Sekelumit Cara Pandang Surgawi
Kehidupan adalah realitas mejemuk, terjadi sejak semula adanya kehidupan. Dunia adalah tempat kita membangun ritme kehidupan dalam membangun relasi keseimbangan antar eksistensi. Kehidupanlah yang membuat dunia menjadi dinamis, kreatif dan inovatif. Dengan kehidupan dinamis itulah kemejemukan menjadi tumbuh dalam berbagai karya dan upaya untuk mempertahankan kehidupan.
Dunia dapat membangun jiwa manusia, tentu bukan karena pengaruh atau daya dunia, melainkan pesona dan berbagai pernak-pernik yang mempesona dan sekaligus memperdaya itu. Tetapi pada saat yang lain, dunia dapat meruntuhkan tatanan jiwa kemanusiaan pada tingkat yang hina, tentu ini juga karena pesona itu.
Kehidupan dapat membentuk relasi kekuatan jiwa dengan alam semesta, tergantung kecenderungan setiap pelaku dari penumpuh jalan ruhani atau justru membiarkan akal kita memainkan kecenderungan pada setiap pilihan-pilihan dalam bersikap. Kehidupan hanya manyajikan apa yang menjadi titisan Dari-Nya lalu membiarkan manusia memilih sesuai dengan kecenderungannya.
Dunia adalah bayangan surgawi, karena itu dunia menjadi indah. Keindahan dunia karena ada relasi dengan keakhiratan, dimana dunia merupakan bayang-bayang sorgawi yang jatuh kebumi. Dunia tak mungkin indah jika sumber bayangan tidak memiliki keindahan. Tetapi pada saat yang sama, dibalik keindahan dunia, ia menyimpan duri yang kapan saja bisa melukai kita atau bahkan menjadi racun yang mematikan.
Bayangan adalah "serba tidak jelasan", itulah mengapa manusia butuh buku panduan. Manusia dengan akalnya masih belum cukup dijadikan tuntunan dalam menggeluti mesin semesta ini. Hanya yang membuatlah yang mengerti. Agar siapa saja yang pelancong di dunia ini, maka ia harus membawa buku petunjuk dalam memasuki wilayah yang serba tidak jelas itu. Akal kita, hanya terbatas pada dimensi apa yang dilihat dan dirasakan, akal kita lemah, karenanya ia membutuhkan dua hal yakni, kitab suci serta para Nabi dan Keluarganya. Mereka yang memiliki otoritaslah yang mampu memasuki wilayah kesempurnaan dalam batas-batas hak pengetahuan manusia.
Keelokkan dunia dapat membelokkan nafsu, sementara keindahannya bisa membutahkan mata batin kita. Bayangan kehindahan sorgawi hanya akan nampak bagi mereka yang telah melewati berbagai tempahan pengalaman dan akan menjadi pemantik nafsu bagi mereka yang tidak mawas diri. Jika pikiran kita tidak menangkap setiap makna dalam bentuknya yang positif, maka kita akan terjerembab dalam cinta dunia, dimana cinta dunia, tidak lain kecuali hanya menyisahkan malapetaka, kesedihan dan duka kemanusiaan yang tiada henti.
Dunia bukanlah kampung asli manusia, manusia adalah pendatang dan asing di kampung dunia. Oxodus manusia yang di awali oleh Nabi Adam as adalah tanda bahwa dunia harus ditempuh dan dihuni manusia. Soal "pelanggaran" Adam as, sehingga menjadi penyebab, saya pikir kita harus mencari alasan yang masuk akal dari pada terperangkap pada logika dosa Adam, sehingga manusia terlempar kebumi. Bagi saya, "kesalahan" nabi Adam karena ia menemukan jalan ke dunia, yakni mengaktualkan potensi kemanusiaannya, bukan potensi surgawi.
Nabi Adam adalah manusia bumi, karena itulah bumi diciptakan. Adam, Hawa dan bumi adalah merupakan satu rangkaian yang saling presisi. Bumi adalah jalan untuk kembali ke negeri asal, yakni Surga. Perjalanan pulang adalah sistematika gerak substansi, dimana manusia (Adam) harus pergi agar bisa kembali. Jadi, Nabi adam dalam kegelisahannya menemukan Hawa dan Hawa adalah jalan jiwa yang harus ditemukan oleh Adam sesuai perintah atas kegelisahan atas keterasingan di Sorga.
Manusia sebagai pewaris nabi Adam adalah sama dari sisi potensi, namun berbeda dari kualitas sifat secara khusus. Adalah manusia yang secara kodrati merupakan manusia surga yang diemban tugas untuk mencari "domba yang terbaik", untuk dipersembahkan dan sekaligus sebagai bukti penciptaan yang sempurna dari makhluk yang lainya. Kisah Habil dan Ismail adalah metafor dari kisah perjalanan untuk kembali, engkau boleh kembali, akan tetapi harus mempersembahkan yang terbaik.
Untuk mendapatkan hukum surga maka terlebih dahulu memahami hukum bumi. Bumi adalah tempat latihan agar bisa bertanding di surga dan sudah pasti siapa yang yang lolos dari sistem audisi dunia akan lolos di mahkama ilahi. Dunia hanya tempat sementara, karena itu, dunia disebut kampung persinggahan. hanya mereka yang berani dan cepat dalam mengenali dunia yang tidak akan terprosok.
Sama seperti Adam, manusia akan gelisah tanpa pasangan. Sendiri memang harus dilalui agar kita memahami siapa diri kita. Dan dengan kesendirian itu, manusia akan merasakan kebutuhan pasangan. Pasangan itu adalah kesempurnaan. Setiap orang akan memiliki gerak menuju kesempurnaan diri. Itulah mengapa agama mengatakan, bahwa berpasangan adalah separuh dari agama. Dengan hidup majemuk itu, sehingga pada akhirnya nanti, kita akan mengerti ditengah-tengah keramaian, di antara manusia lainya, bahwa dibalik itu semua, yakni baik sendiri maupun hidup dalam berpasangan adalah jalan mengenal yang tunggal, ini adalah esensi manusia di bumi, yakni menjadi hamba.
Jalan Menuju Keabadian
Lalu apa maksud hidup kemajemukan?, bukankah dengan kemajemukan manusia akan banyak mengalami benturan. Bukankah kemajemukan itu akan melahirkan pertentangan-pertentangan. Kehidupan manusia sangat dekat dengan realitas alam disekeliling kita. Alam dan manusia saling memberikan relasi keseimbangan pada cara pandang dan makna hidup.
Mari kita perhatikan sejenak, bunga menjadi indah karena memiliki warna dan setiap warna mengandung keindahan. Dan setiap keindahan akan diikuti dengan keindahan yang tinggi dari keindahan pertama. Dengan bunga satu warna akan memiliki keindahan yang berbeda dengan keindahan bungan yang beragam. Semakin beragam warna bunga akan semakin memberikan nuansa keindahan. Artinya kualitas keindahan sangat ditentukan oleh beragamnya warna bunga.
Relasi kemajemukan tentang hidup, baik cara pandang, sifat dan berbagai tabiat-tabiat manusia sesungguhnya mengantarkan kita pada kemampuan mengolah rasa untuk menemukan keindahan dari setiap perbedaan. Hakikat kemajemukan justru akan berbanding terbalik dari tabiat perbedaan, nilai kemanusiaan akan bertumbuh dengan adanya kemampuan mengelola kecenderungan perbedaan tersebut. Artinya perbedaan akan melatih kita memahami setiap karakter manusia. Dengan begitu jiwa kita akan menjadi terlatih dalam memahami dari sifat yang berbeda dari setiap orang.
Dengan begitu, kita menjadi paham apa yang dimaksud dari tata urutan kejadian peristiwa. Keahlian selalu terbentuk dari banyaknya pengalaman, dan kualitas pengalaman terbentuk sejauh mana kita melibatkan rasa serta emosional dalam menghadapi setiap tata urutan seluruh peristiwa. Sabar tidak terbentuk dengan sendirinya, tetapi sabar adalah hasil tempahan hidup yang terjadi secara berulang-ulang.
Jadi ujung kemajemukan adalah kualitas diri. Dan proseslah yang mengantarkan kita pada kematangan jiwa. Kita menjadi paham bahwa seluruh peristiwa yang bernuansa perbedaan justru dapat memberikan edukasi menuju kualitas diri. Dalam bahasa agama disebut iman dan takwa. Jadi maksud hakikat keragaman adalah keindahan. Jika cara pandang kita telah memasuki wilayah keindahan maka dapat dipastikan bahwa jiwa-jiwa tersebut adalah merupakan hasil tempahan hidup dalam berbagai dimensinya.
Jika kita memperhatikan setiap keindahan, tidak akan berakhir pada satu keindahan semata, tetapi setiap keindahan akan mengantarkan kita pada keindahan lain dan begitu seterusnya. ini berarti bahwa apa yang kita saksikan pada satu objek keindahan bukanlah akhir dari keindahan itu sendiri. Keindahan laut dan matahari terbenam, berbeda dengan keindahan purnama, keduanya indah tak saling menggugurkan.
Ada keindahan yang hakiki dari keindahan dunia dan keindahan sorga bukanlah batas akhir dari keindahan, akan tetapi masih ada keindahan mutlak, dimana keindahan tersebut menjadi tujuan akhir dari seluruh objek penglihatan, yakni keindahan Tuhan. Tahapan perjalanan manusia menuju insan kamil tidak terjadi begitu saja, akan tetapi, ia melalui proses yang amat panjang, ia melibatkan peristiwa dalam pergumulan waktu yang tiada terhitung.
Kehidupan dari setiap manusia sungguh membutuhkan pemahaman setiap realitas, realitas adalah penampakan objektif dari setiap tajjali. Kehadiran seluruh realitas bertujuan agar manusia menemukan dirinya yang sesungguhnya. Perjalanan akan bermakna jika dari setiap peristiwa kita dapat mengambil hikmah, yang dengan hikmah tersebut dapat mengantarkan kita pada temuan-temuan tahapan hidup sehingga pada akhirnya kita benar-benar memahi diri kita.
Untuk mengukur setiap realitas yang nampak, apakah ia benar-benar sebagai penampakan, bukan bayangan, maka cukup dengan melihat, merasa agar kita tidak terperosok dalam kenihilan makna. Kehilangan orientasi hidup dikarenakan nihilnya makna dari kehidupan. Juga menyebabkan malapetaka, sebab yang dituju tidak jelas. Hilangnya orientasi hidup karena kita tidak mengerti makna dari apa yang kita jalani. Pandangan dunia, manusia dan Tuhan tidak lagi memikili kejelasan sebagai akibat tebalnya tabir makna dari setiap realitas kehidupan yang kita jalani.
Kita sering diperhadapkan pada realitas sederhana, tetapi realitas sederhana itu, juga mengalami kekaburan makna. Lalu kita mengalami hidup seperti sombi. Hanya hidup untuk sebuah nihilisme akut. Semua realitas di luar diri, dianggap sebagai santapan. Kita hidup, dimana kita tidak lagi memiliki independensi, pada hal independensi adalah modal kemanusiaan.
Meskipun manusia memiliki kemerdekaan dalam berkehendak (free Will), akan tetapi di hadapan Tuhan, ia hanya ibarat televisi yang sepenuhnya dikendalikan oleh remote. Manusia tergantung sepenuhnya pada Tuhannya. Seluruh elemen yang dimiliki manusia tak satupun yang bisa mandiri. Ciptaan tidak mungkin memiliki kemandirian, termasuk manusia. Manusia hanya berjalan sesuai instruksi sesuatu yang berada di belakang remote.
Lalu apakah kemudian kita menjadi cuti nalar, lalu bergerak sesuai gerak semesta. Jawabnya tidak, sebab apapun itu, jika tidak ada akal untuk menalar, maka seluruh realitas tidak bisa kita pahami, termasuk kitab suci dan para Nabi. Meskipun kitab suci sebagai petunjuk dan nabi sebagai sistem penjelas atas berbagai informasi yang ada di dalam kitab suci, tanpa akal semuanya menjadi nihil.
Makassar, 27.11.2019
0 Komentar