Subscribe Us

ksk logo.jpg

Fenomenologi Kesyahidan (05 Muharram)

Dr Muhammad Ashar 

Studi tentang kesadaran dan pengetahuan manusia telah banyak dilakukan. Namun di tahun 1913, melalui bukunya "edeen zu einer reinen phanomenologie", Edmund Husserl mengguncang dunia filsafat. 

Apa yang istimewa dari pemikiran Husserl? Ia mengangkangi obyektivitas. Ia berupaya untuk memahami kesadaran dan pengalaman primordial manusia itu sendiri. Bukankah itu sudah biasa? Tidak! Kesadaran yang didalami tanpa presuposisi. Mewartakan pengalaman unik dari "tangan pertama" tanpa membingkainya.

Setiap kesadaran pasti mengarah pada fenomena yg menjadi rujukannya. Namun yang dimaksudkannya dengan fenomena adalah kesadaran tentang fenomena. Bukan fenomena yang obyektif diluar diri manusia. Fokusnya ke Tuhan yang disadari, tidak peduli apakah Tuhan itu ada atau tidak. Tapi kesadaranku tentang Tuhan tak dapat kuingkari. 

Ia mengganti obyektivitas ekstenal dengan obyektivitas kesadaran. Epoch istilah kerennya. Artinya penangguhan. Apakah Husserl seorang yang bergumul pada kepastian ontologis obyektif atau subyektif? Ia acuh. Bukan menolak! Yang diutamakannya adalah kesadaranku ttg fenomena, yang "pasti" obyektif. Kesadaranku tentang sesuatu adalah hal yang paling jelas bagiku. 

Subyektivitas yang obyektif. Ia menolak dikotomi tegas obyektif versus subyektif dalam berpengetehuan. Justru obyektivitas lahir dari rahim subyektivitas. Kesadaran dan pengalamanku tentang Tuhan adalah hal paling obyektif yang lahir dari tindak pengetahuanku. 

Setiap manusia memiliki kesadaran dan pengalaman otentik dan primordial itu. Perbedaan kita memahami Tuhan sangat beragam. Keberagaman pandangan tentangNya bersumber dari pengalaman hidup yang juga beragama. Jika anda bertanya mana yang paling benar? Fenomenologi mengacuhkannya. Baginya variasi kesadaran tentangNya lah yang paling utama. Sejauh mana kesadaran itu mengubah dunia. 

Namun beragamnya kesadaran dan pengetahuan, kita tetap mampu menangkap eidos-nya. Eidos diartikan esensi kesadaran dan pengetahuan. Kita dapat menarik hal umum dari kemajemukan kesadaran dan pengetahuan kita. Esensi fenomenologis (Eidos) berbeda dengan esensi menurut kaum realis klasik. Esensi masa lalu selalu menyangkut esensi obyek eksternal. 

Bagaimana dengan kematian? Bukankah kematian adalah fenomena yang tak tertolak. Kepastian Kematian tak penting untuk dipermasalahkan. Namun yang terpenting adalah bagaimana kematian membentuk dan dibentuk oleh kesadaran manusia. Kesadaran tentang Kematian menciptakan aneka perspektif. Setidaknya ada dua : Perspektif bio-fisiologis dan sosio-kultural. 

Bagaimana Husserl memahami tentang Kematian? Baginya Kematian dimaknai sebagai akhir dari ego atau akhir dari proses memaknai. Kematian menghentikan segala kemungkinan. Jika kita hidup horizon pengalaman subyek masti terbuka. Namun kematianlah yang menghentikan dan menutup horizon itu. Berbeda dengan muridnya. Heidegger lebih memaknai kematian lebih revolusioner

Sein-zum-tode ujar Heidegger. Kita semua terarah menuju kematian. Heidegger membagi 3 jenis kematian : Sterben, ableben dan verenden. Verenden kematian didunia hewan dan tumbuhan. Ableben, kematian dilihat sebagai fenomena biologis. Sementara sterben, kematian manusia yang otentik. Sterben juga dimaknai kematian secara eksistensial. 

Heidegger mengajak kita menuju kematian Sterben. Bagaimana kita mengisi kehidupan  dengan kesadaran tentang Kematian. Bagaimana anda menjalani hidup bergantung cara anda memaknai kematian. Bila anda mengisi kehidupan Anda dengan membela orang-orang tertindas, besar kemungkinan anda berkeinginan mati menegakkan kebenaran dan keadilan. Mengisi eksistensi hidup lewat cermin kematian yang anda inginkan.

Dunia mewariskan cerita-cerita heroik. Mereka yang mempersembahkan nyawanya melawan kezaliman. Perjuangan melawan penjajahan Belanda melahirkan orang-orang yang menghiasi ibu Pertiwi dengan darahnya. Marsinah, sang buruh, semerbak harum namanya, mempersembahkan nyawanya demi menuntut keadilan. Saksikanlah, para insan pers yang mengorbankan nyawanya demi Gaza. Di tanah air ada Udin, yang gugur demi membela kebenaran. Mereka semua memiliki kesadaran eksistensial. Mereka memilih jalan Sterben.

Terlalu banyak cerita, namun ada satu yang istimewa, Tragedi Karbala. Dengarkan kata Al Husain : "BILA AGAMA MUHAMMAD TAK TEGAK KECUALI DENGAN DARAHKU, WAHAI PEDANG-PEDANG , AMBILAH AKU". Sebuah kesadaran primordial yang mengarahkan Imam Husain menjemput kematiannya. Menjemput kesyahidan. Mengorbankan nyawanya demi tegaknya agama kakeknya. 

Bagi Al Husain, bonum commune tertinggi adalah Agama Muhammad. Jangan biarkan Islam dibelokkan. Pengalaman hidup Al Husain pasca wafat Nabi membentuk kesadaran primordialnya. Kesadaran yang dihayati juga oleh para pengikutnya di Karbala. Mereka berlomba melindungi pemimpin mereka. Mereka berlomba menuju Kematian agung. 

Disaat kebanyakan orang menyerah pada Kuasa Yazid. Imam Husain tampil membongkar kebobrokan kekhalifaan Umayyad. Bila kebanyakan mereka memaknai hidup tidak otentik. Al Husain dan pasukannya, memaknai hidup secara otentik. Bila Yazid, memaknai agama Muhammad hanya instrumen kekuasaan. Maka pihak Al Husain memaknai Agama Muhammad diatas segalanya.

Kesadaran Husaini adalah kesadaran yang mengubah tatanan. Kesadaran yang terwariskan dari genarasi ke genarasi. Menciptakan sejarah yang terus hidup.  Giambattista Vico menyebut sejarah adalah produk ingatan kolektif yang ditegakkan oleh mitos, bahasa dan institusi. Vico menyebut kematian : "Corso e ricorso". Kematian sebagai siklus sejarah. Baginya Kematian dapat menciptakan transformasi budaya. Mencipta peradaban baru. 

Vico memahami Kematian individu memiliki keterkaitan dengan kematian kolektiva. Kematian manusia agung adalah gerbang kematian tatanan yang dilawannya. Kematian manusia agung menciptakan peradaban baru dan mematikan peradaban lama. Inilah kematian kolektiva.

Syahidnya Imam Husain telah menciptakan tatanan yang terus hidup dan menghantui dan meneror penguasa zalim. Tatanan yang terus hidup. Bertransformasi dalam bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan yang beragam. Dimasa lalu, semangat Al Husain membentuk eksistensi Kekaisaran Safawid dan di Iran sekarang membentuk tatanan Wilayatul faqih yang berciri struktural. Sementara di Irak semangat Al Husain diwujudkan melalui penguatan civil society dibawah bimbingan ulama. Bersifat kultural, wilayah para ulama tidak diwujudkan melalui institusi negara. 

Sementara semangat dan kesadaran Al Husain di Indonesia diwujudkan dalam banyak ragam ekspresi kebudayaan. Namun ada yang menyatukan mereka yakni keteguhan pada perlawanannya kepada ketidakadilan baik dicipta oleh instrumen negara atau masyarakat sipil. 

Demikianlah cara fenomenologi memaknai kematian. Kematian yang didorong oleh kesadaran revolusioner. Kematian tidak hanya terhentinya horizon memaknai. Justru kematian adalah horizon pembuka tatanan yang lebih berkeadilan. Horizon pembuka sistem nilai yang ditakuti penguasa zalim. Kematian Al Husain adalah kematian sosok agung pengubah tatanan. Kesyahidan adalah pintu menuju sejarah baru. 

gambar : http://www.hajij.com/en, https://shiawaves.com/english, https://parstoday.ir/id/

Posting Komentar

0 Komentar