Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Saat SMA saya pernah ngaji tafsir al ibris bersama KH Yasin di Langgar Gede, Gresik. Kitab tafsir ini dikarang oleh KH Bisri Mustofa. Di antara hal yang paling berkesan dari apa yang diajarkan oleh KH Yasin adalah pada saat sampai di Surat Al-Baqarah ayat 249
كَم مِّن فِئَةٍۢ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةًۭ كَثِيرَةًۢ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
Berapa banyak kelompok kecil yang dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
Selain sebagai seorang yang menguasai ilmu agama pak Haji Yasin (begitu kami santrinya memanggil beliau) juga jago silat. Saat terakhir menjelaskan kandungan makna dari ayat tersebut, pak Haji Yasin menyampaikan bahwa kalau kamu dikeroyok para bajingan baca ayat ini, IsnyaAllah kamu akan menang.
Pelajaran itu muncul kembali dalam ingatan saya saat Republik Islam Iran dan poros perlawanannya dikeroyok bajingan pemerintahan Barat.
Kita saksikan sekarang ini bahwa dalam panggung sejarah modern, hanya sedikit peristiwa yang menampilkan ironi moral dan keberanian politik seperti tragedi Palestina. Dunia menyaksikan satu bangsa dijajah, satu tanah direbut, dan satu suara dibungkam—semuanya di bawah restu kekuatan besar yang mengklaim dirinya sebagai penjaga demokrasi dan hak asasi manusia. Pemerintahan Barat, khususnya Amerika Serikat, tak hanya menjadi sponsor senjata, tapi juga penyedia legitimasi bagi mesin pembunuh bernama Israel.
Namun yang lebih mengejutkan bukan hanya keberingasan agresor, melainkan kelumpuhan mayoritas. Mayoritas manusia di dunia ini diam. Mayoritas negara-negara Islam bungkam. Bahkan mayoritas umat Islam yang secara mazhab berada di garis Palestina sendiri, yakni Ahlus Sunnah, terlihat lumpuh menghadapi kibaran bendera Zionis. Inilah paradoks utama abad ini: mayoritas justru menjadi penonton penderitaan mereka sendiri.
Dari reruntuhan kelumpuhan itu, bangkit satu kekuatan yang justru berasal dari kelompok minoritas. Syiah. Tapi bukan Syiah dalam pengertian sejarah semata, melainkan Syiah dalam wujud politik dan spiritual baru: Syiah Wilayatul Faqih. Digelorakan oleh Imam Khomeini setelah Revolusi Islam Iran 1979, Syiah ini bukan hanya mazhab teologi, tapi gerakan revolusioner tercerahkan. Ia tidak bertanya apa mazhab Palestina, tapi bertanya siapa yang dizalimi.
Inilah wajah baru perlawanan. Ketika dunia Arab sibuk dalam kooptasi politik dan kooptasi ulama, Iran membangun jaringan perlawanan. Hizbullah di Lebanon, Ansarullah di Yaman, Hashd Sha’bi di Irak, hingga gerakan Islam di Suriah dan Gaza—semua muncul dari rahim ideologis Wilayatul Faqih. Mereka bukan penyambung lidah sektarian, tetapi pembela umat yang tertindas, bahkan jika yang tertindas itu bukan dari mazhab mereka.
Paradoksnya semakin terang: kelompok minoritas progresif Syiah membela mayoritas Ahlus Sunnah Palestina. Bukan karena kesamaan fiqih, tetapi karena keimanan kepada keadilan. Dan di sinilah kebesaran doktrin perlawanan itu menemukan bentuk tertingginya—melawan bukan karena identitas, tapi karena kemanusiaan.
Apa yang dilakukan Syiah Wilayatul Faqih adalah membalik logika geopolitik dunia. Jika selama ini kekuatan minoritas digunakan untuk mendukung dominasi global, mereka menjadikan minoritas sebagai poros resistensi. Jika selama ini sektarianisme dijadikan alat pecah belah, mereka menjadikannya jembatan solidaritas. Tak ada lagi garis Sunni–Syiah dalam kacamata muqawama; yang ada hanyalah dua pihak: penindas dan yang tertindas.
Ketika banyak negara Arab menjalin normalisasi dengan Israel, Teheran justru mempersiapkan armada rudal untuk menangkisnya. Ketika banyak pemerintah muslim menghindari konflik agar tak diganggu hegemoni Barat, Iran mempersiapkan generasi pemuda dari berbagai mazhab dan bangsa untuk menjadi pengawal Al-Quds. Itulah sebabnya perlawanan hari ini tak lagi milik satu etnik, satu mazhab, atau satu negara. Ia menjadi milik nurani.
Sejarah akan mencatat bahwa dalam tragedi terpanjang umat manusia modern ini, bukan mayoritas yang menyelamatkan Palestina, tetapi justru minoritas yang tercerahkan. Paradoks ini bukan hanya sebuah realitas geopolitik, melainkan juga peringatan keras kepada dunia Islam: bahwa keadilan tidak membutuhkan jumlah, tapi keteguhan dan kejernihan qalbu (bashirah). Dan di saat semua lumpuh, hanya mereka yang masih punya nyali untuk berkata “tidak” pada tirani yang pantas disebut umat Muhammad yang sejati.
Di antara puing dan darah, sebuah pesan disampaikan kepada sejarah: Syiah bangkit bukan untuk menggantikan mayoritas, tetapi untuk menyelamatkannya. Dan barangkali, itu adalah karunia terbesar dari sebuah minoritas yang percaya bahwa keberanian bukan terletak pada jumlah, tapi pada kebenaran.
gambar : https://parstoday.ir/id/
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar