Subscribe Us

ksk logo.jpg

Saffron, Herbal Ajaib dari Negeri Pintu Gerbang Ilmu.


Oleh : Rajab S. Daeng Mattayang

Dipikir-pikir, memang, cukup mengherankan. Bahkan bikin geli sendiri merenungkannya. Tempat mukim saya bersebelahan dengan sebuah pusat kesehatan, tapi tak sekali pun saya berkunjung ke sana untuk berobat atau berkonsultasi. Padahal sudah sekitar seperlima abad saya tinggal berumah di tempat itu. Kalau mau, tentu, akan lebih mudah, karena beberapa dokter dan perawatnya cukup saya kenal lantaran sering berinteraksi. Padahal beberapa tahun terakhir, saya mengalami gangguan pencernaan, susah buang air besar bahkan sampai  mengakibatkan  ambeien atau wazir akut, berdasarkan penelusuran saya di beberapa situs kesehatan ternama.

Kebiasaan bandel ini akibat ketidakpercayaan pada pengobatan medis kontemporer yang jauh dari konsep yang  holistik. Apalagi dengar-dengar dan lihat-lihat seringkali hanya obat sapu jagat saja yang diberikan kepada semua pasien, boleh saja saya keliru, berupa obat pereda panas dan penurun rasa nyeri.  “Itu-itu saja obatnya”, kata beberapa pasien. Sebentar-sebentar atau sedikit-sedikit yang ditawarkan adalah obat-obatan kimia, sekalipun itu hanya sakit ringan semisal flu, sakit kepala, panas dingin atau semacamnya, yang sebenarnya bisa diatasi oleh immun otomatis kita ditambah dengan istirahat yang cukup dan makan makanan pendukung. Konsekuensi penggunaan obat kimia semacam itu, memang, memberi efek kesembuhan yang instan tapi dalam jangka panjang justru akan melemahkan immun kita sendiri, bahkan membunuhnya. Akibat berikutnya, adalah ketergantungan pada obat yang juga dapat melahirkan efek samping yang tak diinginkan. Apakah itu semua tidak terlepas dari  lingkaran bisnis kesehatan atau mungkin mafia kesehatan. Entahlah.

Dalam kasus penyakit saya, segala macam pengobatan alternatif telah saya upayakan. Mulai dari diet makanan dengan menghindari makan nasi yang diganti dengan hanya mengkonsumsi umbi-umbian dan sayuran serta makanan lainnya yang kaya serat. Selain itu, saya  juga rutin minum madu, habbatussaudah serta rajin minum air hangat terutama di pagi hari dan menjelang tidur. Alhasil, memang ada perubahan, tapi penyembuhan ala herbal dan diet semacam ini sungguh-sungguh butuh kedisiplinan dan kesabaran lebih. Apalagi ketika menghadiri acara kenduri dan semacamnya dengan sajian makanan yang menggiurkan. Setelah kurang lebih setengah semester berdiet dengan penuh disiplin, akhirnya benteng pertahanan kesabaran saya jebol juga. Itu terjadi  lantaran tergoda dengan maknyusnya Coto Makassar dan  beberapa ketupat berisi nasi padat sebagai pasangannya. Diet ketat lainnya juga ikut dilanggar, dan konsekuensinya, bisa ditebak, penyakit pencernaan dan wasir saya kambuh lagi.  Tentu saja, semua itu membuat aktivitas saya sangat terganggu.

Di tengah kegalauan kritis antara tetap berobat herbal atau menyerah dengan cara menerima pengobatan kimia dari dokter, akhirnya saya mendapat tawaran untuk mencoba minuman herbal dari negeri para Mullah, saffron namanya.  Seingat saya, saat itu, ada seorang thalabeh, sebutan bagi pelajar atau mahasiswa di sana, pulang kampung ke Indonesia yang membawa berbagai barang unik untuk ditawarkan di Indonesia, terkhususnya di daerah Makassar dan sekitarnya.  Jadilah saya satu diantara beberapa teman yang mengkonsumsi herbal impor tersebut. Terus terang,  saya datar-datar saja tanpa banyak harap ketika menerima tawaran minuman kesehatan tersebut. Begini-begini, saya selalu mengutamakan dan menomorsatukan herbal tempatan made in Indonesia yang kaya raya dengan tetumbuhan herbalnya, apalagi harganya terkesan mahal untuk kantong saya. Tapi, “Sudahlah, kita coba saja, semoga ada berkahnya,” kataku kepada istriku sebagai jurutawar dan jurubayar.

Satu, dua, tiga hari belum nampak pengaruhnya. Namun saya tetap meminumnya tanpa lupa mewarnainya dengan rapalan doa dan shalawat. Saya tetap bersemangat merutinkan ramuan tersebut karena istri saya pun ikut menggunakannya, apalagi ramuan ini biasanya rutin tersedia di pagi dan sore hari sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikannya.

Ketika masuk pekan pertama, mulailah ada perubahan berarti. Perasaan lemas dan dingin berangsur-angsur mulai lenyap, buang air besar  jadi lancar  dan tak perlu berlama-lama di kamar mandi. Masuk pekan kedua, ketiga dan seterusnya, Alhamdulillah badan jadi enteng kembali seperti sebelum saya mengalami penyakit pencernaan dan wasir. Istriku pun ikut merasakan manfaatnya. Serangan kacima’—perasaan dingin menggigil dalam bahasa Makassar—yang kerab menyerangnya secara tiba-tiba tidak pernah lagi dialaminya.   Tidak rugi kiranya tempo hari membelinya, bahkan pada satu kesempatan lain sekali lagi memborongnya untuk persediaan. Hingga saat ini, saffron sudah menjadi minuman herbal yang senantiasi disajikan, meskipun dengan kadar dan intensitas yang lebih rendah.

Menariknya lagi, safaron ini sangat mirip dengan kasumba Turate atau Kasumba Bugis. Bedanya kasumba Turate lebih mudah budidayanya sehingga harganya pun sangat murah dan lebih dikenal sebagai obat sakit serampa saja. Awalnya saya menduga kuat kalau kasumba turate bisa mengganti saffron sebagai alternatif. Namun setelah menilik sejarah panjang saffron, yang ternyata sudah digunakan sekitar abad ke-7 sebelum masehi dan telah banyak diakui hingga harganya sangat mahal. Bahkan saffron disebut-sebut sebagai emas hitam dan dinobatkan sebagai rempah termahal di dunia, saya pun sedikit keder, ternyata putik dari bunga Crocus sativus ini memang berbeda dengan kasumba Turate. Iseng-iseng, lewat percakapan WA, saya mengajak seorang thalabeh asal Sulawesi di Asia Barat sana  untuk mencoba membudidayakannya di sini. Namun, menurut penjelasannya,  kendala iklim bisa menjadi penghambat.  Adapun kalau hendak betul-betul mencoba, barangkali iklim seperti di kabupaten Jeneponto lah yang lebih memungkinkan. Kalau berhasil, khan bisa menjadi pundi-pundi pemasukan baru.  

Posting Komentar

0 Komentar