Subscribe Us

ksk logo.jpg

Sistem Perlawanan Husaini (7 Muharram)

Prof.Dr.Khusnul Yaqin, M.Sc

Ketika Imam Husain dituntut untuk membaiat Yazid, beliau tidak menjawab dengan pernyataan personal: “Aku tidak akan berbaiat.” Sebaliknya, ia mengucapkan satu kalimat legendaris yang menggetarkan sejarah: 

"مِثْلِي لَا يُبَايِعُ مِثْلَهُ يَزِيد" — “Orang sepertiku tidak akan berbaiat kepada orang seperti Yazid.”

Diksi “orang sepertiku” bukan sekadar ungkapan kebijaksanaan retoris, tapi pernyataan teologis, eksistensial, dan politis sekaligus. Imam Husain tidak sedang mempertahankan kehormatan dirinya sebagai individu, tapi sedang membangun fondasi nilai untuk suatu sistem perlawanan yang melampaui batas waktu dan tempat: sistem perlawanan Husaini.

Sistem ini bukan milik eksklusif satu zaman atau satu tempat. Ia tidak lahir dari dendam, tetapi dari cinta yang tak bisa menoleransi kebatilan. Dalam diksi “mitsli”, Imam Husain sedang menciptakan prototipe manusia dan komunitas yang hidup berdasarkan tauhid, keadilan, dan keberanian moral. Sebaliknya, “mithla Yazid” menggambarkan sistem kebusukan, kezaliman struktural, dan degenerasi nilai yang menjelma dalam bentuk kekuasaan politik.

Dua sistem ini terus berhadap-hadapan dalam sejarah manusia: sistem Husaini dan sistem Yazidi. Yang satu menolak membungkuk pada ketidakadilan, yang satu membungkam nurani dengan kekuasaan. Perjuangan antara keduanya bukan hanya milik abad ke-7, tapi terus berlangsung hingga hari ini—dalam bentuk dan medan yang beragam.

Al-Qur’an menggambarkan sistem ini dengan sangat halus dalam dua ayat yang tampaknya tidak berurutan, tapi sesungguhnya saling berkelindan. Dalam QS. Ibrahim ayat 24–25, Allah menyebut tentang kalimat thayyibah (kalimat yang baik) seperti pohon yang baik—berakar kuat, bercabang ke langit, dan memberikan buah di setiap musim. Ini adalah metafora sistem Husaini: sistem yang hidup, kuat, memberi, dan tegak dalam spiritualitas.

Sebaliknya, dalam QS. Al-Isra ayat 60, Al-Qur’an menyebut tentang syajarah mal'unah (pohon yang terkutuk). Para mufassir menafsirkannya sebagai sistem kekuasaan zalim yang berakar pada kesombongan dan penindasan. Sistem Yazidi bukan hanya figur, tapi struktur kebusukan yang terus tumbuh dalam bayang-bayang sejarah umat manusia.

Imam Husain memilih untuk tidak tunduk pada sistem itu. Ia tidak membawa pasukan besar, tidak mengandalkan kekuatan militer. Ia membawa nilai, membawa nurani, dan memanggil umat manusia untuk menyadari bahwa hidup tidak sekadar soal bertahan, tapi soal keberpihakan. Maka setiap tetes darah di Karbala adalah seruan kepada sejarah: bahwa yang benar harus dibela, meski dengan nyawa.

Dari diksi “orang sepertiku”, lahir satu fondasi perlawanan spiritual yang disebut oleh Imam Khomeini sebagai “madrasah Husaini”. Bukan sekadar pelajaran dari sejarah, tapi sekolah abadi dari keberanian moral. Karbala bukan cerita lama yang patut dikenang dengan air mata saja. Ia adalah pusat energi keberanian yang menembus zaman, menjadi barometer eksistensial: siapa yang masih memiliki nurani, dan siapa yang telah menjual jiwanya.

Republik Islam Iran hari ini berdiri di atas sistem Husaini. Revolusi Islam 1979 yang dipimpin Imam Khomeini bukan sekadar perebutan kekuasaan, tapi pengejawantahan gradasi tertinggi dari sistem perlawanan yang bersumber dari kalimat Imam Husain. Mitsli la yubayi’u mithla Yazid menjadi napas spiritual revolusi itu. Ia tidak ditulis dalam manifesto politik, tapi terpatri dalam kesadaran kolektif rakyat yang rela menukar hidup nyaman demi menegakkan yang haq.

Perlawanan Husaini tidak selalu harus bersenjata. Ia bisa hadir dalam bentuk pendidikan yang membebaskan, pemihakan terhadap kaum tertindas, keberanian menyuarakan kebenaran di tengah tekanan, hingga menolak bekerja sama dengan sistem yang korup. Dalam filsafat Mulla Sadra, segala yang eksis memiliki gradasi wujud. Maka perlawanan pun demikian: ada yang hanya berupa bara dalam hati, ada yang menjelma dalam kata, dan ada pula yang menjadi revolusi sosial-politik seperti yang terjadi di Iran.

Perlawanan adalah eksistensi, dan eksistensi adalah cahaya. Semakin tinggi derajat keberanian, kesadaran, dan pengorbanan, semakin tinggi derajat eksistensinya dalam tangga wujud. Maka Imam Husain menjadi cahaya abadi bukan karena ia mati, tapi karena ia mencapai mumkinul wujud tertinggi: syahadah. Ia tidak sekadar dibunuh; ia menyatu dengan kebenaran itu sendiri.

Kita yang hidup hari ini, jika ingin mewarisi sistem Husaini, harus mengaktualisasikan memori itu dalam kerja nyata. Tidak cukup hanya dengan ratapan. Kita harus menjadikan Karbala sebagai metode, bukan hanya sebagai nostalgia. Kita harus menjadikan Husain sebagai ide yang hidup dalam kerja sosial, politik, pendidikan, dan ekonomi. Itulah makna dzikr fi‘li—mengingat lewat tindakan.

Di hadapan kita, Yazid-yazid baru terus lahir: dalam bentuk kapitalisme eksploitatif, kolonialisme modern, kekuasaan militer yang membungkam nurani, hingga sistem pendidikan yang menjauhkan manusia dari hakikat dirinya. Kita butuh semangat Husaini untuk meruntuhkan semuanya. Sebab jika tidak, kita akan ikut dalam sistem Yazidi, entah sebagai korban atau bagian dari mesin kezaliman.

Gerakan perlawanan Islam hari ini, dari Gaza hingga Yaman, dari Lebanon hingga Iran, semuanya meneguk inspirasi dari Karbala. Mereka tidak hanya mengutip sejarah, tapi menghidupkannya dalam darah dan peluh. Mereka menjadikan memori Husain sebagai tenaga kolektif untuk membebaskan umat dari penjajahan dan penghinaan. Mereka bukan hanya mengenang, tapi melanjutkan.

Dalam satu riwayat, Imam Husain berkata bahwa ia tidak keluar untuk membuat kerusakan, tapi untuk memperbaiki umat kakeknya, Rasulullah. Ini menegaskan bahwa perlawanan bukan tujuan itu sendiri, tapi sarana untuk memperbaiki umat. Maka sistem Husaini bukan sistem kekerasan, tapi sistem penyucian jiwa dan pembebasan sosial.

Dalam konteks Indonesia, semangat Husaini bisa diterjemahkan ke dalam banyak bentuk. Mahasiswa yang menolak sistem kampus yang tidak mencerahkan adalah Husaini. Rakyat yang menolak tambang rakus adalah Husaini. Ulama yang tidak menjual ayat-ayat Tuhan demi kekuasaan adalah Husaini. Jurnalis yang menulis kebenaran meski diancam adalah Husaini. Dan semua yang menolak berbaiat pada sistem Yazid versi hari ini—mereka adalah “orang seperti Husain”.

Karena itu, tugas kita hari ini adalah membangun sistem perlawanan berbasis memori kolektif Husaini. Sistem ini bukan hanya mengenang, tapi merancang, mengorganisir, dan menanamkan nilai-nilai Husaini dalam struktur masyarakat: dalam pendidikan, budaya, hukum, dan kebijakan negara. Sistem ini bisa hadir dalam bentuk kampus berdampak yang benar-benar membebaskan akal, bukan menjadikannya alat industri. Sistem ini bisa hadir dalam bentuk bank syariah yang menolak eksploitasi, bukan meniru sistem riba dengan label Islami.

Lebih jauh, sistem perlawanan Husaini juga mengajarkan bahwa kekuasaan bukan tujuan, tetapi amanah. Maka revolusi ala Husain tidak berhenti pada revolusi, tapi berlanjut menjadi pembangunan masyarakat adil sebagaimana disebutkan di sila kelima Pancasila.

Dalam hal ini, Republik Islam Iran adalah contoh paling konkret bagaimana satu bangsa mencoba mentransformasikan kalimat Imam Husain menjadi struktur negara. Bukan tanpa cela, tetapi tidak diragukan, bahwa ia berdiri di atas akar spiritual Karbala.

Dunia hari ini penuh luka. Palestina masih dijajah.  Irak dan Lebanon diacak-acak. Iran diembargo. Dan dunia Islam masih terpecah. Tapi di tengah kehancuran itu, kalimat Imam Husain terus hidup: mithli la yubayi‘u mithla Yazid. Ia hidup dalam bentuk perlawanan budaya, perlawanan spiritual, perlawanan intelektual, dan perlawanan militer. Seluruh bentuk perlawanan itu—selama digerakkan oleh nilai—adalah manifestasi sistem Husaini.

Jika Yazid adalah simbol kekuasaan yang memadamkan nurani, maka Husain adalah api abadi dari Tuhan yang tak bisa dipadamkan. Dan selama dunia masih menyisakan satu manusia yang berani berkata “tidak” kepada kezaliman, maka sistem Husaini masih hidup.

Labbaika Ya Husain.....

gambar : https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Karbala, https://ahmadbinhanbal.com/sejarah-imam-husain-dan-kesyahidannya/, https://parstoday.ir/

Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 

Posting Komentar

0 Komentar