Subscribe Us

ksk logo.jpg

Dekonstruksi Konsep Kecepatan yang Menyesatkan (Pelajaran dari Imam Ali untuk Pendidikan Tinggi)

Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.


Pepatah Arab mengatakan:

مَنْ تَعَجَّلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ

Artinya:

"Barangsiapa tergesa-gesa terhadap sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan dihukum dengan tidak mendapatkannya".

Ada sebuah kisah yang jarang disampaikan dalam khutbah dan buku pelajaran kita, namun sarat dengan makna yang menembus ruang dan waktu. Suatu hari, Imam Ali bin Abi Thalib ditawari seekor kuda oleh seorang penjual. Dengan nada promosi yang bersemangat, si penjual memuji kudanya: “Kuda ini bisa berlari sangat cepat. Jika engkau dikejar musuh, engkau akan selamat karena tidak akan ada yang mampu mengejarmu. Jika engkau mengejar musuh, engkau akan dengan mudah menangkapnya.”

Namun, jawaban Imam Ali jauh melampaui transaksi jual beli dan pikiran awam.  Dengan ketenangan seorang negarawan sekaligus kesatria, beliau berkata: “Wahai penjual kuda, aku tidak pernah lari dari musuh. Dan jika musuhku lari, aku tidak akan mengejarnya.”

Sepintas, ini terdengar sederhana. Tetapi jika direnungi, jawaban ini adalah pernyataan prinsip: kecepatan tidak selalu identik dengan keutamaan. Ada nilai-nilai lain yang lebih tinggi daripada sekadar “bergerak cepat” — yaitu keberanian dan ketangguhan untuk tetap tegak, dan kebijaksanaan untuk tidak terjebak dalam pengejaran yang sia-sia.

Dalam kisah ini, Imam Ali memberi kita kerangka berpikir yang melampaui romantisme tentang kecepatan. Kecepatan bisa menjadi kebaikan bila ditempatkan di konteks yang benar, tetapi juga bisa menjadi jebakan bila dijadikan tujuan itu sendiri. Di medan perang, lari cepat mungkin menyelamatkan nyawa, tetapi keberanian dan ketangguhan untuk bertahan adalah kunci kemenangan. Dalam mengejar musuh, kecepatan mungkin membuat kita menangkap mereka, tetapi adakah gunanya bila pengejaran itu tidak diperlukan bahkan bertendensi tindak penindasan?

Analogi ini begitu relevan di tengah obsesi zaman modern terhadap segala yang instan. Dari layanan pesan-antar makanan hingga penyelesaian skripsi, kata “cepat” hampir selalu dikaitkan dengan “baik”. Kita jarang bertanya: cepat untuk apa? dan apa yang dikorbankan demi cepat itu?

Belakangan ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mendorong mahasiswa agar menyelesaikan studinya lebih cepat. Program studi yang semula dirancang untuk delapan semester didorong menjadi tujuh semester, bahkan enam setengah. Di atas kertas, ini terdengar efisien. Indonesia butuh lebih banyak sarjana, dan mempercepat masa studi dianggap solusi.

Namun, kebijakan ini mengandung logika yang sama dengan penjual kuda dalam kisah Imam Ali: mengasumsikan bahwa “lebih cepat” otomatis “lebih baik”. Padahal, pendidikan tinggi bukanlah ajang sprint, melainkan maraton intelektual. Keberhasilan lulusan tidak diukur dari seberapa cepat ia menerima ijazah, tetapi dari seberapa dalam ia memahami ilmunya, seberapa terampil ia mempraktikkannya, dan seberapa luas ia dapat memberi kontribusi nyata.

Jika tujuan pendidikan hanya memproduksi lulusan dengan kecepatan tinggi, risiko yang muncul sangat jelas: proses belajar berubah menjadi sekadar formalitas. Mahasiswa mengejar tanda tangan dosen dan kelengkapan dokumen, bukan penguasaan ilmu. Skripsi menjadi ritual administratif, bukan puncak pencapaian akademik bagi mahasiswa.

Mempercepat masa studi tanpa memperkuat proses belajar hanya akan melahirkan lulusan yang rapuh secara kompetensi. Mereka mungkin cakap mengisi lembar ujian, tetapi gagap ketika dihadapkan pada persoalan nyata di dunia kerja atau riset.

Dalam jangka panjang, sistem yang memuja kecepatan akan mencetak generasi yang terbiasa dengan short cut. Mereka kehilangan ketekunan, kemampuan berpikir kritis, dan keterampilan memecahkan masalah yang kompleks. Dunia akademik berubah menjadi pabrik ijazah, bukan pusat pembentukan insan berilmu.

Dalam logika kebijakan publik, mempercepat kelulusan berarti memperbaiki “angka partisipasi kasar” dan “rasio lulusan” di laporan tahunan. Tetapi angka-angka itu sering menutupi kenyataan lapangan.

Seorang mahasiswa yang lulus sembilan semester dengan keterampilan riset mumpuni, jejaring profesional kuat, dan portofolio karya yang relevan, lebih berharga daripada mahasiswa yang lulus tujuh semester tetapi minim pengalaman dan wawasan. Sayangnya, sistem kita lebih sering memberi penghargaan pada yang cepat, bukan yang matang.

Sejarah mencatat bahwa para ulama besar, ilmuwan, dan filsuf tidak lahir dari proses instan. Imam Syafi’i menuntut ilmu sejak usia belia dan menghabiskan waktu bertahun-tahun menghafal hadis, mempelajari bahasa Arab, dan berdebat dengan ulama di berbagai kota. Ibnu Sina, yang dijuluki Bapak Kedokteran Modern dan juga seorang filosof handal, menghabiskan waktu bertahun-tahun mendalami filsafat dan ilmu kedokteran sebelum menulis Al-Qanun fi al-Tibb yang melegenda.

Dalam tradisi pendidikan klasik, kedalaman ilmu diperoleh dari pengulangan, pengendapan, dan perenungan. Santri medaras kitab yang sama berkali-kali di bawah bimbingan guru, bukan berpindah secepat mungkin dari satu kitab ke kitab lain. Filosofi ini bertolak belakang dengan mentalitas “cepat lulus” yang sedang dipromosikan

Jika kita kembali ke pesan Imam Ali, inti dari pendidikan bukanlah lari lebih cepat, melainkan berjalan di jalan yang tepat dengan keteguhan dan keberanian. Pendidikan adalah proses pembentukan akal, karakter, dan keterampilan. Ia membutuhkan waktu untuk berbuah, sebagaimana pohon perlu musim demi musim sebelum berbuah lebat.

Mahasiswa perlu ruang untuk gagal dan bangkit, untuk bereksperimen dan mengoreksi diri, untuk bertanya dan mencari jawaban, untuk berdiskusi dan mujadalah. Mempercepat masa studi tanpa memberi ruang ini sama saja memaksa pohon berbuah sebelum akarnya kuat.

Obsesi kecepatan dalam pendidikan adalah cerminan obsesi kita dalam kehidupan modern: semua harus instan, dari kopi hingga karier. Tetapi seperti kata Imam Ali, tidak semua kecepatan layak diinginkan. Dalam menghadapi musuh, beliau tidak pernah lari; dalam hal musuh yang lari, Imam Ali mengajarkan tidak  perlu dikejar 

Filosofi ini menuntun kita untuk memilah: kapan kita perlu bergerak cepat, dan kapan kita perlu berdiri tegak.

Dalam konteks pendidikan, ada hal-hal yang memang perlu dipercepat — birokrasi kampus yang berbelit, proses penyaluran beasiswa, atau pembaruan kurikulum. Tetapi inti pembelajaran, yaitu proses penguasaan ilmu dan pembentukan keterampilan, tidak boleh dipangkas.

Alih-alih hanya mengukur keberhasilan dari lama studi, kementerian dan kampus seharusnya menimbang kualitas lulusan. Program percepatan bisa ditawarkan bagi mereka yang memang siap secara akademik dan emosional, tetapi tidak boleh dipaksakan untuk semua.

Kampus dapat menilai kesiapan mahasiswa melalui portofolio karya, hasil penelitian, dan keterampilan praktis, bukan hanya IPK dan jumlah SKS. Dengan begitu, percepatan menjadi pilihan sadar yang dilandasi kompetensi, bukan target statistik.

Kisah Imam Ali dan penjual kuda adalah peringatan yang relevan hingga hari ini. Kecepatan adalah alat, bukan tujuan. Ia bisa menyelamatkan, tetapi juga bisa menjerumuskan jika digunakan tanpa kebijaksanaan.

Dalam pendidikan, memuja kecepatan tanpa memeriksa kualitas adalah kesalahan fatal. Kita bisa saja melahirkan lebih banyak sarjana dalam waktu singkat, tetapi jika mereka rapuh dalam kompetensi, kita hanya menukar satu masalah dengan masalah yang lebih besar.

Seperti Imam Ali, marilah kita belajar untuk tidak tergoda oleh janji kecepatan yang menyesatkan. Lebih baik berjalan mantap penuh keteguhan dan keberanian di jalan yang benar daripada berlari kencang menuju jurang.

gambar : https://kalam.sindonews.com/, https://tatkala.co/2024/


Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 


Posting Komentar

0 Komentar