Subscribe Us

ksk logo.jpg

Nasab ruhani

Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.

Dalam pusaran sejarah yang penuh warna dan konflik, manusia seringkali terjebak dalam glorifikasi nasab jasmani, seolah darah adalah penentu mutlak keluhuran. Padahal, dalam perspektif ruhani yang diajarkan oleh para nabi dan wali, yang paling menentukan bukanlah darah, tetapi cahaya. Nasab ruhani adalah pancaran kedekatan ontologis dengan kebenaran, suatu hubungan yang tidak bisa diwariskan begitu saja melalui keturunan biologis, melainkan diperoleh melalui kesucian jiwa, ketekunan dalam mencari kebenaran, dan kesetiaan pada prinsip-prinsip ketuhanan.

Nabi Ibrahim, misalnya, adalah ayah para nabi, tetapi bukan semua keturunannya mengikuti jalannya. Al-Qur’an bahkan mengabadikan pernyataannya yang menggugurkan absolutisme nasab jasmani: "Qāla innahu laysa min ahlika innahu 'amalun ghayru ṣāliḥ"“Sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (secara hakiki), karena sesungguhnya dia adalah amal yang tidak saleh.” (QS. Hūd: 46). Ayat ini membongkar ilusi bahwa darah bisa menggantikan amal dan iman. Nasab hakiki adalah amal yang saleh, bukan sekadar kelahiran biologis.

Sebaliknya, kisah Salman al-Farisi justru menjadi terang paling cemerlang tentang keutamaan nasab ruhani. Lahir dari kalangan pemuka agama Majusi, Salman menempuh perjalanan yang panjang dan menyakitkan demi mencari kebenaran. Ia berpindah dari satu guru ke guru lain, dari satu negeri ke negeri lain, dengan tekad yang hanya mungkin dimiliki oleh ruh yang terpantik oleh nur ilahi. Ketika akhirnya ia sampai pada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda, "Salman minna ahlul bayt" — "Salman adalah bagian dari kami, Ahlul Bait." (HR. al-Ṭabarānī, al-Ḥākim, dan lainnya). Hadis ini bukan sekadar penghargaan personal, tetapi deklarasi filosofis bahwa nasab ruhani lebih kuat dari nasab darah. Salman tidak berbagi garis keturunan biologis dengan Nabi, tetapi berbagi ruh yang sama: ruh pencari kebenaran, ruh yang tunduk pada Allah semata.


Imam Ali bin Abi Ṭalib pun dalam Nahjul Balaghah menyatakan bahwa kemuliaan seseorang terletak pada akalnya dan akhlaknya, bukan pada nasab atau hartanya. “Al-karamu bi’l-‘aql, la bi’l-nasab.” (Kemuliaan itu ada pada akal, bukan pada garis keturunan.) Maka orang yang menonjolkan nasab jasmani tanpa ruh yang sepadan, sesungguhnya sedang membangun istana di atas pasir. Mereka bisa menipu publik sesaat, tetapi tidak bisa memalsukan cahaya yang sejati.

Krisis identitas spiritual hari ini muncul karena manusia lebih suka mengklaim kedekatan jasmani dengan Nabi dan para wali, tetapi tidak mewarisi perangai, kebijaksanaan, dan kesalehan mereka. Akibatnya, nasab menjadi alat kekuasaan, bukan tangga menuju keutamaan. Padahal, Rasulullah sendiri memperingatkan: "Man baṭṭaʾa bihi ʿamaluhu lam yusriʿ bihi nasabuhu" “Barang siapa yang amalnya lambat (dalam kebaikan), maka nasabnya tidak akan mempercepat (mengantarkannya kepada kemuliaan).” (HR. Muslim).

Kita butuh lebih banyak Salman dalam dunia hari ini: pribadi-pribadi yang lahir bukan dari garis darah kenabian, tetapi membuktikan diri sebagai anak ruhani para nabi. Mereka adalah pejalan sunyi, intelektual yang jujur, dan ruh-ruh yang senantiasa haus akan makrifat. Hanya jika manusia menghidupkan kembali nilai-nilai seperti ini, barulah nasab kembali menjadi cahaya, bukan sekadar klaim kebesaran tanpa bobot.

Karena sejatinya, nasab yang hakiki bukanlah yang tertera di silsilah, tetapi yang hidup di hati, terpancar dalam amal, dan berkilau dalam akhlak. Maka benarlah sabda Imam Jaʿfar al-Ṣādiq: "Laysa minna man lam yaḥfadh ḥaddan min ḥudūdillāh" — “Bukan bagian dari kami orang yang tidak menjaga batas-batas (ajaran) Allah.” Keluarga Nabi bukanlah hanya soal darah, melainkan yang lebih sangat utama soal cahaya. Cahaya yang memancar dari ruhani yang suci.

gambar : https://www.arina.id/islami/, https://tidarislam.co/

Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 



Posting Komentar

0 Komentar