Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Malam keempat Muharram bukan sekadar kelanjutan waktu; ia adalah transisi batin dari harapan diplomasi menuju kesiapan spiritual untuk kesyahidan. Ketika pasukan ‘Umar bin Sa‘ad mulai mengepung perkemahan Husain, jalan damai yang coba ditawarkan Imam perlahan ditutup oleh logika kekuasaan. Maka malam itu menjadi malam pengenalan takdir—sebuah takdir yang tidak dipilih oleh kekalahan, tetapi oleh cinta yang sadar bahwa kematian bisa menjadi kehidupan.
Dalam kegelapan malam Karbala yang sunyi, para pecinta Husain memurnikan niat mereka. Mereka tidak lagi menanti kemenangan duniawi, melainkan menanti kesempatan menjadi bagian dari kebenaran.
Di sinilah makna sebuah hadis menjadi gamblang:
شيعتنا خلقوا من فاضل طينتنا، و عجنوا بماء ولايتنا، يحزنون لحزننا، و يفرحون لفرحنا.
Syi’atunā khuliqū min fāḍil ṭīnatinā, wa ‘ujinū bi mā’i wilāyatinā, yaḥzanūna li ḥuzninā, wa yafraḥūna li farḥinā
Para Syiah—kata Imam—diciptakan dari kelebihan tanah kami, dan diadoni dengan air wilayah kami. Mereka bersedih saat kami bersedih, dan berbahagia ketika kami berbahagia.
Hadis ini bukan sekadar teologi. Ia adalah fondasi ontologis dan sosiologis. Secara ontologis, ia menggambarkan bahwa identitas bukanlah semata hasil pilihan ideologis, tetapi bagian dari asal-usul wujud yang telah memiliki kedekatan eksistensial dengan kebenaran kenabian. Menjadi Syiah, dalam hadis ini, berarti menjadi kelebihan tanah Rasulullah dan Ahlul Bait: sebuah residu penciptaan yang lebih bersih, lebih lembut, dan lebih siap menerima bentuk cinta ilahi. Ia adalah percampuran antara pilihan ideologis dan cinta Ahlul bait dari dan dalam proses yang panjang.
Namun tanah, betapapun suci, tetaplah harus diolah. Maka ia pun diadoni dengan air wilayah—yakni air cinta maknawi kepada para Imam sebagai penafsir ilahiah dari wahyu. Air inilah yang menjadikan tanah hidup, lentur, dan siap dibentuk oleh tangan spiritualitas. Maka menjadi Syiah bukan hanya perkara asal, tetapi perkara pengasahan ruhani, latihan batin, dan kesadaran emosional yang diolah terus-menerus melalui sejarah, zikir, dan duka serta perlawanan.
Tradisi Syiah memahami bahwa identitas bukanlah sesuatu yang beku. Ia bergerak dalam gradasi—dari tanah yang kering tanpa kesadaran, menjadi tanah basah yang siap ditanami cinta. Derajat ini tergambar dalam kemampuan untuk bersedih atas kesedihan Ahlul Bait, dan bergembira atas kegembiraan mereka. Maka kesedihan atas Karbala bukanlah duka pasif. Ia adalah pengukuhan identitas spiritual. Ia adalah bentuk paling halus dari keberpihakan kepada nilai-nilai kebenaran melawan kekuasaan yang menindas.
Dalam kerangka sosiologis, memori kolektif ini membentuk lumbung kesadaran yang diwariskan dari generasi ke generasi. Peringatan duka Asyura, lantunan mars duka, puisi-puisi ratapan, dan majelis-majelis cinta, adalah ritual yang menjaga nyala api dalam dada. Mereka adalah ruang produksi kesadaran kolektif. Di dalamnya, umat Syiah diajak untuk tidak melupakan, dan lebih dari itu, untuk merasakan.
Memori kolektif Syiah bukan semata memelihara sejarah. Ia adalah modal sosial, spiritual, dan bahkan politis. Ia membentuk keberanian menghadapi kekuasaan zalim, sebagaimana Husain menghadapi Yazid. Ia menciptakan individu yang rela menempuh jalan sunyi, melampaui kompromi, dan memilih mati terhormat daripada hidup dalam manipulasi.
Maka tidak heran jika sejarah membuktikan bahwa komunitas yang menyimpan memori Karbala dengan kuat adalah komunitas yang tangguh di medan krisis. Ia memiliki cadangan spiritual yang cukup untuk bertahan, berkorban, dan bahkan memimpin perlawanan. Dari diplomasi di meja perundingan, hingga kesiapan menjadi syahid di medan tempur, semua berakar dari tanah yang sama: fadhil ṭīnatinā—kelebihan tanah kenabian.
Dalam dunia yang hari ini penuh kegaduhan dan keserakahan, di mana makna hidup mudah tersesat dalam komoditas dan kekuasaan, memori kolektif Syiah menawarkan alternatif: hidup dalam simpul cinta dan duka, dalam zikir yang menuntun pada keberpihakan, dalam spiritualitas yang tidak melepaskan dunia, tetapi justru mengubahnya dari dalam.
Karbala bukanlah nostalgia. Ia adalah arah. Dan hadis itu bukan mitos. Ia adalah panggilan untuk kembali kepada asal mula tanah yang suci—untuk membentuk hidup yang penuh makna, dan mati yang penuh cahaya. Hidup yang Husaini adalah upaya menjadi fāḍil ṭīnatinā (berduka dan bahagia bersama Ahlul Bait Nabi SAW).
gambar : https://blog.al-islam.org/general
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar