran dengan sebaik-baik cara, sesuai dengan kadar akal orang yang dihadapi. 

Surah Al Muzammil berbicara mengenai cahaya yang menyingkap kegelapan sedikit demi sedikit. Mata yang terbiasa dalam kegelapan, ketika cahaya disibakkan kepadanya sekaligus, maka pasti mereka akan  silau.  Dalam hal merendah sesuai pemahaman, menurut beliau tidak ada seorangpun yang sampai pada cara baginda Nabi.

Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa maksud ayat tadi, disamping merendahkan diri secara pemahaman, ada juga yang menganggap merendahkan diri secara lahiriah. Contoh ketika ada sahabat beliau yang jalan kaki sementara beliau berkendara, maka Nabi turun dan mengajak sahabatnya untuk gantian menaikinya. Tapi karena sahabat tersebut merasa segan akhirnya beliau memerintahkannya untuk jalan lebih dulu. Jadi menurut beliau, yang dimaksud disini adalah merendahkan diri lahir dan batin. 

Pada akhir ceramahnya, beliau kembali menegaskan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa sampai kepada teladan nabi yang tinggi. Bahkan menurutnya, justru amalan-amalan Nabi-lah yang telah melindungi kita dari turunnya azab Allah. Oleh karena itu, sebaik-baik amalan kita hadiahkan untuk Baginda Nabi, apakah itu sholawat, atau pahala haji, ziarah, dll, kita niatkan sebagai persembahan untuk baginda Nabi. Akan pasti diganjar dengan hadiah yang lebih berlipat lipat lagi. Demikian pula ketika kita diperintahkan untuk senantiasa membaca doa keselamatan untuk Imam Zaman (Allahumma kunliwaliyyika...), agar perlindungan, pertolongan, petunjuk Allah senantiasa meliputi kita melalui haq Imam Zaman. Pada intinya, apapun yang kita berikan tidak akan sebanding dengan luasnya karunia-Nya.

Posting Komentar

5 Komentar