Prof.Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc.
Di tengah ledakan teknologi kecerdasan buatan dan kemudahan akses terhadap sumber daya digital, dunia akademik tengah memasuki fase baru yang menjanjikan efisiensi luar biasa, tetapi juga menyimpan risiko ekologis yang tak kasat mata. Produksi artikel ilmiah, yang dahulu identik dengan perpustakaan fisik, catatan tangan, dan diskusi tatap muka, kini telah bergeser ke ruang digital yang hampir sepenuhnya tanpa batas. Namun justru dalam "ketakterbatasan" itulah tersembunyi bentuk baru dari konsumsi: konsumsi energi, air, dan perhatian manusia.
CEO OpenAI, Sam Altman, menyampaikan dalam salah satu forum wawancara publik bahwa satu kueri ke ChatGPT — yang dalam konteks bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai satu pertanyaan, pencarian, permintaan, atau instruksi — menghabiskan sekitar 1/15 sendok teh air. Air tersebut digunakan untuk mendinginkan server-server yang menopang model kecerdasan buatan berskala besar. Jumlah ini tampak sepele, bahkan bisa diabaikan. Tetapi jika dikalikan dengan jutaan atau miliaran kueri setiap hari, maka kita berbicara tentang ribuan liter air yang menguap hanya untuk menjawab pertanyaan manusia kepada mesin. Belum lagi konsumsi listrik yang dibutuhkan pusat data — yang menurut laporan International Energy Agency (IEA), telah mencapai 2–3% dari total konsumsi listrik global dan terus meningkat seiring melonjaknya pemakaian teknologi berbasis AI.
Dalam konteks akademik, terutama produksi artikel ilmiah, angka-angka ini menjadi penting. Penelitian informal menunjukkan bahwa satu penulis akademik dapat mengajukan antara 100 hingga 300 kueri digital selama proses menulis satu makalah ilmiah. Ini mencakup pencarian artikel melalui mesin seperti Google Scholar atau Scopus, permintaan analisis statistik atau sintesis ide melalui AI seperti ChatGPT, hingga permintaan teknis seperti penulisan ulang (paraphrasing), pemeriksaan gramatikal, atau validasi konsep melalui diskusi prompt. Dengan konversi sederhana, satu artikel ilmiah bisa menghabiskan 20 hingga 60 sendok teh air hanya dari interaksi dengan model AI. Artinya, dunia riset ilmiah yang kita kira bersih dan tidak beremisi, ternyata menyimpan jejak ekologis dalam bentuk emisi karbon digital dan jejak air.
Ini menimbulkan pertanyaan mendasar yang belum banyak dibahas dalam forum akademik: Apakah dunia ilmu, yang selama ini kita anggap sebagai penggerak peradaban, juga menyumbang pada krisis ekologis yang sedang kita hadapi? Dan jika iya, bagaimana seharusnya kita memproduksi ilmu dengan kesadaran ekologis?
Di sinilah lahir gagasan tentang paradigma keberlanjutan digital dalam produksi artikel ilmiah.
Tak bisa disangkal bahwa revolusi digital telah mengubah wajah penelitian. Kecepatan akses terhadap jurnal, kemudahan menemukan kutipan, hingga kemampuan menyusun artikel dengan bantuan alat digital seperti reference manager atau grammar checker membuat proses produksi artikel jauh lebih cepat dan praktis. Bahkan, sistem AI terbaru seperti ChatGPT-4o mampu membantu menyusun struktur argumentasi, merangkum literatur, bahkan menyarankan metode penelitian berdasarkan topik yang diberikan.
Namun semua kemudahan ini dibayar mahal oleh lingkungan. Pusat data yang menopang teknologi AI besar (large language models) dibangun di atas infrastruktur energi tinggi, dan kerap kali menggunakan pendingin berbasis air dalam jumlah besar. Laporan dari Microsoft pada 2023 bahkan menyebutkan bahwa penggunaan air mereka meningkat drastis setelah integrasi teknologi AI generatif ke dalam sistem mereka. Sebuah studi dari University of California, Riverside, memperkirakan bahwa pelatihan satu model AI besar dapat menghabiskan energi setara dengan emisi karbon lebih dari lima mobil selama seumur hidupnya.
Kita menghadapi dilema etis: ilmu yang kita produksi untuk menyelamatkan planet ini, bisa jadi justru mempercepat kehancurannya.
Paradigma keberlanjutan digital menawarkan pendekatan baru dalam memproduksi ilmu — bukan sekadar efisien secara intelektual, tetapi juga bijak secara ekologis. Ia menuntut kita untuk tidak hanya mengevaluasi kualitas argumen dan kekuatan metodologi, tetapi juga mewaspadai konsumsi sumber daya digital yang menyertainya.
1. Minimalisasi Kueri Redundan
2. Efisiensi dalam Pemanfaatan AI
Gunakan AI untuk hal-hal yang benar-benar membutuhkan daya olah tinggi, seperti penyusunan kerangka berpikir atau validasi metodologi. Jangan jadikan AI sebagai sarana hiburan atau tempat membuang keraguan yang bisa diselesaikan dengan logika sederhana.
3. Arsip Digital Terorganisir
Simpan hasil pencarian dan referensi secara sistematis untuk menghindari pencarian ulang yang tidak perlu. Ini tidak hanya menghemat waktu, tetapi juga mengurangi konsumsi energi dari server pencarian.
4. Kesadaran akan Jejak Air dan Energi
Setiap peneliti perlu mulai memahami bahwa aktivitas digital mereka tidak netral. Bahkan aktivitas intelektual yang paling mulia pun bisa menyumbang pada eksploitasi sumber daya jika tidak dilakukan dengan penuh kesadaran.
5. Transparansi dalam Proses Produksi Ilmu
Di masa depan, bukan tidak mungkin makalah ilmiah mencantumkan semacam "digital footprint label", seperti: "Makalah ini disusun melalui 240 kueri AI, 8 sesi bimbingan daring, dan 20 pencarian pustaka berbasis cloud." Transparansi ini dapat membuka ruang refleksi tentang konsumsi digital dalam dunia akademik.
Di banyak tradisi filsafat Islam, ilmu bukan sekadar produk logika dan metode, tetapi juga pancaran kesadaran spiritual. Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Ilmu itu lebih baik dari harta; ilmu menjaga engkau, sedangkan engkau yang menjaga harta.” Dalam konteks ini, ilmu yang lahir dari eksploitasi tak terkendali atas air dan energi — bahkan jika ditulis dengan dalih menyelamatkan lingkungan — bisa kehilangan keberkahannya.
Paradigma keberlanjutan digital adalah usaha mengembalikan ilmu pada marwahnya: sebagai ibadah intelektual yang penuh kesadaran, rendah hati, dan bertanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan. Bahwa satu pertanyaan kepada AI yang tampaknya ringan, bisa saja memicu evaporasi air bersih yang dibutuhkan anak-anak di wilayah kekeringan. Bahwa satu makalah ilmiah, walau ditulis demi kemajuan, bisa jadi menyumbang jejak karbon yang menambah beban iklim global.
Dunia akademik perlu bergerak melampaui kuantitas menuju kualitas, dari sekadar produktif menjadi bijak. Bukan berarti kita harus menghindari teknologi, tetapi kita perlu menumbuhkan literasi ekologis digital di kalangan peneliti, dosen, dan mahasiswa. Mungkin sudah saatnya kita mengintegrasikan mata kuliah Etika Digital Berkelanjutan dalam kurikulum perguruan tinggi, agar generasi ilmuwan masa depan tidak hanya cakap menulis, tetapi juga bijak dalam mengakses dan memproduksi ilmu pengetahuan.
Ilmu yang benar adalah ilmu yang tidak menyakiti bumi, bahkan saat ditulis dengan mesin tercanggih sekalipun. Dan dalam tetes kecil air yang menguap dari satu kueri, tersimpan pengingat sunyi: bahwa kecanggihan seharusnya tidak menjauhkan kita dari kebijaksanaan.
gambar : https://www.oecd.org/, https://www.lancaster.ac.uk/
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar