Subscribe Us

ksk logo.jpg

IBU


Oleh : Hamsinah Hamid

         Tik tik tik … Bunyi hujan di atas seng rumah. Tanda musim penghujan sudah tiba. Kuambil baskom untuk menadah air yang menetes dari atap yang bocor. Rencana Ibu untuk memperbaiki atap rumah terhalang lagi.  Uang yang rencananya untuk membeli pengganti seng yang bocor kupakai untuk membayar uang sekolah.

Yah, beberapa bulan ini aku mesti menunggak pembayaran sekolah karena Ibu lagi sakit. Ibu terkadang masuk kerja kadang tidak. Ibu bekerja di rumah Hajjah Susanti. Di sana Ibu bekerja mencuci pakaian dan piring. Bukan cuma di sana tetapi juga di rumah tetangga yang memerlukan jasa Ibu. Maklum Ibu tidak punya pendidikan untuk melamar pekerjaan yang lebih dari itu.

Ibu pernah membuka usaha kelontong namun gulung tikar akibat kurangnya pembeli. Karena pembeli lebih suka membeli di Alfa Mart dan Indomaret. Begitulah, Alfa Mart dan Indomaret merangsek ke pemukiman penduduk. Banyak yang angkat tangan dalam bersaing dengan toko retail itu.

Ibu juga pernah membuka usaha pulsa. Namun, usahanya kandas karena banyak yang pinjam dulu baru bayar kemudian. Untung kalau membayar, kalau pembayarannya tak kunjung tiba. Modal yang ada bisa ludes. Begitulah, akhirnya modal pun terkikis perlahan-lahan. Dan ibu menyatakan good bye dengan usaha perpulsaan.

Ibuku bekerja keras membanting tulang setelah Ayah meninggal dunia. Tak ada kata lelah baginya, yang penting anak semata wayangnya bisa makan, berpakaian serta mengeyam pendidikan yang layak. Tidak pernah Ibu mengeluh sekalipun walaupun dalam keadaan sakit.

Jika ia masih bisa bangun, maka ia akan pergi bekerja. Tapi, beberapa hari ini Ibu menyerah dengan sakitnya. Ia tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Sepertinya ia demam. Sambil memijit kening Ibu, aku memulai percakapan dengannya.

“Ibu, besok kita ke Rumah Sakit, yah!”
“Ah, tidak usah, Nak. Nanti juga baikan kok.”
“Lho, kok Ibu ndak mau. Yang penting kita tau Ibu sakit apa.”
“Oh, iya klo begitu, baiklah Nak. Kita ke Puskesmas besok.”

Begitulah sosok Ibu. Kesehatannya sendiri tidak terlalu ia pikirkan.  Yang terpenting baginya adalah bagaimana ia bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dan menyekolahkanku setinggi-tingginya. Dari hasil kerja kerasnya itulah aku bisa sampai pada penghujung pendidikanku di bangku SMA sekarang.

Aku juga mendapat bantuan pendidikan dari pemerintah selama menempuh pendidikan. Namun, bantuan itu tidaklah cukup karena sekolah yang kutempati termasuk sekolah yang cukup mahal pembayarannya. Rencananya selepas lulus SMA nanti, aku ingin menempuh pendidikan keperawatan. Semoga aku bisa mendapatkan beasiswa nanti.

Akhirnya tibalah pendaftaran mahasiswa baru di sebuah Akademi Keperawatan. Aku sudah bertekad bulat untuk serius belajar. Godaan untuk menjalin hubungan alias pacaran dari beberapa lelaki kutampik begitu saja. Bukannya aku tidak tertarik. Sebagai manusia biasa tentu saja aku juga punya ketertarikan dengan lawan jenis.

Namun, aku berpikir menjalin hubungan atau pacaran bisa menyebabkan pendidikanku terganggu. Saat ini aku hanya mau serius belajar. Jika sudah usai kuliahku, aku mau bekerja dulu baru menjalin hubungan serius alias langsung menikah saja tanpa melalui proses pacaran.
  
Aku kasian dengan Ibu yang kerja keras menguliahkanku sementara aku asyik pacar-pacaran. Aah…ndak deh. Apalagi aku mulai belajar agama. Dan aku sudah mulai paham batas-batas dalam pergaulan.

Beberapa semester berlalu terasa begitu cepat. Keseriusanku dalam menempuh study mendapat ganjaran yang setimpal. Aku berhasil mendapatkan nilai-nilai yang memuaskan dari semua mata kuliah yang diajarkan di bangku kuliah. Dan, akhirnya akupun lulus dengan memuaskan sebagai lulusan terbaik tahun ini.  

Dalam acara wisuda, ibuku menghadiri acara itu. Dengan mata berkaca-kaca, Ibu memelukku setelah acara selesai. Ia sangat bangga denganku.  Walaupun kondisi keuangan kami yang tidak memadai, aku bisa menyelesaikan kuliah dengan baik. Aku percaya semua ini berkat doa Ibu yang senantiasa ia lantunkan di sepertiga malam yang hening.


**********
Selepas kuliah aku tidak mau berlama-lama menganggur. Aku ingin bekerja. Aku ingin meringankan beban Ibu yang selama ini dipikulnya. Aku mencoba melamar pekerjaan di sebuah rumah sakit. Namun, sudah  tiga kali aku memasukkan lamaran kerja. Tak satupun yang merespon dengan baik lamaranku.

Lamaranku ditolak. Ternyata, nilai-nilai mentereng di ijazahku tidak serta merta membuatku bisa diterima dengan mudah bekerja. Atau mungkin Dewi Fortuna belum berpihak padaku.

Aku kecewa dan segala kekecewaanku kuutarakan kepada Ibu. Aku belum bisa membalas segala jasa dan kebaikan Ibu selama ini. Aku belum mendapatkan pekerjaan. Padahal dengan bekerja, aku yakin bisa membahagiakan Ibu.

Aku bisa membelikan apa yang diinginkan Ibu. Dan kalau bisa aku ingin sekali mewujudkan cita-cita Ibu yang ingin sekali berkunjung ke baitullah. Harapan yang selama ini mustahil terjadi karena kondisi keuangan kami yang serba terbatas.

Ibu tersenyum mendengar semua keluh kesahku. Ibu berkata, “Nak, bersabarlah. Insya Allah suatu saat engkau akan bekerja juga. Tapi, jangan putus asa. Coba lagi besok, yah. Doa Ibu selalu menyertaimu, Nak.”

Melihat teduhnya senyum Ibu dan perkataannya yang menyejukkan hati, aku terhibur dan itu sudah cukup membangkitkan kembali semangatku untuk mencoba melamar pekerjaan kembali. Ayoo semangat gaes !!

Keesokan paginya, aku sudah siap berangkat kembali. Mencoba peruntungan.  Siapa tahu rezekiku sudah terbuka hari ini.

Aku melangkah memasuki parkiran area rumah sakit yang cukup ternama di kota Makassar, Rumah Sakit Awal Bross. Dengan perasaan dag dig dug der, dumba-dumba’ istilahnya orang Makassar, menunggu para petugas kesehatan berdatangan.  Kayaknya aku kepagian datangnya. Rupanya aku terlalu bersemangat kali ini. Hehehe..

Akhirnya aku berhasil memasukkan surat lamaran kerjaku dengan sukses. Dari hasil perbincangan dengan para petugas kesehatan di rumah sakit, ternyata pada saat ini rumah sakit lagi membutuhkan beberapa perawat karena perawat yang lama ada yang sudah resign, ada yang cuti hamil dan ada yang berhenti tanpa alasan yang jelas. Wow…kebetulan sekali. Semoga kali ini aku bisa diterima bekerja di sini.

Kata petugas yang menerima berkas lamaran kerjaku, “Dik, tunggu telpon dari kami, yah! Apakah Adik diterima bekerja di sini atau tidak tergantung dari pimpinan rumah sakit.”

Jawabku sambil tersenyum, “Baik, Bu. Aku tunggu telponnya.  Aku berharap bisa diterima bekerja di sini.” Aku pulang dengan perasaan riang. Sepertinya, kali ini aku akan diterima bekerja, deh. Pikirku penuh harap.

Seminggu kulalui dengan penuh harap. Detik demi detik aku menunggu panggilan dari rumah sakit tempatku melamar pekerjaan. Tiap kali smartphoneku  berdering, aku akan segera mengangkatnya. Siapa tahu panggilan itu berasal dari pihak rumah sakit. Tapi ternyata, tiap menerima telepon aku mesti kecewa. Karena yang menelepon bukan dari yang kuharapkan.

Sampai suatu saat kudengar hpku berdering lagi. Aku yang sementara berselancar di dunia maya tidak segera mengangkat teleponnya. Aku pikir panggilan itu panggilan nyasar. Karena nomornya tidak tersimpan di nomor kontakku.

Namun, tiba-tiba aku terkesiap, jangan-jangan telepon itu dari rumah sakit. Aku mencoba menghubungi kembali nomor yang menghubungiku tadi. Alhamdulillah, panggilan diterima.

“Halo…Assalamu alaikum, selamat siang” Aku mulai menyapa
“Waalaikum salam,” jawab seorang Ibu dari seberang sana.
“Iya Bu, mau bicara dengan siapa? Tanyaku.
“Oh, iya, Dik. Apa Adik yang bernama Safira Nur Khadijah?”
“Betul…Aku yang bernama Safira. Ada apa yah? Oh, yah dengan Ibu siapa?

“Saya, Ibu Rina dari Rumah Sakit Awal Bross. Adik yang melamar kerja di Rumah Sakit Awal Bross, kan? tanya Ibu Rina. Lanjutnya, “Adik diminta hadir ke rumah sakit besok untuk proses wawancara. Alhamdulillah, Adik diterima bekerja di tempat kami. Selamat yah, Dik. Semoga sukses.”
“Alhamdulilah... Terima kasih banyak atas infonya, Bu. Insya Allah, aku akan datang besok ke rumah sakit.

Ibu Rina mengucapkan salam mengakhiri percakapan kami via telepon. Aku sendiri merasa belum percaya dengan apa yang terjadi. Kucubit-cubit pipiku untuk membuktikan bahwa ini bukan mimpi.

Aduuh…Sakiit. Rupanya aku tidak sedang bermimpi. Ini kenyataan gaes. Sepertinya aku mau berteriak seperti anak kecil…Horeee…Aku diterima kerja. Sya la la la. Aah alay deh… Astagfirullah. Mestinya aku lebih banyak bersyukur. Alhamdulillah wa syukurillah.

Aku langsung mencari Ibu yang sementara berada di halaman. Ibu sedang menikmati keindahan bebungaan yang sementara bermekaran. Ibu memiliki hobbi menanam bunga. Aku tinggal menikmati keindahan bunga itu. Hasil tangan dingin Ibuku yang tersayang.

“Ibuu…Aku diterima kerja, Bu.”
“Iya, Nak. Betulkah itu? Alhamdulillah.”
“Iya, Bu. Alhamdulillah.”

Aku memeluk Ibu dengan erat sambil mencium pipinya. Ibu kelihatannya sangat bahagia melihatku  riang kembali. Setelah beberapa hari ini kelihatan murung.  Akibat menunggu panggilan kerja yang tak kunjung tiba. 

Ibu sebenarnya tak mempermasalahkan aku yang belum bekerja. Rupanya ia ingin menjodohkan aku dengan anak teman baiknya. Tapi aku menolak karena aku belum kepikiran untuk segera menikah. Aku mau bekerja dulu seperti yang pernah kucita-citakan dahulu.


**********

Akhirnya, aku bekerja sebagai seorang perawat di Rumah Sakit Awal Bross. Rumah sakit bertaraf internasional. Gajinya lumayan untuk kehidupan sehari-hari dan sisanya bisa kutabung. Ibu kuminta untuk berhenti bekerja.

Ibu bersedia berhenti bekerja membantu tetangga. Tetapi dengan satu syarat, ia ingin  membeli mesin jahit. Ia ingin bekerja menjadi penjahit. Kebetulan ia pernah kursus menjahit. Aku menyetujui keinginan Ibu.

Usaha jahitan Ibu ternyata berkembang. Dari hari ke hari, Ibu semakin banyak menerima orderan jahitan. Menurut pemakai jasa Ibu, jahitan Ibu cukup rapi dan ongkosnya cukup terjangkau. Namun, Ibu tak bisa mengambil terlalu banyak orderan. Karena tenaganya yang terbatas.

Lagi pula kadang orderan  yang masuk serba mendadak. Ini hari dibawa, besok sudah mau diambil. Mana bisa?? Kecuali hanya menjahit rok yang sobek. Itu bisa dikerja dalam hitungan menit. Aku meminta kepada Ibu supaya jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja.

Suatu hari Ibu kelihatan meringis di depan mesin jahitnya ketika ia ingin menyelesaikan orderan jahitannya. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Ibu. Sudah beberapa hari ini Ibu tampak kurang sehat.

Aku mengajaknya ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatan Ibu. Dari hasil diagnosa, Ibu menderita penyakit gagal ginjal. Penyakitnya itu sebenarnya sudah lama Ibu derita. Mungkin Ibu terlalu kelelahan bekerja dan kekurangan asupan cairan sewaktu bekerja.

Aah..Ternyata, selama ini Ibu menyembunyikan penyakitnya. Ia tidak pernah menceritakan penyakitnya padaku. Sepertinya Ibu takut aku bersedih jika aku mengetahui bahwa ia sedang sakit.

Kesehatan Ibu semakin memburuk. Apalagi ia mesti menjalani hemodialysis. Tubuhnya semakin mengurus. Karena ia tidak berselera makan. Hanya satu keinginannya sekarang, ia ingin melihatku menikah sebelum ajal menjemputnya.

Keinginan Ibu aku turuti. Aku menerima lamaran seorang pria. Pria itu anak teman baik Ibu. Saya percaya Ibu tidak salah memilihkan jodoh buatku.

Kata Ibu, anak temannya itu sering ke rumah bersama ibunya sewaktu kami kecil. Katanya, aku pernah berteman dan bermain bersama dengannya. Dulu waktu aku dan dia masih kecil.

Aku sudah lupa masa-masa itu. Ia dan keluarganya kemudian pindah ke kota lain. Namun, hubungan Ibu dan temannya itu masih terjalin dengan baik sampai saat ini. Apalagi dengan fasilitas media sosial yang tersedia sekarang. Komunikasi berjalan dengan lancar yang penting ada kuota data internet.

Ibuku meninggal setelah beberapa hari aku menikah. Aku sangat bersedih karena kepergian Ibu terlalu cepat. Sungguh....Aku terpukul dengan kepergian Ibu.

Aku merasa belum cukup berbakti kepadanya. Dan aku belum bisa membahagiakannya. Namun aku harus merelakan kepergiannya. Selamat jalan, Ibuku tercinta. Doaku selalu menyertaimu…


**********

Setelah Ibu meninggal, aku masih tetap bekerja di rumah sakit. Tentunya dengan seizin suamiku. Suatu ketika, saat aku sedang berjalan ke kamar untuk memeriksa keadaan pasien. Aku melihat seorang pria separuh baya yang sedang berbaring lemah di atas tempat tidur.

Bapak itu kaget melihatku. Rupanya, ketika ia melihatku seperti ia sedang mengingat seseorang. Ia memanggilku dengan memberi isyarat tangan. Aku berjalan ke arah bapak itu.

“…S a f i r a Nur Khadijah...” Bapak itu membaca papan nama di bajuku.
“Iya, Pak. Ada apa?” tanyaku.
“Kamu mengingatkan aku kepada seseorang, Nak…” jawab Bapak itu.
“Siapa pak?” Aku cukup penasaran dengan si Bapak.

“Seorang perempuan yang pernah kutinggalkan berpuluh tahun yang lalu. Dia adalah isteriku. Aku meninggalkannya dengan anakku yang masih sangat kecil. Anakku itu seorang perempuan. Namanya mirip dengan namamu. Safira Nur Khadijah. Siapa nama ibumu, Nak?”
“Ibuku bernama Nurul.”
“Kok bisa sama yah, nama ibumu dengan nama isteriku. Nama anakku dengan namamu. Apakah engkau adalah anakku, yah?”

“Oh tentu bukan, Pak. Kata ibuku, ayahku sudah lama meninggal. Waktu aku masih kecil. Sampai sekarang, aku tidak mengingat wajah ayahku. Foto-foto ayahku disimpan oleh Ibu dalam lemari. Mungkin ia bersedih kalau ia melihat kembali foto Ayah. Ia akan terkenang dengannya. Dan aku tidak pernah mencoba meminta Ibu untuk memperlihatkan foto-foto Ayah.”
“Mungkin, engkau ingin melihat foto isteri dan anak bapak.  Foto itu kutaruh di dompet.”

Bapak itu kemudian mengambil sebuah dompet. Ia mengambil sehelai foto dan memperlihatkannya padaku. Di dalam foto itu tampak seorang bapak, seorang ibu dan anak perempuannya.

Wajah perempuan yang ada dalam foto itu mirip sekali dengan wajah Ibu. Mungkinkah itu Ibuku? Mungkinkah anak perempuan yang ada dalam foto itu adalah aku? Dan mungkinkah bapak yang ada dalam foto itu adalah ayahku?

Dan kini Ayah sedang berada tepat di hadapanku. Perasaanku berkecamuk. Berbagai pertanyaan timbul dalam benakku. Mengapa Ibu tidak pernah menceritakan ini semua padaku? Mengapa dan Mengapa? 

“Kalau Engkau ingin membuktikan bahwa aku ini bapakmu dan engkau adalah anakku," kata bapak itu. Lanjutnya, “Cobalah buka lemari ibumu. Dan ambil album foto di dalamnya. Engkau bisa menyamakan foto ini dengan foto-foto yang berada dalam album itu.”

Aku minta izin pulang kepada dokter penjaga. Ia mengizinkan aku pulang cepat. Aku ingin segera membuktikan kebenaran ucapan bapak yang mengaku ayahku itu. Sejak dulu aku tidak pernah sedikitpun berpikir bahwa Ayah masih hidup. Kuambil motor dan kupasang helm di kepalaku. Aku meluncur ke arah rumahku.

Tak lama kemudian aku tiba di rumah. Suamiku sedang tak ada di rumah. Ada jadwal mengajar hari ini di kampus.  Aku langsung masuk ke kamar Ibu. Dan menghampiri sebuah lemari antik. Aku mencari kuncinya. Kuncinya ternyata ada di atas lemari. Lemari itu terbuka.

Aku mengambil album foto di dalam laci lemari. Album foto yang sudah tua. Aku membuka album foto itu. Foto yang diberikan bapak itu mirip dengan foto-foto yang kutemukan di dalam album foto itu.

Aku tidak tahu mau berbuat apa. Aku merasa syok. Aku tidak tahu apakah aku mesti bahagia atau marah. Kalau memang ia ayahku, kenapa ia meninggalkan kami?

Apakah Ayah tidak mencintai Ibu atau paling tidak, mencintai aku, darah dagingnya sendiri? Mengapa dulu Ayah begitu tega meninggalkan aku yang masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ayah?

Pertanyaan silih berganti merasuki alam pikiranku. Aku harus segera mendapat jawabannya. Kularikan kembali motorku ke arah rumah sakit. Aku ingin segera menjumpai bapak itu kembali. Dan menanyakan semua yang mengganjal di benakku. Sang bapak menjelaskan mengapa ia meninggalkan Ibu dan aku.

Waktu itu, ketika mereka menikah mereka masih belia. Karena rasa cinta yang begitu besar antara mereka. Mereka tidak bisa dipisahkan lagi. Mereka bagaikan Romeo dan Juliet. Di mana ada Ayah, di situ ada Ibu. Sehingga mereka dinikahkan oleh orang tua mereka.  

Namun, ternyata dalam perjalanan pernikahan mereka kerap terjadi pertengkaran. Sikap perhatian antara mereka berubah setelah menikah. Apalagi ketika sang isteri hamil, tentunya butuh perhatian lebih, tapi sang suami malah asyik bermain dengan teman-temannya. Ketika ada masalah, tak ada yang mau mengalah.

Sampai suatu ketika ada perempuan lain yang memikat hati Ayah. Ayah yang kepincut, memilih kawin lari dengan perempuan itu. Ia meninggalkan Ibu dan aku yang masih kecil. Kemudian ia tersadar dan kembali mencari Ibu dan aku. Namun, ia tidak menemukan kami. Ternyata, kami sudah pindah ke kota lain. Dan ia tidak menemukan jejak mereka.

Setelah mendengar penjelasan Ayah, aku tidak tahu mau bersikap bagaimana. Seharusnya aku marah kepada Ayah karena ia telah meninggalkan kami, Ibu dan aku. Tetapi, entah mengapa rasa marah itu sirna melihat kondisi Ayah saat ini. Yang terbaring lemah di pembaringan.

“Aku minta maaf padamu, Nak,” pinta bapak. Lanjutnya, “Ijinkanlah Ayah untuk ketemu ibumu!”
“Untuk apa, Pak? Ibu sudah melupakan semuanya.”
“Bapak hanya ingin minta maaf kepada ibumu, Nak.”

“Minta maaf…Minta maaf sudah tidak bisa lagi, Pak.”
“Kenapa, Nak?” tanya Bapak. Lanjut bapak, “Padahal Ayah sangat berharap bisa meminta maaf kepada ibumu, sebelum ajal menjemputku.”
“Soalnya, Ibu sudah meninggal dunia, Pak.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Ya, Tuhaan, aku belum sempat memohon maaf padanya.”


**********

Aku meninggalkan Ayah yang bersedih mendengar kabar tentang Ibu. Penyesalan datang menghinggapinya tanpa terbendung. Aku sendiri belum bisa menerima kehadiran Ayah begitu saja. Yang sekian lama dan bahkan sudah bertahun-tahun, kuanggap telah tiada. Kini tiba-tiba muncul di hadapanku.

Akankah suatu hari nanti aku bisa menerima Ayah kembali dalam kehidupanku? Karena biar bagaimanapun ia adalah ayah kandungku. Aah, biarlah waktu yang akan menjawabnya.

Posting Komentar

0 Komentar