Subscribe Us

ksk logo.jpg

03 Muharram : Karbala dan Imamah


Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc

Kau kira Karbala padang tandus? Itu taman mawar,
setiap duri di sana menyebut nama Allah dalam darah.
Husain bukan mati—ia mekar,
bukan tubuh yang jatuh, tapi langit yang sujud.
Pedang-pedang itu buta, tapi jiwanya melihat,
bahwa kebenaran tak perlu menang untuk abadi.
Di tengah gurun, cinta justru menjadi mata air suci kenabian. 

Karbala bukan sekadar tragedi, bukan pula momen duka tahunan yang diperingati dengan air mata dan ratapan belaka. Karbala adalah cermin retak sejarah umat Islam, yang memantulkan wajah asli dari krisis kepemimpinan spiritual pasca wafatnya Rasulullah saw. Ia menegaskan dan sekaligus menegasikan satu hal: posisi Imamah Ahlul Bait sebagai poros kontinuitas risalah Islam. Di tengah gegap gempita takbir dan klaim kebenaran, Karbala membentangkan jurang tajam antara mereka yang mengenal Imam zamannya dan mereka yang hidup dalam pengingkaran.

Sabda Nabi yang sangat terkenal berbunyi:

من مات ولم يعرف إمام زمانه مات ميتة جاهلية

"Barang siapa mati dan tidak mengenal Imam zamannya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah."

(HR. Muslim dalam Sahih-nya, juga dalam Musnad Ahmad). 

Hadis di atas menunjukkan bahwa pengingkaran terhadap kepemimpinan spiritual yang sah merupakan bentuk kelanjutan dari jahiliyah, yakni kehidupan yang menolak bimbingan risalah. Hadis ini bukan sekadar peringatan tentang pentingnya mengenal Imam, tetapi juga gambaran getir tentang betapa keras dan sulitnya medan dakwah Rasulullah, bahwa bahkan setelah turunnya wahyu, masih banyak yang hidup seolah tanpa Imam dan enggan tunduk pada tatanan Ilahiah. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan keluhan Rasul-Nya dalam Surah al-Furqān ayat 30: 

"وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَـٰرَبِّ إِنَّ قَوْمِى ٱتَّخَذُوا۟ هَـٰذَا ٱلْقُرْءَانَ مَهْجُورًۭا" — "Berkatalah Rasul: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang diabaikan.'" 

Ayat ini memperkuat realitas bahwa penolakan terhadap Al-Qur’an, termasuk penolakan terhadap para penafsir sucinya yakni Ahlul Bait, adalah bentuk keterputusan dari petunjuk dan terjerumus ke dalam bahaya hidup dalam kegelapan jahiliyah.

Hadis ini bukan sekadar ancaman metaforis. Ia adalah peringatan keras, bahwa kehidupan spiritual tanpa pemimpin yang sah adalah pengembaraan dalam kegelapan. Dan kegelapan inilah yang membuahkan bencana Karbala—ketika umat yang mengaku pengikut Nabi justru membunuh cucunya sendiri.

Persoalan tidak berhenti pada hadis. Ia menyentuh realitas getir sejarah: umat Islam pasca wafatnya Rasulullah saw bukanlah satu tubuh tunggal yang kompak mengikuti pesan kenabian. Mereka segera terpecah bukan karena wahyu, tetapi karena sisa-sisa jahiliyah yang belum luruh dari sebagian hati umat. Dendam lama terhadap Bani Hasyim, kecemburuan antar klan, dan kerakusan terhadap kekuasaan melahirkan upaya sistematis menyingkirkan Ahlul Bait dari panggung sejarah—meskipun Nabi telah meninggikan posisi mereka melalui sabda agung:

 «إني تارك فيكم الثقلين، كتاب الله، وعترتي أهل بيتي، ما إن تمسكتم بهما لن تضلوا بعدي أبدا، وإنهما لن يفترقا حتى يردا علي الحوض»

Sesungguhnya aku tinggalkan di tengah kalian dua pusaka: Kitab Allah dan Ahlul Baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Telaga.”

(HR. al-Tirmidzi, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad, juga dalam Mustadrak al-Hakim)

Hadis ini bukanlah pesan moral semata, tetapi isyarat keras tentang keberlanjutan otoritas penafsiran Islam. Sebab Al-Qur’an adalah teks, dan setiap teks butuh penafsir. Maka, siapakah penjaga penafsirannya? Jawaban Nabi jelas: Ahlul Bait.

Setelah wafatnya Nabi saw, Ali bin Abi Thalib, yang telah disebut oleh Nabi dalam berbagai kesempatan sebagai penerus—seperti dalam Hadis Ghadir Khum:

من كنت مولاه فعليٌّ مولاه

"Barang siapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya." (HR. al-Tirmidzi dan al-Nasai)—tidak diangkat dalam pertemuan politik di Saqifah.

Sebagian umat memaknai kepemimpinan sebagai hasil syura (musyawarah), bukan penunjukan ilahi (nash). Maka terjadilah pergeseran besar dari rujukan langit ke perhitungan manusia. Dari penunjukan Nabi ke konsensus politik. Di sinilah awal mula perbedaan teologis yang tak kunjung disembuhkan.

Dalam Yanabiu al-Mawaddah karya al-Hafiz Sulayman al-Qunduzi al-Hanafi (ulama Sunni), disebutkan secara lengkap sabda Nabi mengenai para Imam Ahlul Bait:

 “Imam setelahku adalah Ali, lalu Hasan, kemudian Husain, lalu Ali bin Husain, Muhammad al-Baqir, Ja’far al-Shadiq, Musa al-Kazhim, Ali al-Ridha, Muhammad al-Taqi, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan yang terakhir, al-Qa’im al-Mahdi.”

(Yanabiʿ al-Mawaddah)

Mereka bukan penguasa duniawi, melainkan rantai cahaya, pemelihara ajaran kenabian.

Karbala adalah bukti paling nyata bahwa umat bisa kehilangan arah. Imam Husain bukan pembangkang. Ia adalah penjaga nilai. Dalam suratnya kepada tokoh Kufah, beliau menulis:

“Aku tidak bangkit karena ambisi, kesombongan, atau kerusakan. Aku bangkit untuk menghidupkan kembali ajaran kakekku Rasulullah, dan untuk menegakkan keadilan.”

Namun, umat yang mengaku Muslim justru menolak tangan suci itu. Mereka mengepung, mengasingkan, dan membunuh Husain beserta keluarganya dengan cara yang sangat sadis. Di manakah posisi mereka dengan sabda Nabi tentang Imam zamannya?

Karbala bukan hanya pembunuhan. Ia adalah pembangkangan terhadap penunjukan kenabian, pengkhianatan terhadap pesan spiritual. Di situlah makna sabda Nabi menjadi gamblang: mereka yang tidak mengenal Imamnya, akan terjatuh ke dalam kebutaan spiritual yang menuntun pada kejahatan atau jahiliyah. 

Hari ini, banyak umat Islam menganggap Imamah sebagai isu mazhab. Padahal ini soal keberlanjutan wahyu. Tanpa Imam yang ma’shum—yang dijaga oleh Allah dari kesalahan, sebagaimana firman-Nya:

 ﴿إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًۭا﴾

"Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlul Bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya."

(QS. al-Ahzab: 33)

…maka tafsir agama menjadi bebas nilai, rentan dimanipulasi kekuasaan. Para Imam Ahlul Bait bukan hanya pewaris biologis Nabi, tetapi penafsir sah Al-Qur’an dan model hidup Islam yang utuh.

Imam Ali menolak kekuasaan tanpa legitimasi nilai. Imam Hasan berdamai untuk menghindari pertumpahan darah. Imam Husain memilih disembelih di padang tandus Karbala demi menjaga makna agama. Mereka bukan politisi. Mereka adalah warisan langit.

Kita kembali kepada Ahlul Bait bukan demi fanatisme. Tetapi karena merekalah poros keaslian Islam. Di tengah gelombang interpretasi bebas, manipulasi agama, dan sekularisasi nilai-nilai Islam, Ahlul Bait tetap menjadi mata air jernih yang tak pernah menginginkan tahta.

Jika kita ingin memahami Islam sebagaimana diajarkan Rasul, kita harus kembali kepada keluarga beliau. Dalam tubuh mereka, Islam bukan hanya ajaran, tetapi kehidupan. Dalam darah mereka, tersimpan cinta Ilahi. Dan dalam pengorbanan mereka, tersembunyi makna Islam yang sejati.

Karbala adalah ujian spiritual sepanjang zaman. Ia bukan sekadar peristiwa 10 Muharram 61 H, tetapi refleksi abadi: di pihak mana kita berdiri? Di sisi Husain, atau di kerumunan yang diam menyaksikan Husain dibantai?

Jika kita tidak mengenal Imam zaman kita, maka kita berada dalam kondisi jahiliyah—beragama tanpa arah, berislam tanpa panduan. Dalam dunia yang sarat propaganda dan kekacauan makna, Imamah Ahlul Bait menawarkan jalan terang.

Rasul tidak meninggalkan umat tanpa pemimpin. Ia telah menunjuk mereka. Ia telah berkata, dalam riwayat yang termuat dalam kitab Yanabiʿ al-Mawaddah, Musnad Ahmad, dan Sahih Muslim: “Mereka tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di telaga.”

Kini tergantung pada kita:

Apakah kita akan tetap berpaling dari cahaya itu dan hidup dalam nostalgia kosong, atau kita kembali menyambung tali yang telah diputus oleh sejarah?

Karbala bukan hanya untuk ditangisi. Ia adalah undangan untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah aku mengenal Imam zamanku? Ataukah aku masih hidup dalam semangat jahiliyah?

gambar : https://www.taghribnews.com/

Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 



Posting Komentar

0 Komentar