Subscribe Us

ksk logo.jpg

Pentingnya Monitoring Radioaktif di Perairan Indonesia dan Bahan Pencemar yang Lainnya

Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.

Kasus terdeteksinya dugaan paparan radioaktif pada udang beku asal Indonesia yang dijual di Amerika Serikat baru-baru ini bagai sambaran petir di siang bolong. Dunia internasional tercengang, dan kepercayaan publik terhadap keamanan pangan laut Indonesia terguncang. Peristiwa ini tidak hanya menyangkut soal ekspor yang ditolak atau reputasi dagang yang tercoreng, tetapi menguak kenyataan pahit bahwa selama ini kita tidak memiliki sistem monitoring lingkungan yang sistematis, terukur, dan berkelanjutan, khususnya terhadap bahan pencemar berbahaya seperti radioaktif. Indonesia adalah negeri kepulauan, dengan 70 persen wilayahnya berupa laut. Seharusnya, lautan kita bukan sekadar halaman belakang yang diabaikan, melainkan beranda dunia yang kita jaga dengan penuh tanggung jawab. Namun, fakta bahwa indikasi kontaminasi justru terdeteksi pertama kali di negara tujuan ekspor, bukan oleh lembaga pengawas di tanah air, memperlihatkan adanya celah besar dalam pengawasan. 

Apakah perairan Nusantara selama ini diam-diam telah menjadi laboratorium buangan bahan radioaktif yang tak terpantau? Atau apakah rantai produksi perikanan kita telah dibiarkan tanpa perlindungan memadai? Apa pun jawabannya, kasus ini adalah alarm keras yang tidak boleh kita abaikan, sebab kontaminasi radioaktif bukan hanya soal citra dagang, melainkan soal kesehatan masyarakat, keberlanjutan ekosistem laut, dan kedaulatan pangan nasional.

Radioaktif adalah ancaman yang berbeda dari pencemar lainnya. Jika logam atau mikroplastik masih bisa didegradasi sebagian atau terakumulasi secara terbatas, maka radionuklida bekerja lebih licik. Zat seperti cesium-137, strontium-90, atau uranium-238 memiliki waktu paruh panjang, dapat bertahan puluhan hingga ratusan tahun di lingkungan, dan sekali masuk ke perairan akan menyebar ke seluruh rantai makanan. Dari plankton sebagai produsen primer, ke ikan kecil, ke predator, hingga akhirnya ke manusia yang berada di puncak rantai makanan. Efek biologisnya pun mengerikan: kerusakan DNA, kanker, kelainan genetik, penurunan kesuburan organisme laut, hingga kerusakan ekosistem yang tak mudah dipulihkan. Pada manusia, konsumsi seafood yang terkontaminasi radioaktif menimbulkan dampak kumulatif yang baru terasa setelah bertahun-tahun, membuatnya dijuluki silent killer yang bekerja dalam senyap, tetapi mematikan. Beberapa hasil penelitian menegaskan bahwa akumulasi radionuklida dalam biota laut lebih sulit dikendalikan dibanding logam karena sifatnya yang mobil, menyebar cepat mengikuti arus, dan menetap di sedimen laut dalam waktu lama. Itulah mengapa monitoring menjadi kewajiban moral pemerintah terhadap rakyatnya.

Sayangnya, kondisi monitoring di Indonesia masih jauh dari memadai. Selama ini pengawasan kualitas lingkungan laut lebih banyak berfokus pada parameter konvensional: kualitas air, kandungan logam seperti merkuri dan timbel, pestisida, BOD, COD, serta baru belakangan ini mulai meluas ke mikroplastik. Itu pun umumnya hanya dilakukan dalam konteks riset akademis atau proyek insidental, bukan sebagai sistem nasional yang berkesinambungan. Lembaga seperti BAPETEN memang memiliki mandat mengawasi sumber radiasi, tetapi fokusnya lebih ke fasilitas nuklir, reaktor, dan rumah sakit, bukan perairan laut yang luas. 

Sementara itu, Dinas Perikanan maupun Dinas Lingkungan Hidup di daerah biasanya tidak memiliki instrumen atau sumber daya manusia yang cukup untuk mendeteksi radionuklida. Dengan kata lain, kita menghadapi celah besar dalam sistem pengawasan. Padahal, Indonesia berhadapan dengan banyak potensi sumber kontaminasi radioaktif: aktivitas tambang uranium, nikel, dan batubara yang terbukti memiliki keterkaitan dengan isotop radioaktif; penggunaan isotop radioaktif di rumah sakit; limbah industri; bahkan potensi masuknya limbah radioaktif dari luar negeri melalui arus laut regional. Tanpa monitoring, kita ibarat menutup mata di tengah lautan yang perlahan terkontaminasi.

Kasus udang beku yang ditolak di Amerika seharusnya menjadi momentum besar untuk memperbaiki sistem. Pemerintah harus berani membangun sistem monitoring radioaktif yang terpadu dan modern. Pertama, monitoring tidak boleh dilakukan secara insidental, tetapi rutin. Pemeriksaan berkala memungkinkan terbentuknya baseline data yang dapat digunakan untuk mendeteksi tren kontaminasi. Kedua, diperlukan kolaborasi multi-instansi. BAPETEN, Dinas Perikanan, dan Dinas Lingkungan Hidup harus bersinergi, bukan berjalan sendiri-sendiri. Tanpa koordinasi, monitoring hanya akan menjadi jargon tanpa hasil nyata. Ketiga, transparansi mutlak diperlukan. Hasil monitoring harus dibuka ke publik agar masyarakat, nelayan, dan pelaku usaha tahu kondisi sebenarnya. Transparansi menciptakan kepercayaan, sekaligus kontrol sosial. Keempat, kita perlu berinvestasi pada teknologi canggih: sensor online, drone laut, citra satelit, hingga laboratorium bergerak. 

Di era kecerdasan buatan, Indonesia tidak boleh lagi hanya mengandalkan laboratorium konvensional yang lamban dan mahal. Jepang pasca-Fukushima, misalnya, telah membuktikan bahwa monitoring berbasis sensor real-time bisa membantu membangun kepercayaan publik. Eropa melalui Marine Strategy Framework Directive juga mewajibkan negara anggotanya melakukan monitoring radionuklida laut secara ketat.

Selain pendekatan konvensional, kita perlu memperkuat sistem dengan biomonitoring dan monitoring berbasis efek. Biomonotoring menggunakan organisme laut sebagai sentinel organisms, penjaga awal yang merekam jejak pencemar di tubuh mereka. Kerang hijau (Perna viridis) adalah contoh klasik yang digunakan dalam berbagai penelitian logam dan mikroplastik. Untuk radioaktif, organisme seperti moluska, ikan kecil, atau alga bisa menjadi indikator yang efektif. Analisis jaringan mereka lebih praktis dan murah dibanding hanya mengukur sampel air. 

Lebih jauh lagi, kita perlu mengembangkan monitoring berbasis efek dengan biomarker. Biomarker adalah respon biologis dalam tubuh organisme akibat paparan pencemar. Untuk radioaktif, beberapa biomarker yang relevan adalah kerusakan DNA yang dapat diuji dengan comet assay, perubahan kadar enzim antioksidan, kelainan embrio ikan, atau tingkat apoptosis (kematian sel). Studi dari Ecotoxicology and Environmental Safety menunjukkan bahwa penggunaan biomarker pada ikan model seperti Oryzias mampu mendeteksi efek radioaktif pada tahap embrionik bahkan ketika konsentrasi radionuklida di lingkungan masih rendah. Pendekatan ini menjadikan biomarker sebagai alarm biologis yang mendahului data kimiawi, memberi kita waktu lebih banyak untuk bertindak sebelum kontaminasi meluas.

Negara-negara maju telah lama mengadopsi pendekatan ini. Jepang, sejak tragedi Fukushima 2011, secara rutin memeriksa kadar cesium-137 pada ratusan sampel ikan sebelum dilepas ke pasar. Eropa pun mengintegrasikan biomonitoring ke dalam kebijakan lingkungan mereka. Indonesia harus belajar dari pengalaman ini. Sebagai eksportir besar produk perikanan, reputasi kita bisa hancur hanya karena satu kasus, sementara membangun kembali kepercayaan internasional jauh lebih sulit. Data FAO 2024 mencatat nilai ekspor perikanan Indonesia mencapai lebih dari USD 6 miliar per tahun. Artinya, ancaman penolakan pasar karena isu radioaktif bukan hanya soal keamanan pangan, tetapi juga soal devisa negara dan keberlanjutan ekonomi jutaan nelayan.

Implikasi sosial, ekonomi, dan kesehatan dari ketiadaan monitoring jelas berlapis-lapis. Dari sisi ekonomi, ekspor terancam, pasar global bisa menutup pintu, dan Indonesia akan kehilangan devisa. Dari sisi kesehatan, masyarakat pesisir dan konsumen domestik bisa menjadi korban utama karena mengonsumsi seafood tercemar tanpa pernah tahu risikonya. Dari sisi sosial, nelayan bisa kehilangan mata pencaharian karena laut mereka dicap kotor, meski mereka sendiri tidak pernah tahu dari mana sumber pencemarnya. Ketiadaan monitoring berarti pengabaian terhadap prinsip keadilan ekologis. Rakyat kecil yang hidup dari lautlah yang pertama kali menanggung beban, sementara negara gagal melindungi mereka.

Apa yang harus dilakukan Indonesia? Pertama, kita perlu mendirikan Pusat Monitoring Laut Nasional yang secara khusus memantau bahan pencemar berbahaya, termasuk radioaktif. Kedua, pelaku industri pertambangan, energi, dan rumah sakit harus diwajibkan melaporkan potensi pembuangan limbah radioaktif, dengan sanksi tegas jika melanggar. Ketiga, riset perguruan tinggi harus diintegrasikan ke dalam kebijakan nasional, bukan berjalan sendiri-sendiri. Laboratorium kampus dapat menjadi garda terdepan biomonitoring, asalkan diberi dukungan anggaran. Keempat, masyarakat pesisir perlu dilibatkan secara aktif dalam pengambilan sampel. Model citizen science yang berhasil diadopsi di Eropa bisa dicontoh: nelayan menjadi “ilmuwan warga” yang membantu mengumpulkan data, sehingga monitoring lebih merata dan berakar. Kelima, negara harus mengalokasikan dana riset khusus untuk pengembangan biomarker lokal pada spesies laut Indonesia, agar sistem monitoring benar-benar berbasis ekologi Nusantara.

Kasus udang beku yang ditolak Amerika adalah tamparan keras. Ia mengingatkan bahwa laut bukan hanya sumber pangan, tetapi juga arena pertaruhan antara keselamatan manusia dan kelalaian pemerintah. Monitoring radioaktif bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Bukan semata demi menjaga citra ekspor, tetapi demi melindungi rakyat dan laut kita sendiri. Indonesia harus segera membangun sistem monitoring yang modern, terintegrasi, dan berbasis sains. Seperti kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Dalam konteks radioaktif, pepatah itu bahkan lebih tegas lagi: mencegah adalah satu-satunya jalan, sebab begitu laut tercemar, generasi masa depanlah yang akan membayar harganya.

gambar : https://www.quipper.com/, https://www.bola.com/ragam/

Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.


Posting Komentar

0 Komentar