Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Saya sedang berdiri di belakang saf shalat Maghrib ketika itu. Saya shalat dengan fiqih Jakfari, bukan mau beda, tetapi untuk mencari berkah tradisi Ahlul Bait, bahwa shalat jadi makmun imam dari saudara Ahlus Sunnah adalah sama dengan shalat jadi makmun Imam Zaman. Saya sedang shalat bukan di masjid jami’, bukan pula di masjid kampung atau mushalla gang sempit. Tapi di jantung sebuah mall ternama—simbol kapitalisme dan konsumsi, tempat orang-orang berbelanja, nongkrong, mengejar diskon, dan kadang melupakan waktu.
Di tengah udara sejuk AC dan cahaya LED yang menyilaukan mata, saya menyaksikan satu pemandangan ganjil sekaligus menstimulasi pikiran: barisan jamaah yang rapat dan tenang. Gelombang shaf shalat datang bergelombang. Beberapa dari mereka mengenakan jas mahal, lainnya kemeja modis dengan jam tangan Swiss. Mereka tampak seperti eksekutif muda, pebisnis mapan, pegawai korporat, atau mungkin akademisi yang sedang mengisi jeda belanja dengan gerak rukuk dan sujud.
Ada keindahan yang sedang merayap di sana. Shalat yang khusyuk di antara hiruk pikuk mall menjadi pertanda bahwa kesadaran spiritual tidak mati di tengah gemuruh modernitas. Dan inilah yang membuat saya berpikir: mungkinkah ini cikal bakal gerakan sosial baru, lahir bukan dari kampus atau pesantren, melainkan dari masjid mall?
Sosiologi selama ini terlalu terpaku pada narasi kelas bawah sebagai motor perubahan. Tapi sejarah juga mencatat: tak jarang kelas menengah memainkan peran penting dalam mentransformasi tatanan sosial, sepertinta yang terjadi di Revolusi Islam Iran. Mereka punya akses terhadap ilmu, sumber daya ekonomi, jaringan, dan, yang lebih penting—kesadaran. Ketika kelas menengah turun ke jalan membawa poster, dunia melihat. Tapi ketika kelas menengah turun ke masjid dengan hati yang khusyuk, langit dan bumi bergetar.
Masjid mall, tempat yang dulu dianggap pinggiran dalam ritual keagamaan, kini bisa menjadi simpul spiritual bagi kelas menengah urban. Ini bukan sekadar tempat transaksional untuk menggugurkan kewajiban, tapi menjadi ruang kontemplasi yang menjembatani kesadaran personal dan etika sosial. Di sinilah, menurut saya, “modal sosial” Islam modern bisa dibangun—yakni solidaritas baru yang berbasis kesalehan transformatif, bukan ritualistik.
Allah berfirman:
ŁَŲÆْ Ų£َŁْŁَŲَ Ų§ŁْŁ ُŲ¤ْŁ ِŁُŁŁَ ٱŁَّŲ°ِŁŁَ ŁُŁ ْ ŁِŁ ŲµَŁَŲ§ŲŖِŁِŁ ْ Ų®َŁٰŲ“ِŲ¹ُŁŁَ
(QS. Al-Mu’minun: 1–2)
Ayat ini tidak berhenti pada dimensi ibadah semata. Lafal “qad aflaha” (sungguh telah menang) mengisyaratkan bahwa kemenangan bukan hanya janji akhirat, tetapi capaian dalam kehidupan nyata. Dan syaratnya adalah khusyuk—suatu kesadaran batin yang melampaui gerak tubuh, menyatu dalam tujuan hidup dan kontribusi sosial.
Jika mereka yang shalat di masjid mall itu benar-benar khusyuk, maka mereka bukan hanya sedang berdoa—mereka sedang membangun bangsa. Sebab shalat yang khusyuk akan melahirkan karakter yang jujur dalam bisnis, adil dalam keputusan, amanah dalam jabatan, dan rendah hati dalam keberhasilan. Mereka akan menjadi ayah yang adil, istri yang lembut, pemimpin yang bijak, dan warga negara yang peduli.
Ali Shariati, sang pemikir revolusioner dari Iran, pernah berkata bahwa Islam bukan agama yang hanya membentuk pribadi “shalih” dalam ruang privat, tapi Islam adalah gerakan pembebasan. Dalam satu ceramahnya ia mengatakan:
“Shalat bukan hanya bentuk komunikasi dengan Tuhan. Ia adalah deklarasi perlawanan terhadap kesewenang-wenangan, terhadap sistem yang membuat manusia lupa dirinya dan Tuhannya.”
Shariati membenci agama yang dijadikan pelarian. Ia mengutuk “Islam pelayan status quo” yang menjadikan shalat sebagai penghibur rasa bersalah kaum borjuis, bukan sebagai pemantik perubahan. Tapi sebaliknya, ia juga percaya bahwa jika shalat dilakukan dengan khusyuk, maka ia adalah motor revolusi batin dan sosial.
Maka ketika saya melihat anak-anak muda, wanita karier, dan pria mapan melangkah mantap menuju masjid mall, saya melihat benih harapan. Bahwa di antara hiruk-pikuk gaya hidup konsumerisme, masih ada yang ingin menang secara ilahiah.
Kesadaran berjamaah ini jangan berhenti di sajadah. Ia harus menjadi gerakan. Harus ada transformasi dari ritual pribadi menjadi keterlibatan sosial. Kelas menengah yang saleh harus menjadi pelindung kaum lemah, bukan hanya penikmat kemapanan. Mereka harus menjadi donatur bagi gerakan pendidikan, relawan untuk pembangunan desa, penggagas sistem ekonomi yang adil, dan pembela lingkungan hidup yang rusak karena kerakusan industri.
Masjid mall bisa menjadi titik temu antara spiritualitas dan tanggung jawab sosial. Bayangkan jika setiap orang yang keluar dari masjid mall punya satu tekad untuk memperbaiki satu aspek kehidupan masyarakat: mendidik anak putus sekolah, menyumbang rumah sakit rakyat, menyelamatkan hutan, atau memperjuangkan keadilan. Maka kita akan menyaksikan kebangkitan peradaban dari tempat yang tidak disangka: mall.
Fenomena ini juga harus dibaca sebagai potensi gerakan masyarakat muslim yang progresif —yakni Islam yang bergerak, bukan diam. Jika masjid kampung adalah tempat pendidikan kesabaran dan ketabahan rakyat, maka masjid mall harus menjadi tempat kesadaran dan pengabdian kelas menengah. Bukan untuk menggantikan, tapi saling melengkapi.
Gerakan progresif dari masjid mall harus menyadari tanggung jawabnya: melawan ketimpangan, membela rakyat tertindas, dan menolak dominasi kekuasaan yang zalim. Bukankah Rasulullah juga berdiri di pasar-pasar, di rumah-rumah sahabat, dan di jalan-jalan, menyeru kepada kebenaran?
“Qad aflaha al-mu’minun...” bukan janji di langit. Itu adalah strategi hidup. Orang beriman yang khusyuk shalatnya adalah orang yang menang dalam rumah tangga, dalam profesi, dalam hubungan sosial, dan dalam amal kolektif. Mereka tidak mabuk oleh dunia, tapi menjadikan dunia sebagai ladang amal. Mereka tidak mengejar mall, tapi menjadikan mall sebagai tempat menanam amal.
Masjid mall adalah simbol pertemuan antara modernitas dan spiritualitas. Tapi lebih dari itu, ia bisa menjadi titik awal peradaban baru—jika kita mau mentransformasikan kesalehan menjadi kekuatan. Jika kelas menengah tak hanya membawa dompet ke mall, tapi juga membawa nurani ke masjid, maka insyaAllah, bangsa ini akan menang, seperti yang dijanjikan Allah dalam surah al-Mu’minun.
gambar : https://makassar.tribunnews.com/ (masjid di Nipah Mall Makassar)
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar