Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.
Nama bukan sekadar simbol. Ia adalah pernyataan niat, arah, dan kadang nasib. Maka ketika sebuah universitas — institusi paling puncak dalam hierarki keilmuan sebuah bangsa — diberi nama, maka nama itu semestinya lahir dari perenungan mendalam akan misi epistemologisnya. Dalam konteks ini, menarik untuk mengajukan kembali pertanyaan mendasar: mengapa Universitas Hasanuddin, perguruan tinggi terkemuka di Indonesia Timur, dinamai demikian? Dan lebih jauh lagi, apakah nama tersebut benar-benar mewakili spirit universitas sebagai pusat produksi dan kritik ilmu?
Nama “Hasanuddin” tentu tak bisa dilepaskan dari sosok monumental Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16 yang dikenal dalam sejarah nasional sebagai “Ayam Jantan dari Timur.” Keberaniannya melawan kolonialisme VOC Belanda membuatnya menjadi simbol perlawanan dan patriotisme. Namun, di balik gelarnya yang populer itu, nama kecilnya menyimpan lapisan makna yang lebih dalam: I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang. Nama “Muhammad Bakir” ini tidak hadir dalam ruang kosong. Ia lahir dari atmosfer spiritual dan intelektual Islam abad ke-17 yang sedang bersemi di Sulawesi Selatan, dan sangat mungkin merupakan pemberian dari Sayyid Jalaluddin al-Aidid, seorang ulama kharismatik dari Hadramaut yang menjadi guru spiritual ayahandanya, Sultan Malikussaid.
Sayyid Jalaluddin al-Aidid bukan sekadar pendakwah. Ia adalah pembawa warisan ilmu Ahlul Bait ke jazirah Sulawesi. Melalui tradisi Maudu Lompoa dan tarekat yang ia tanamkan, ia membentuk generasi pemimpin Gowa dengan ruh spiritualitas tinggi dan cinta ilmu. Nama "Muhammad Bakir" yang ia berikan merujuk pada Imam Muhammad al-Bāqir, tokoh besar dalam keilmuan Islam yang dikenal karena kemampuannya “membelah” ilmu hingga ke hakikat terdalamnya — bukan hanya menyampaikan, tapi menyintesis dan membongkar ulang struktur pengetahuan demi kebenaran yang tak tergoyahkan. Dalam bahasa Arab, “al-Bāqir” berasal dari kata baqara — membelah, menyayat, mengupas.
Di sinilah paradoks dan sekaligus kerinduan itu muncul. Universitas, sejatinya, adalah rumah dari semangat “al-Bāqir” — tempat ilmu dikuliti hingga tak bisa lagi berdusta. Ia bukan sekadar ruang penghafalan dogma, melainkan ruang dekonstruksi dan rekonstruksi, tempat segala teori diuji, disangkal, dan dilahirkan kembali. Maka ketika universitas diberi nama Hasanuddin, kita seolah menarik wajah ke masa kepahlawanan, namun melepaskan jejak spiritual-intelektual yang lebih relevan dengan jantung universitas itu sendiri.
Patriotisme Sultan Hasanuddin patut dikenang. Tapi apakah itu cukup menjadi nama sebuah universitas? Bukankah universitas adalah tempat penggalian ilmu, bukan medan tempur? Bukankah universitas adalah wilayah perenungan, bukan benteng militer? Di sinilah ketidaksinkronan itu mengemuka. Yang lebih mencerminkan watak universitas justru adalah “Muhammad al-Bāqir” — tokoh ilmu, bukan tokoh perang. Ia bukan simbol keberanian fisik, tapi keberanian intelektual; bukan simbol resistensi senjata, tapi resistensi akal terhadap kebodohan.
Dalam kerangka ini, mungkin kita perlu mengajukan pemikiran ulang: seandainya Universitas Hasanuddin lahir di masa kini, di tengah kesadaran filosofis dan sejarah yang lebih matang, tidakkah lebih tepat jika ia diberi nama “Universitas Al-Bāqir”? Sebuah nama yang menandai niat bahwa universitas ini berdiri bukan semata untuk membanggakan sejarah perlawanan, melainkan untuk melanjutkan tradisi ilmiah yang membelah pengetahuan sampai ke akar-akarnya.
Tentu nama tak mengubah hakikat — tetapi ia mengarahkan bayangan. Nama adalah narasi pertama yang dibaca siapa pun tentang sebuah institusi. Maka memilih nama adalah memilih narasi. Dan dalam dunia pascamodern yang penuh pergeseran makna, mengajukan narasi baru bukan tindakan pembatalan sejarah, melainkan tindakan penajaman arah. Dalam nama “al-Bāqir”, universitas bukan sekadar bangunan birokrasi akademik, melainkan warisan peradaban — sebuah rumah bagi mereka yang berani menguliti pengetahuan demi menegakkan kebenaran.
Dan bukankah itu hakikat ilmu yang sejati?
gambar : https://www.updatebanget.com/, https://tirto.id/
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar