Subscribe Us

ksk logo.jpg

Meminjam inspirasi dari Competition-Driven Semelparity (CDS) pada Ikan Oryzias

Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.

Fenomena competition-driven semelparity (CDS) pada ikan Oryzias latipes menampilkan sebuah strategi hidup yang mencengangkan sekaligus elegan secara ekologis: seluruh individu dewasa dalam suatu populasi mati setelah satu kali bereproduksi karena kalah bersaing dengan juvenil yang lebih efisien secara metabolik. Juvenil, dengan kebutuhan energi yang lebih rendah dan kemampuan adaptasi yang lebih cepat terhadap penurunan sumber daya, merebut ruang dan sumber daya dari generasi sebelumnya, menciptakan siklus generasi yang tidak tumpang tindih. CDS bukan hanya keunikan biologis, tetapi sebuah narasi kompetisi antar kohort, di mana keberlanjutan spesies dibangun di atas kemunduran generasi yang lebih dulu mapan.

Fenomena CDS di Oryzias diberikan buktinya oleh Eric Edeline dkk (2016) secara apik dalam tulisan yang berjudul Empirical evidence for competition-driven semelparity in wild medaka.  

Ketika kerangka CDS ini dibawa ke dalam konteks sosiologis lembaga kampus, kita mendapati cermin yang mencolok. Dalam kehidupan institusional akademik, struktur dan kepemimpinan suatu lembaga di kampus sering kali memperlihatkan pola CDS. Generasi senior dengan pengalaman panjang, beban tanggung jawab institusional, dan loyalitas birokratis yang tinggi mulai tergantikan oleh generasi muda yang lebih adaptif, lebih cepat menyerap ritme digitalisasi kebijakan, dan lebih agresif dalam membaca peta kekuasaan baru. Persis seperti juvenil Oryzias yang tumbuh pesat dan mendorong induknya keluar dari ekosistem, generasi baru dalam kampus muncul bukan hanya sebagai pelanjut, melainkan sebagai kompetitor aktif dalam struktur lembaga.

Secara sosiologis, CDS dalam lembaga kampus mencerminkan pergeseran kekuasaan dan makna kerja akademik, yang tidak selalu didasarkan pada kedalaman gagasan, tetapi justru pada ketangkasan bermanuver di ruang kompetisi simbolik. Jabatan struktural menjadi ajang reproduksi status dan legitimasi yang hanya berlangsung satu kali siklus, dengan figur pemimpin yang cepat naik dan cepat redup. Lembaga tidak dibangun sebagai rumah kontinuitas gagasan, tetapi sebagai panggung “sekali tampil, lalu tenggelam”—tanpa regenerasi nilai yang kokoh. Ini adalah bentuk sosial dari semelparitas: reproduksi tunggal, lalu mati secara wacana.

Lalu, apakah CDS dapat digunakan sebagai lensa untuk menganalisis dinamika lembaga kampus? Jawabannya: tidak sebagai hukum biologis, tetapi sebagai metafora ekologis-sosiologis yang sangat relevan. Ketika struktur kampus dirancang tanpa kesinambungan nilai, ketika regenerasi kepemimpinan hanya ditentukan oleh tekanan sistem, bukan proses pembelajaran kolektif, maka CDS hadir sebagai pola dominan. Ia menjelaskan mengapa banyak lembaga di kampus hanya kuat saat figur tertentu memimpinnya, tetapi langsung lesu setelahnya. Pemimpin satu musim, lalu menghilang. Tidak ada ingatan kelembagaan yang diwariskan, tidak ada strategi jangka panjang yang tumbuh.

Jika lembaga-lembaga di kampus hanya menjadi tempat perebutan legitimasi sesaat, lalu hancur oleh kehadiran generasi kompetitor yang belum matang secara visi, maka CDS bukan sekadar refleksi ikan Oryzias, tapi potret utuh dari ekosistem akademik kita yang kehilangan kedalaman struktur. CDS tidak perlu dihindari jika disadari sebagai proses alami. Namun ketika ia menjadi norma yang terus direproduksi tanpa refleksi, maka lembaga kampus kita sedang berjalan menuju kematian generatif—bukan karena miskin bakat, tetapi karena terlalu cepat membunuh kontinuitas.

gambar : https://kumparan.com/, https://harian.disway.id/

Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 


Posting Komentar

0 Komentar