Dudi Nur
Pendahuluan: Kebencian yang Dirasuki Propaganda
Di tengah derasnya arus informasi, ketika kebisingan media dan fanatisme sektarian mengalahkan pencarian makna, muncullah satu pertanyaan yang jarang direnungkan dengan jujur: Mengapa sebagian orang begitu membenci Iran dan Syiahnya? Mengapa sebuah bangsa yang gigih membela Palestina, berani menantang kekuatan dunia, dan membangun negeri dengan fondasi agama justru dibenci lebih keras dari mereka yang merampok dan membunuh?
Ada satu bangsa yang tidak tunduk, tidak menjual diri pada kekuasaan global, dan tetap berdiri meski diembargo, dicaci, bahkan diancam dihancurkan: Iran. Negeri para penyair, para filsuf, para syuhada, dan para pecinta kebenaran.
Namun ironisnya, sebagian dari kita yang belum selesai mengenali diri, justru begitu reaktif dan benci terhadap Iran hanya karena satu label: Syiah. Benci tanpa riset. Mencaci tanpa mengkaji. Seolah Tuhan telah menitipkan seluruh kebenaran hanya pada golongan tertentu.
Padahal, agama tidak dapat diukur dari berita propaganda dan potongan ceramah yang dipotong-potong. Kebenaran sejati lahir dari jiwa yang jujur mencari, bukan dari lidah yang mudah mencela.
Filosofi Republik Islam Iran: Agama, Keadilan, dan Keteguhan
Iran bukan sekadar negara. Ia adalah ideologi yang hidup. Republik Islam Iran lahir dari revolusi yang menggulingkan raja boneka (Syah Reza Pahlevi) yang menjual bangsa pada imperialisme Barat. Dengan dipimpin Ayatollah Ruhullah Khomeini, Iran menegaskan bahwa agama dan politik tak bisa dipisah, bahwa keadilan harus hadir bukan hanya di mimbar, tapi juga di parlemen, ekonomi, dan jalanan.
Filosofinya terang:
“Tidak ada Islam tanpa keadilan. Tidak ada keadilan tanpa keberanian. Tidak ada keberanian tanpa kesadaran.”
Iran membangun sistem Wilayah al-Faqih, yaitu kepemimpinan ulama yang tidak otoriter, tapi sebagai penjaga ruh konstitusi Islam—sebuah penggabungan antara nilai-nilai spiritual dan pengelolaan modern bernegara. Ini bukan negara teokrasi stagnan, melainkan perpaduan antara ijtihad dan administrasi kontemporer.
Iran berdiri untuk yang tertindas (mustadh'afin), bukan untuk golongan. Bukan untuk Syiah semata. Lihat Palestina. Lihat Yaman. Lihat Lebanon. Lihat Suriah. Siapa yang pertama mengirim bantuan, bukan hanya doa dan poster?
Iran menyadari bahwa musuh utama umat Islam bukanlah mazhab, tapi kekuasaan global yang menjajah pikiran dan kebijakan negara-negara Muslim. Dan ketika negara-negara Arab sibuk menjilat kekuasaan, Iran berdiri di barisan terdepan, bahkan saat sendiri.
Untuk Jiwa yang Mudah Membenci: Dosa Mewarisi Kebencian
Apakah kalian membenci Iran karena mereka Syiah? Atau karena mereka berani berkata "TIDAK" pada Amerika dan Israel?
Kalau benar karena Syiah, sudahkah kalian baca Nahjul Balaghah? Sudahkah kalian menyimak doa-doa Imam Sajjad dalam Sahifah Sajjadiyyah yang air mata menetes hanya membacanya?
"Janganlah engkau menjadi budak dari kebencian yang engkau warisi, padahal engkau tidak tahu dari siapa engkau mewarisinya."
Jangan-jangan kita hanya membenci karena ikut-ikutan. Karena di khutbah tertentu ada yang mencela. Karena di grup WhatsApp ada yang menyindir. Mengapa kita begitu cepat percaya berita fitnah dari media yang juga memfitnah Nabi kita?
Jika kita waras berpikir, kita tahu bahwa kebencian yang tidak disaring dengan ilmu akan menjerumuskan kita dalam kesesatan moral. Kita melihat bendera Iran dan langsung marah, tetapi melihat bendera penjajah dan hanya menghela napas.
Sindiran Rasional: Untuk Mereka yang Terlalu Sibuk Membenci
Orang yang membenci Iran karena Syiahnya, tapi diam pada Arab Saudi yang menjual Palestina, ibarat mengecam orang yang berzikir sambil menangis, tapi memuji orang yang berdzikir sambil menghitung uang dari penjajah.
Bila Iran itu sesat, kenapa mereka membela Gaza? Dan bila kalian paling lurus, kenapa kalian diam membisu saat anak-anak Palestina dibantai?
Iran bukan sempurna. Tapi bila kita membenci mereka lebih keras dari membenci penjajah, kita sedang kehilangan arah.
Adakah yang lebih sesat dari orang yang mengutuk pelindung al-Quds, tapi memuji penjaga Ka'bah yang bersahabat dengan Zionis?
Kita perlu jujur mengakui: banyak dari kebencian terhadap Iran lahir dari rasa takut akan independensi mereka. Karena Iran membuktikan bahwa Islam bisa menjadi negara yang tidak tunduk pada Barat, tidak menjual sumber daya, dan tidak membiarkan Tanah Suci dilecehkan oleh pesta tari dan investasi haram.
Perspektif Sunni: Jangan Takut Belajar dari Siapa pun
Syiah bukan musuh. Perbedaan tidak harus menjadi alasan kebencian. Bahkan Imam Syafi’i—yang agung itu—pernah berkata:
"Jika mencintai keluarga Nabi disebut Syiah, maka saksikanlah bahwa aku adalah Syiah."
Ulama besar seperti Syekh Mahmud Syaltut (mantan Rektor Al-Azhar) mengakui mazhab Ja'fari sebagai mazhab kelima dalam Islam. Lantas siapa kita yang begitu sempit memonopoli surga?
Bila Syiah salah menurutmu, bantahlah dengan adab. Bila Iran sesat menurutmu, lawanlah dengan ilmu. Tapi bila yang kau bisa hanya mencaci dan mengumpat, barangkali yang sesat bukan mereka, melainkan hati yang teracuni kebencian.
“Hati yang jernih tidak akan membenci siapa pun yang mencintai Ahlulbait.” — Syekh Nuruddin Al-Banjari (ulama Sunni)
Penutup: Yang Membela Kebenaran, Meski Sendirian, Tak Pernah Salah
Kawan, kebencian bukan warisan Islam. Bila kita benar-benar pecinta kebenaran, mari ukur segala sesuatu dengan keadilan dan ilmu. Jangan sampai kita menjadi penjaga peradaban palsu yang penuh slogan tapi hampa keberanian.
“Tidak ada Islam tanpa keadilan. Tidak ada keadilan tanpa keberanian. Tidak ada keberanian tanpa kesadaran.”
Lebih baik kita kembali ke semangat ijtihad, bukan hanya taklid buta. Lebih baik kita membaca kembali sejarah, bukan hanya mendengarkan kata-kata yang dibumbui agenda kebencian. Iran bukan musuh kita. Iran bukan malaikat, tapi juga bukan iblis.
Ingatlah, kebenaran tidak memerlukan izin dari mayoritas. Dan yang membela kebenaran, meski sendirian, tetap tidak pernah salah.
Catatan Penutup: Tulisan ini bukan propaganda, melainkan ajakan untuk berpikir. Jika Anda tidak suka Iran, tidak masalah. Tapi jangan warisi kebencian dari kebodohan. Kritiklah dengan nalar, bukan dengan dengki. Tanyalah pada nurani Anda: mengapa Anda begitu marah pada negeri yang bersujud, tapi begitu ramah pada penjajah yang menindas?
Referensi:
2. Imam Sajjad, "Sahifah Sajjadiyyah".
3. Nahjul Balaghah, khot
0 Komentar