Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc
“Jika agama Muhammad tidak tegak kecuali dengan terbunuhnya aku, maka wahai pedang-pedang, ambillah aku!”
(إنْ كانَ دينُ محمّدٍ لا يَسْتَقيمُ إلاّ بِقَتلي، فَيا سُيوفُ خُذيني)
Bait yang mengguncang ini telah lama bergema dalam dada para pencinta Ahlul Bait, disuarakan dalam majelis-majelis Asyura, ditangisi oleh ribuan jiwa yang menziarahi Karbala dalam rindu dan luka yang tak pernah reda. Banyak yang mengira bait ini adalah ucapan Imam Husain bin Ali (as) dalam hari-hari terakhir di padang Karbala. Namun sejarawan dan pakar sastra mengonfirmasi bahwa bait tersebut adalah karya seorang pujangga besar Irak abad ke-13 H, Syekh Muhsin Abu al-Hubb al-Kabir (w. 1305 H/1887 M), seorang penyair elegi besar dalam dunia Syiah.
Namun, apakah dengan mengetahui bahwa bait ini bukan berasal dari lisan Imam Husain, maka nilainya menjadi surut? Sama sekali tidak. Justru, di balik bait ini tersembunyi sebuah mekanisme penting dalam sejarah kesadaran umat: mekanisme memori kolektif, yang dijaga bukan hanya oleh buku sejarah dan narasi ulama, tetapi juga oleh syair dan puisi yang membakar jiwa.
Bahkan ada adagium, kalau mau menjadi penyair yang top, bersyiah-syiahlah meskipun sedikit.
Peristiwa Karbala bukan hanya lembaran duka sejarah, tetapi juga adalah titik balik kesadaran umat tentang nilai kebenaran, keteguhan, dan pengorbanan. Dalam medan tandus itu, darah suci Imam Husain menjadi tinta yang menulis ulang makna “agama” dengan narasi keberanian melawan tirani, sekalipun nyawa menjadi taruhan.
Namun sejarah bukan sekadar apa yang terjadi—sejarah adalah juga apa yang diingat, dituturkan, dan diwariskan. Di sinilah pentingnya syair dalam budaya Islam, khususnya dalam tradisi Syiah. Ketika ingatan kolektif tak mampu disimpan dalam arsip kaku atau kronik resmi kekuasaan, puisi menjadi penjaga api sejarah.
Peran Syair Abu al-Hubb dalam Memori Asyura
Syair Abu al-Hubb:
“إن كان دين محمد لا يستقيم إلا بقتلي، فيا سيوف خذيني”
bukan sekadar baris puitis, tapi representasi dari taṣwīr syu‘ūrī, yakni visualisasi perasaan dan nilai-nilai ruhani Imam Husain dalam bentuk bahasa yang menggugah. Dengan menyuarakan pengorbanan sebagai syarat tegaknya agama, bait ini menjadikan revolusi Karbala bukan sekadar peristiwa masa lalu, tetapi perintah moral sepanjang zaman.
Dalam kerangka memori kolektif, bait ini bekerja sebagai: Pertama sebagai perekat Identitas Komunal
Umat yang menghadiri majelis Asyura, dari desa hingga diaspora, dari pelosok Asia hingga Eropa, merasakan keterikatan emosi yang sama ketika syair ini dibacakan. Ia membentuk kesadaran kolektif tentang siapa kita: pewaris nilai-nilai keberanian dan perlawanan terhadap kezaliman.
Kedua sebagai transmisi Spiritual dan Politik. Dalam bait ini, Abu al-Hubb tidak sekadar menangisi; ia mendidik. Ia mentransformasikan tragedi menjadi perintah spiritual—bahwa mempertahankan agama bisa menuntut pengorbanan mutlak. Ini menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan dari masa ke masa, dari revolusi Islam Iran hingga gerakan pembebasan Palestina.
Ketiga sebagai dekonstruksi Narasi Kekuasaan. Dalam sejarah Islam, banyak narasi kekuasaan yang berupaya meminggirkan Karbala sebagai insiden kecil atau konflik internal, bahkan pihak takfiri zionis berusaha keras menghalangi peringatan asyura sebisa mungkin. Tapi syair seperti ini menegaskan bahwa Karbala adalah jantung moral Islam, dan bahwa Husain adalah ukuran kebenaran, bukan korban belaka. Dalam kata lain: puisi melawan amnesia sejarah.
Istilah “poetic hagiography” atau hagiografi puitis bisa digunakan untuk mengkategorikan bait-bait seperti karya Abu al-Hubb. Berbeda dari hagiografi dogmatis yang hanya memuja tanpa konteks, jenis ini memuliakan tokoh suci dengan tujuan emansipatoris: membebaskan umat dari kemalasan moral, menyerukan jihad melawan kezaliman dalam diri maupun masyarakat.
Dengan demikian, meski bait Abu al-Hubb bukan berasal dari lisan Husain, ia selaras dengan ruh Husaini. Bahkan, mungkin lebih berbahaya daripada banyak ceramah—karena puisi menyusup tanpa izin ke dalam kalbu, merobek tirai kemapanan, dan membakar yang diam.
Dunia modern kerap membuat manusia larut dalam pelupaan. Konsumerisme, algoritma, dan rutinitas membuat sejarah kehilangan makna dan tragedi berubah jadi tontonan. Di sinilah peran syair dan sastra menjadi penting: untuk merawat bara kesadaran, agar revolusi tidak menjadi dongeng.
Syair Abu al-Hubb adalah contoh bagaimana penyair bukan hanya pencipta keindahan, tapi juga penjaga nilai dan pewaris luka-luka umat. Ia mengajarkan bahwa jika ingin agama tetap hidup, maka harus ada yang siap seperti Husain—rela terbunuh agar kebenaran tak mati.
Jika Imam Husain berkata:
“Aku tidak keluar untuk membuat kerusakan atau kezaliman, melainkan untuk memperbaiki umat kakekku,”
Maka para penyair seperti Abu al-Hubb melanjutkan revolusi itu dengan tinta dan bait. Hari ini, tugas kita adalah menyambungnya: membaca, menulis, dan menghidupkan kembali syair-syair yang menjadi jalan ingatan dan pelita perjuangan.
Karena jika agama Muhammad tidak tegak kecuali dengan kesadaran, maka wahai pena dan kata-kata—bangkitlah, dan jadilah pedang kebenaran di zamanmu!
Para penyair di Makassar seperti Kyai Hasnulir perlu membukukan syair-syair spiritualnya dan membuat short course atau semacamnya untuk memproduksi syair Husaini dan teknik pembacaan syair dan maqtal serta pembacaan doa-doa ahlul bait yang sesuai dengan tajwid dan teknik qiaraah yang menyayat qalbu. Dengan cara itu baik acara wiladah maupun syahadah, serta acara peringatan suci yang lain akan menjadi tidak hanya panggung seni spiritual yang memukau, tetapi juga sejenis ritus yang menjadikan fana mereka yang terlibat di dalamnya menuju Allah SWT. Wa Allahu A'lam bis shawab.
gambar : https://parstoday.ir/id/radio/
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar