Subscribe Us

ksk logo.jpg

Haji Ritualistik Versus Haji Revolusioner


Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc

Labbaik Allahumma Labbaik.” Seruan ini bukanlah sekadar gema ritual yang berulang setiap musim haji. Bagi sebagian besar umat Islam, talbiyah telah direduksi menjadi formula spiritual yang hanya menggema di antara bukit-bukit Mina dan Arafah—sebuah kebiasaan liturgis yang berakhir ketika ihram dilepas dan dunia kembali ditatap dengan mata yang lama: pasif, ritualistik, dan tunduk pada kekuasaan. Tapi di Sana’a, ibu kota Yaman yang terkepung, talbiyah tidak selesai di bibir. Ia menjelma menjadi revolusi.

Jutaan warga Yaman baru saja membuktikan bahwa talbiyah adalah janji eksistensial yang menuntut pembuktian sejarah. Mereka memenuhi Lapangan Al-Sab'een dengan satu gema, satu napas, satu tekad: menjawab panggilan Allah tidak hanya dengan lisan, tetapi dengan darah, dengan solidaritas, dan dengan keberanian melawan rezim-rezim yang telah menukar Ka’bah dengan kapital, dan mengganti Qiblat dengan kursi kekuasaan. Di tangan bangsa Yaman, talbiyah bukan lagi ritus; ia menjadi manifestasi keberpihakan Ilahi terhadap yang tertindas.


Inilah bangsa yang menyebut diri mereka Anṣārullāh, bukan sekadar karena nama, tetapi karena makna. Mereka mewarisi semangat kaum Anshar di Madinah, yang menyambut Rasulullah bukan dengan bunga dan air zamzam, tetapi dengan perlindungan, keberanian, dan sumpah setia untuk tidak membiarkan satu pun musuh menyentuh beliau tanpa melewati tubuh mereka lebih dahulu. Kini, ketika Gaza luluh lantak oleh bom-bom berlabel investasi dan diplomasi, Anṣārullāh di Yaman mengangkat talbiyah menjadi senjata moral dan spiritual: Labbaik untuk membela Palestina, Labbaik untuk menolak normalisasi, Labbaik untuk menolak diam.

Sementara para penguasa Arab berlomba-lomba membentangkan karpet merah bagi penjajah, membuka saham, investasi, dan pangkalan militer untuk entitas Zionis dan tuannya di Barat, rakyat Yaman menggelar karpet darah. Di saat kerajaan-kerajaan petro-dollar mengerdilkan talbiyah menjadi lisan tanpa isi, rakyat Yaman mengangkatnya menjadi semboyan revolusi yang menggetarkan: Labbaik bukan hanya kepada panggilan ibadah, tetapi kepada setiap seruan keadilan.

Ali Shariati pernah berkata bahwa ritus tanpa makna akan menjadi alat pembius, dan agama tanpa perlawanan akan berubah menjadi pengkhianatan terhadap Tuhan. Maka pertanyaan besar yang perlu kita ajukan kepada umat hari ini bukan lagi "Apakah engkau berhaji?", tapi "Apakah engkau menjawab talbiyah dengan keberpihakan terhadap yang dizalimi?" Karena talbiyah sejatinya adalah deklarasi penghapusan sekat antara kesalehan pribadi dan tanggung jawab sosial. Ia adalah ikrar bahwa tiada tuhan selain Allah, dan karena itu tiada tempat bagi penindasan, penjajahan, dan kekuasaan yang menindas umat manusia.

Bangsa Yaman telah menghidupkan kembali roh Islam yang sejati. Mereka tidak menunggu panggilan jihad dari istana. Mereka tidak menunggu lampu hijau dari ulama penguasa. Mereka tidak menunggu fatwa dari lembaga-lembaga yang telah lama kehilangan nuraninya. Mereka hanya menunggu panggilan dari langit: panggilan ilahi yang tak mengenal kompromi dengan zalim. Dan ketika talbiyah bergema dari mulut-mulut mereka, dunia pun tahu: inilah Islam yang membebaskan, bukan Islam yang membenarkan tirani.

Hari ini, kita menyaksikan dua jenis umat: satu yang menyanyikan talbiyah di hotel mewah Mekkah sambil membisukan suara Gaza, dan satu lagi yang meneriakkan talbiyah di lapangan terbuka dengan keyakinan bahwa setiap kata itu harus dibayar dengan keberanian. Talbiyah telah menemukan wujudnya yang paling murni—bukan dalam ritual kosong, tetapi dalam perlawanan terhadap penindasan.

Maka wahai umat yang masih hidup, jangan biarkan talbiyah menjadi nyanyian yang kehilangan ruhnya. Jangan biarkan ia menjadi gema yang dikelilingi diam. Jangan biarkan ia menjadi milik biro perjalanan haji dan birokrasi keagamaan. Kembalikan talbiyah kepada sejarahnya: sebagai seruan untuk hadir, untuk menyambut, dan untuk bertindak. Karena jika engkau menjawab “Labbaik”, maka engkau wajib hadir di medan yang paling suci hari ini: medan pembelaan terhadap Palestina dan seluruh yang tertindas.

gambar : https://parstoday.ir/id/radio,  https://islambergerak.com/2016


Tentang Penulis:

Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 


Posting Komentar

0 Komentar