Subscribe Us

ksk logo.jpg

Menanti Imam Mahdi dan Optimisme Neurosains


Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.

Di tengah kemelut global yang kian meruncing—mulai dari ketimpangan sosial, krisis iklim, polarisasi politik hingga nihilisme generasi muda—gagasan tentang masa depan yang adil dan tercerahkan semakin kehilangan tempatnya dalam kesadaran manusia. Kita hidup dalam zaman yang kerap menyamakan harapan dengan kebodohan, dan menyetarakan iman dengan delusi. Namun justru di masa-masa seperti inilah, penantian terhadap Imam Mahdi as—figur transenden dalam eskatologi Islam—menawarkan bukan hanya penghiburan spiritual, tetapi juga kerangka neurokognitif yang membangun optimisme peradaban.

Pada Juli 2025, Nature dan Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) memuat laporan penting berbasis pencitraan otak (fMRI), yang mengungkap bagaimana optimisme bukan sekadar keyakinan psikologis, melainkan kerja sistemik yang melibatkan medial prefrontal cortex (mPFC)—bagian otak yang mengatur pemrosesan masa depan, perencanaan, dan ekspektasi. Temuan ini mengguncang banyak asumsi lama. Ternyata, ketika individu optimis membayangkan masa depan, pola aktivitas otak mereka cenderung seragam dan terstruktur. Ini menandakan adanya “kerangka berpikir kolektif” yang stabil dan saling sinkron dalam menghadapi kemungkinan mendatang.

Sebaliknya, pada individu yang pesimis, pola aktivitas otak menunjukkan keragaman dan fragmentasi. Mereka membayangkan masa depan secara emosional kacau, detail negatif sangat jelas, dan sistem limbik—bagian otak yang mengatur kecemasan—lebih dominan bekerja. Hal ini menjelaskan mengapa orang pesimis sering lebih cepat stres, lebih sulit membangun hubungan sosial yang stabil, dan rentan pada disorientasi eksistensial. Dalam bahasa sederhana: optimisme membentuk otak yang teratur, sedangkan pesimisme memecah struktur berpikir.


Temuan ini membuka perspektif baru dalam memahami penantian terhadap Imam Mahdi. Menanti beliau bukan sekadar laku spiritual atau  eskatologis, melainkan—jika dikaji dari dimensi neurosains—adalah bentuk optimisme kolektif yang tertanam dalam struktur otak dan budaya umat. Penantian adalah kerja neurobiologis yang memetakan masa depan secara konstruktif. Dalam penantian itu, individu membayangkan dunia yang lebih adil, masyarakat yang lebih bermartabat, dan sejarah yang berjalan menuju kemanusiaan yang utuh.

Imam Mahdi bukan sekadar simbol harapan, beliau adalah pusat gravitasi neurokognitif yang mengorganisasi bagaimana umat bercita-cita dan berjuang. Saat seorang petani menanam dengan jujur, seorang guru mengajar dengan cinta, atau seorang mahasiswa meneliti demi maslahat umat—mereka semua sedang membangun kerangka berpikir Mahdawi. Mereka sedang menata sistem sarafnya agar selaras dengan masa depan yang dijanjikan, yaitu keadilan semesta yang ditegakkan oleh figur terakhir dari garis imamah.

Dalam bahasa neurosains spiritual, penantian ini menciptakan neural template of hope—cetakan harapan dalam sistem otak. Ketika jutaan manusia membayangkan masa depan yang sama, berharap pada figur yang sama, dan menyelaraskan akhlak pada nilai yang sama, maka otak-otak mereka secara kolektif bekerja dalam sinkronisasi. Inilah kekuatan umat yang menanti Imam Mahdi: bukan sekadar karena mereka yakin pada nubuat, tetapi karena mereka membentuk struktur otaknya untuk tetap bertahan, tetap bergerak, dan tetap percaya bahwa masa depan tidak dikendalikan oleh kekuatan zalim, melainkan oleh kebenaran yang dijanjikan Tuhan.

Kajian ini juga memberi dasar ilmiah pada sabda Nabi Muhammad saw yang sangat terkenal: “Sebaik-baik amal umatku adalah menanti al-Faraj.” Hadis ini bukan hanya motivasi moral, tetapi refleksi dari fakta neurobiologis: bahwa menanti secara aktif menciptakan konfigurasi otak yang sehat, adaptif, dan terhubung sosial. Para peneliti dari University College London mencatat bahwa orang optimis memiliki aktivitas lebih tinggi pada bagian ventromedial prefrontal cortex, yang berkaitan dengan pemrosesan reward dan motivasi jangka panjang. Maka tak heran jika penantian terhadap Mahdi bukanlah jalan pelarian, tetapi investasi neurospiritual untuk tetap hidup bermakna di tengah keputusasaan kolektif.

Penting ditekankan bahwa penantian ini bukan sikap fatalistik. Dalam doktrin Ahlul Bait, penantian adalah bentuk tertinggi dari perjuangan. Imam Ja'far as-Shadiq as bahkan menyatakan bahwa “Penanti Imam adalah seperti mereka yang gugur syahid di medan perang bersama Rasulullah.” Artinya, kesadaran Mahdawi adalah kesadaran berjuang. Otak yang menanti bukan otak yang tidur, melainkan otak yang terjaga penuh, waspada pada fitnah zaman, dan bergerak menyusun masa depan dengan optimisme spiritual.

Optimisme ini pula yang menjadi landasan kebangkitan peradaban. Dalam sejarah umat manusia, semua revolusi besar dimulai dari proyeksi masa depan yang terang: dari Revolusi Prancis hingga gerakan kemerdekaan Indonesia, dari imajinasi kemerdekaan Martin Luther King Jr. hingga revolusi Islam Iran yang mengusung Mahdawiyah sebagai prinsip gerakannya. Maka menanti Imam Mahdi bukan hanya tugas spiritual, tetapi proyek neurohistoris yang mengatur bagaimana manusia bergerak menulis sejarahnya sendiri.

Namun dunia modern—dengan seluruh kekuatan distraksinya—berusaha merusak harapan itu. Generasi muda dicekoki narasi instan yang membunuh fokus dan kontemplasi, dan industri kapitalisme mereduksi tujuan hidup menjadi sekadar membeli, bersenang-senang, dan bertahan. Dalam kondisi ini, doktrin Mahdawi menawarkan neuroresistance—ketahanan saraf terhadap pasivitas global. Ia mengajarkan bagaimana otak manusia tetap tegak di tengah badai teknologi, tetap merancang masa depan di tengah reruntuhan sistem, dan tetap mengingat janji Tuhan di tengah kelamnya realitas.

Dalam studi fMRI tadi, juga ditemukan bahwa optimisme memiliki efek penularan: seseorang yang optimis bisa “mensinkronkan” otaknya dengan orang lain, memperkuat kohesi sosial dan empati. Maka, menanti Imam Mahdi adalah bentuk tertinggi dari empati kolektif. Ia membentuk neural synchrony antarumat. Mereka yang menunggu kehadiran sosok yang sama, secara biologis, sedang membangun simpul-simpul solidaritas. Inilah makna hadits yang menyebut bahwa penantian Imam Mahdi akan “menghidupkan hati orang-orang beriman.” Sebab penantian adalah aktivitas otak yang saling menghubungkan kesadaran.

Kini kita perlu bertanya: bagaimana menciptakan sistem pendidikan, media, dan kebudayaan yang menyuburkan pola otak Mahdawi ini? Bagaimana membangun masyarakat yang menanti dengan cerdas, bukan dengan pasrah? Bagaimana menjadikan laboratorium riset, ruang kelas, panggung kesenian, dan bahkan pasar rakyat sebagai tempat di mana struktur optimisme ini diproduksi dan diwariskan?

Jawabannya terletak pada keberanian kita mendidik harapan. Generasi muda harus diajari bahwa masa depan tidak akan dibentuk oleh TikTok, kecemasan sosial, atau algoritma pasar, melainkan oleh nilai-nilai yang hidup dalam struktur kesadaran manusia. Kita harus menanamkan bahwa menanti Imam Mahdi bukan tentang menunggu mukjizat, tetapi tentang melatih otak untuk tetap percaya, tetap berpikir, tetap menata dunia walau gelap.

Dalam filsafat Mulla Ṣadrā, wujud manusia adalah gerakan. Setiap penantian yang tulus akan membentuk eksistensi baru. Inilah tajalliyat Imam Mahdi dalam otak kita: bukan hanya ketika ia datang dalam realitas eksternal, tetapi ketika struktur kesadaran kita telah memancarkan cahayanya—ketika kita menjadi manusia yang menyambut, bukan sekadar menunggu secara pasif.

Jika hari ini kita hidup dalam dunia yang pesimis, penuh konflik, dan kehilangan makna, maka menanti Imam Mahdi adalah bentuk optimisme tertinggi. Optimisme yang tidak lahir dari ilusi, tetapi dari keyakinan, perjuangan, dan struktur otak yang tetap percaya bahwa kebenaran akan menang. Dan sebagaimana ditemukan dalam riset neurosains terkini, mereka yang berpikir seperti ini—mereka yang tetap berharap dan menata hidup berdasarkan masa depan yang adil—ternyata memiliki otak yang lebih sehat, hidup yang lebih bermakna, dan masyarakat yang lebih kuat.

Maka siapa bilang penantian adalah stagnasi? Justru dalam penantian itulah umat bergerak, berpikir, membangun, dan menciptakan dunia yang pantas bagi kehadiran sang pemimpin terakhir.

gambar : https://kepripos.id/, https://parstoday.ir/id/radio/


Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 

Posting Komentar

0 Komentar