Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.
Setiap tahun, jutaan kaki menapaki jalan menuju Karbala. Lautan manusia bergerak dari Najaf ke makam Imam Husain as dalam ziarah Arbain, menyatu dalam gelombang dzikir, doa, dan air mata. Di antara mereka, ada yang menempuh jarak ribuan kilometer, ada yang menabung bertahun-tahun, dan ada pula yang—karena kelapangan rezeki—berangkat setiap tahun, bahkan berkali-kali.
Namun, di tengah kemegahan spiritual itu, ada ironi yang sering luput dari pembicaraan: banyak pecinta Imam Husain yang tak pernah sekalipun menjejakkan kaki di Karbala, bukan karena kurang cinta, tetapi karena terhalang biaya. Mereka hanyalah pekerja sederhana, petani kecil, buruh harian, atau ibu rumah tangga di pelosok negeri yang menyalakan cinta Al-Husain dalam hati, tapi tidak punya ongkos untuk merasakannya dengan mata kepala.
Dan yang paling menyedihkan adalah: para peziarah yang mampu, yang telah berangkat berkali-kali, sering kali menutup mata terhadap mereka.
Cinta kepada Imam Husain bukan monopoli mereka yang hadir di Karbala. Ribuan jiwa di kampung-kampung kecil, di rumah-rumah sederhana, hidup dengan semangat Ya Laitana Kunna Ma'akum—“andai saja kami bersamamu.” Mereka membaca kisah Karbala, menangis dalam majelis, dan menundukkan kepala saat nama Zainab as disebut.
Tapi mereka terjebak di realitas ekonomi yang keras. Sementara itu, ada orang-orang yang setiap tahun memposting foto di depan kubah emas, mengganti profil media sosial dengan pemandangan Karbala, tanpa pernah bertanya: Siapa saja saudara-saudara saya yang belum pernah sampai ke sini?
Arbain adalah perayaan ukhuwah—persaudaraan. Jalan dari Najaf ke Karbala bukan sekadar lintasan fisik, tapi simbol perjalanan bersama menuju kebenaran. Jika kita menghayati ruh Arbain, seharusnya setiap langkah kita di jalan itu adalah langkah yang membawa orang lain ikut serta.
Apa gunanya kita menempuh perjalanan itu sepuluh kali, dua puluh kali, bahkan lebih, sementara di sisi kita ada pecinta Imam Husain yang seumur hidup belum pernah merasakannya sekali pun?
Imam Husain tidak membutuhkan kita untuk membuktikan cinta dengan jumlah keberangkatan. Cinta yang sejati diuji dengan seberapa jauh kita membuat orang lain juga bisa merasakannya.
Berkali-kali berangkat ziarah tanpa memikirkan mereka yang belum pernah pergi adalah bentuk ego spiritual. Itu bukan pengorbanan, tapi konsumsi pribadi atas rasa religius. Kita pulang dengan hati yang hangat, tapi hati saudara kita tetap dingin karena impian mereka tak pernah terwujud.
Padahal, satu kali menunda perjalanan pribadi demi memberangkatkan saudara yang miskin adalah langkah yang lebih dekat kepada semangat Karbala. Bukankah di Karbala, Imam Husain mengajarkan kita untuk mendahulukan orang lain, bahkan di atas kepentingan hidup sendiri?
Bayangkan jika para peziarah yang sudah sering berangkat, sepakat untuk sekali saja menunda keberangkatan, dan mengumpulkan dana itu untuk memberangkatkan mereka yang belum pernah. Satu tiket ditukar dengan dua atau tiga tiket untuk orang lain. Dalam setahun, ribuan pecinta Imam Husain yang selama ini hanya mengenal Karbala lewat gambar akan bisa merasakan tanahnya, mencium udaranya, dan meneteskan air mata di maqamnya.
Itulah Arbain yang sejati—bukan hanya ribuan langkah kita, tapi ribuan langkah orang lain yang kita bantu wujudkan.
Cinta yang memonopoli hanya akan memuaskan diri sendiri. Cinta yang membagi akan menyebarkan cahaya. Arbain seharusnya menjadi momen di mana kita bertanya: Siapa lagi yang belum ada di jalan ini, dan bagaimana saya bisa membuat mereka hadir?
Karena di hadapan Imam Husain, tidak ada yang ditanya: Berapa kali kau ziarah? Tetapi akan ditanya: Berapa qalbu para pecinta yang kau ajak bersama?
gambar : https://www.presstv.ir/, https://globalejournal.org/
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar