Oleh: Dudi Noer
Dalam khazanah hadis-hadis Ahlulbait, khususnya dalam literatur eskatologis (akhir zaman) Syi’ah, terdapat sebuah riwayat menarik dari Imam Muhammad al-Baqir a.s. yang menyebutkan:
"Bangunan di Hijaz terus menerus dibangun, dan muncul rasa kekhawatiran atas al-Haram, terjadi perselisihan antara para tentara dan raja Yaman yang menentang raja, dan orang-orang di antara mereka seakan menuju ke sebuah bahtera." (Bihar al-Anwar, jilid 52)
Riwayat ini bukan semata narasi religius; ia menawarkan suatu kerangka hermeneutika spiritual dan geopolitik, terutama jika dibaca dari kacamata Syi’ah Imamiyah yang menanti kehadiran Imam Mahdi a.s. sebagai pembawa keadilan semesta.
Hijaz, wilayah yang meliputi Makkah dan Madinah, dalam konteks riwayat ini, mengalami “pembangunan terus-menerus.” Proyek-proyek besar seperti Vision 2030, pembangunan kota futuristik NEOM, hingga komersialisasi tempat suci — menandakan pergeseran makna Hijaz dari pusat ruhani umat Islam menjadi objek duniawi dan kapitalistik.
Ulama Syi’ah seperti Allamah Majlisi, Imam Khomeini, dan Ayatullah Bahjat menyebut gejala ini sebagai indikasi fitnah akhir zaman. Masjid dan tempat suci tetap ada secara fisik, namun fungsi ruhaniahnya terkikis, digantikan oleh estetika tanpa substansi.
Yaman dan Kekuatan Ruhani. Menariknya, dalam riwayat yang sama disebutkan bahwa akan muncul konflik antara raja Yaman dan penguasa Hijaz, serta “sebagian dari mereka menuju bahtera”. Ini adalah isyarat simbolis yang kaya makna.
Dalam banyak riwayat Syi’ah, muncul sosok al-Yamani — tokoh revolusioner dari Yaman — yang disebutkan akan:
“Menyeru kepada kebenaran dan kepada Ahlulbait. Ia adalah pemimpin petunjuk, dan mengikutinya adalah kewajiban.” (Bihar al-Anwar, jilid 52)
Yamani, dalam tradisi Syi’ah, digambarkan sebagai pemimpin yang suci dari fitnah, tidak condong pada kepentingan politik duniawi, dan menjadi salah satu pendukung utama Imam Mahdi a.s.
Geopolitik Hari Ini: Houthi dan Spirit Yamani. Sejak 2015, Yaman dilanda perang brutal oleh koalisi yang dipimpin Arab Saudi. Namun di tengah kehancuran itu, bangkitlah gerakan Ansarullah (Houthi) yang mengusung slogan perlawanan terhadap hegemoni Barat dan Zionisme, serta memiliki orientasi religius yang dekat dengan Ahlulbait.
Sebagian analis Syi’ah kontemporer melihat Houthi sebagai prototipe Yamani — atau minimal sebagai pendahulu gerakan ruhani-politik dari Yaman yang akan berperan dalam dinamika akhir zaman. Mereka bukan sekadar kelompok bersenjata, tapi representasi kebangkitan spiritual dan perlawanan terhadap fitnah global.
Di satu sisi, Hijaz yang dibangun megah tapi kehilangan makna. Di sisi lain, Yaman yang miskin tapi kaya ruh, menjadi pusat kebangkitan akhir zaman.
Dari sana kita bisa menyaksikan dengan jernih bagaimana perang fisik yang terjadi antara Saudi dan Yaman, sesungguhnya menyimpan makna batiniah: pertarungan antara tirani duniawi dan kebangkitan ruhani, antara penguasa palsu dan penolong sejati Imam Mahdi a.s.
Riwayat tersebut menutup dengan simbol "bahtera" — lambang keselamatan spiritual. Mereka yang menolak fitnah dan berpegang pada kebenaran akan "naik ke dalam bahtera", sebagaimana kaum Nabi Nuh a.s. diselamatkan dari banjir besar.
Hari ini, kita berada di titik sejarah yang serupa. Dunia Islam menyaksikan kemewahan yang menyesatkan, tapi juga perlawanan yang penuh cahaya.
Apakah kita akan menjadi penumpang bahtera itu? Ataukah kita terseret arus pembangunan tanpa ruh?
1. Dajjal Modern : Di Balik Globalisasi Dan Teknopolis
Dalam banyak riwayat dari Nabi Muhammad dan para Imam Ahlulbait, Dajjal digambarkan sebagai makhluk yang menyesatkan, membawa fitnah terbesar, dan menebar pesona dengan teknologi, makanan, dan keajaiban semu.
Namun, apakah Dajjal hanya sosok biologis dengan satu mata dan tubuh besar? Atau ia adalah simbol dari sistem global yang hari ini kita saksikan tumbuh: mencengkeram kesadaran, mencipta realitas buatan, dan menyulap dosa menjadi norma?
Banyak ulama memaknai ini secara simbolik dan literal. Dajjal bukan sekadar makhluk, melainkan sistem multidimensi — mencakup ekonomi, budaya, media, militer, dan spiritualitas palsu.
Karena itu mari lihat dalam Teknopolis: Kekuasaan Dajjal di Era Digital. Hari ini kita hidup dalam dunia yang dikuasai oleh: Algoritma yang menggantikan hati nurani, Media sosial yang menjual ilusi kehidupan sempurna, Kecerdasan buatan tanpa ruh, dan industri pornografi serta konsumerisme yang menjadi agama terselubung.
Dajjal modern bukan berjalan di padang pasir, tapi duduk di ruang rapat perusahaan global, menggenggam layar dan data, menciptakan peradaban yang mengabdi pada berhala baru: Materialisme dan Ego.
Rasulullah bersabda: “Apa yang dianggap surga oleh Dajjal adalah neraka, dan yang dianggap neraka olehnya adalah surga.” (Musnad Ahmad bin Hanbal).
Hari ini, Palestina dianggap zona konflik, bukan zona suci. Iran dianggap ancaman, bukan benteng ruhani. Yaman dianggap pemberontak, bukan pengibar panji cahaya.
Inilah dunia Dajjal: ketika yang benar dianggap salah, dan yang salah diberi panggung.
Hanya yang memiliki cahaya ruhani dapat melihat fitnah Dajjal. Dalam riwayat, para pengikut Imam Mahdi akan memiliki "nur di dahi mereka", yang menjadi pelita dalam kegelapan fitnah.
Cahaya ini tak lahir dari gelar, teknologi, atau pasukan, melainkan dari cinta kepada kebenaran, kesabaran, dan dzikir pada Allah. Dan ruh dari perlawanan ini adalah Karbala: Husain melawan Yazid adalah arketipe Mahdi melawan Dajjal. Ali Akbar, Abbas, dan Zainab adalah simbol kaum muda dan perempuan akhir zaman.
Dajjal bisa mengalahkan tentara, teknologi, bahkan media. Tapi ia tak bisa mengalahkan orang-orang kecil yang istiqamah, yang memegang tali Allah dan mencintai Ahlulbait.
Hari ini, Dajjal memakai jas CEO, berbicara di forum dunia, dan menjanjikan surga digital. Tapi ia lupa, bahwa masih ada yang membaca Ziarah Arba'in, mengaji di bawah langit Gaza, dan menulis dengan air mata.
Hari ini orang lebih banyak memilih sunnah sahabat dari pada sunnah Nabi. Pada hal yang paling getol berkoar-koar tentang bid'ah, tanpa sadar mereka terjebak dalam kata-kata mereka sendiri. Mereka lebih suka curika bahkan menuduh tanpa tabayyun dengan atau dengan berselancar membaca buku-buku yang mereka anggap menyimpang.
SUFYANI: TIRANI SEKULER DARI JANTUNG DUNIA ARAB
Bayangan Gelap dari Syam
Dalam khazanah eskatologi Islam, khususnya dalam riwayat-riwayat Syiah, muncul satu nama yang tak kalah menakutkan dari Dajjal: Sufyani. Ia bukan simbol asing, melainkan tirani Arab dari garis keturunan Abu Sufyan—musuh bebuyutan Rasul dan Ahlulbait.
Jika Dajjal memakai wajah global, maka Sufyani lahir dari dalam dunia Islam itu sendiri, dengan jubah nasionalisme, sekularisme, dan militerisme. Ia tak memusuhi Islam secara terang-terangan, melainkan mengkudeta ruhnya dari dalam.
Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata:
(Bihar al-Anwar, jld. 52, hal. 205).
Ia keluar dari Syam (Levant – mencakup Suriah, Yordania, Lebanon, dan Palestina), dan menyulut perang yang memakan banyak jiwa.
Ciri-Ciri Sufyani dalam ragam tafsir:
2. Berwajah Arab, tapi berhati munafik dan brutal
3. Mengklaim membela Sunni, namun membantai umat Islam sendiri.
4. Beraliansi dengan kekuatan Barat dan Zionis secara diam-diam.
5. Mengobarkan perang saudara dan menghancurkan poros perlawanan (Iran, Suriah, Hizbullah, dan Irak)
Beberapa mufassir dan ulama modern bahkan menafsirkan kemunculan kelompok ekstremis (seperti ISIS atau milisi berbendera hijau-hitam dari gurun) sebagai prototipe Sufyani: Arab yang membunuh Arab, mengklaim agama tapi memusnahkan ruh agama.
Sufyani dan Tragedi Hijaz
Dalam beberapa riwayat, Sufyani akan menyerang Madinah dan Makkah, membantai kaum beriman dan menghancurkan tatanan Hijaz. Tapi tentaranya akan ditelan bumi di suatu tempat antara Makkah dan Madinah bernama Baidah—tanda dari Allah bahwa kebiadabannya tak akan bertahan lama.
“Pasukan Sufyani akan mencapai Baidah, lalu bumi akan menelan mereka semua kecuali satu orang sebagai saksi.” (Kamaluddin, hlm. 557)
* Apakah Sufyani itu individu, atau sistem.
* Apakah ia tokoh militer dari Suriah yang menyerbu Irak dan Yaman atas restu Barat?
* Apakah ia representasi dari kerajaan Arab yang menormalisasi hubungan dengan Zionis dan memusuhi poros perlawanan?
Jawabannya bisa jamak. Yang pasti, Sufyani adalah wajah lokal dari fitnah global. Jika Dajjal mewakili sistem barat-sekuler, maka Sufyani mewakili boneka Arab-nasionalis yang haus kuasa dan membantai ruh Islam demi tahta dan kontrak dagang.
Sufyani vs Mahdi: Pertempuran Tak Terelakkan
Sufyani akan menyerbu Irak dan memerangi para pengikut Imam Mahdi. Namun Imam Mahdi akan mengalahkannya dalam waktu singkat.
“Saat Sufyani mendengar bahwa Mahdi telah muncul di Kufah, ia akan mengirim tentaranya ke sana. Namun pasukannya akan dikalahkan oleh kaum beriman.” (Al-Ghaibah an-Nu'mani, hlm. 275).
Saat kita diam atas pembantaian di Yaman, kita bersama siapa?
Saat kita menyebut pejuang Palestina teroris, kita di pihak siapa?
Saat kita mendukung normalisasi dengan Zionis dan mencibir perlawanan, kita mengabdi pada siapa?
Sufyani bukan sekadar orang di gurun, ia adalah narasi, struktur kekuasaan, dan kebencian terhadap ruh Islam.
Tirani Sufyani Akan Jatuh
Setiap zaman punya Sufyani-nya. Tapi sejarah juga mencatat: tiran akan tumbang, dan ruh Husaini akan menang. Maka mari bersaksi dengan pena dan perlawanan, bahwa kita bukan penonton sejarah, tapi penulisnya.
Karbala terjadi agar kita tak diam saat Sufyani bangkit.
IRAN DAN PERAN SPIRITUALNYA DALAM ESKATOLOGI ISLAM.
Dalam banyak riwayat Syiah, Iran (disebut sebagai "Persia", "Khorasan", atau "Qom") memiliki peran sentral dalam kebangkitan Imam Mahdi a.s.. Bukan sebagai penjaga kekuasaan duniawi, tetapi sebagai penjaga ruh dan ilmu Ahlulbait. Di tengah fitnah global, kebangkitan ruhani dan intelektual dari Timur disebut-sebut akan mempersiapkan panggung akhir zaman.
Imam Ja’far Shadiq a.s. bersabda:
“Akan datang masa di mana ilmu akan pergi dari Kufah dan berpindah ke Qom. Ia akan menjadi sumber ilmu dan cahaya, hingga menjelang kemunculan Imam Mahdi.” (Bihar al-Anwar, jld. 60, hal. 213)
Hari ini, kota Qom menjadi pusat studi Syiah, tempat lahirnya para fakih, arif, dan mujahid yang menyiapkan umat untuk menyambut Imam Mahdi.
Bendera Hitam dari Timur: Simbol Perlawanan Ruhani. Dalam riwayat Shahih (baik dari Sunni maupun Syiah), disebutkan bahwa akan keluar "bendera hitam dari Timur"—mereka tidak akan berhenti sampai diserahkan kepada Imam Mahdi.
“Akan datang bendera hitam dari arah Khorasan (Timur), tidak akan dikalahkan sampai ditancapkan di Iliya (Baitul Maqdis).” (Mustadrak al-Hakim, jld. 4, hlm. 464)
Sebagian mufassir menyebut bahwa “Timur” bukan hanya geografis, tapi juga simbol kekuatan ruhani dan kesetiaan terhadap Ahlulbait, yang hari ini tampak pada poros Iran, Irak, Lebanon, dan Yaman.
Wilayat al-Faqih: Kepemimpinan Sementara Sebelum Imam Mahdi
Teori Wilayat al-Faqih (kepemimpinan ulama fakih) yang diadopsi Iran bukan sekadar politik, melainkan mekanisme spiritual dan administratif dalam ketiadaan Imam Zaman. Para fakih dipercaya sebagai bayangan Imam dalam menjaga nilai dan keadilan.
Ayatullah Khomeini menegaskan:
“Pemerintahan Islam adalah pemerintahan para ulama yang adil dan faqih, sebagai perpanjangan tangan Imam yang ghaib. Jika tidak, umat akan jatuh pada tirani.” (Wilayat al-Faqih, Khomeini).
Hari ini, Iran dikepung sanksi, propaganda, dan ancaman militer, karena satu alasan: menolak tunduk pada hegemoni Zionis dan liberalisme global. Tapi di sisi lain, Iran menjadi inspirasi resistensi: dari Hizbullah di Lebanon, al-Hashd al-Shaabi di Irak, hingga Ansharullah di Yaman.
Bagi sebagian kalangan, Iran bukan hanya negara. Ia adalah simbol Karbala yang bangkit: berani, spiritual, dan adil.
Iran bukan tanpa cela. Tapi dalam narasi Ahlulbait, yang utama bukan kesempurnaan, tapi niat dan arah pergerakan. Ketika dunia Islam diam atas Palestina, Iran bersuara. Ketika negeri-negeri Arab menyerah pada Dajjal zaman ini, Iran membela ruh Islam.
“Kami bukan membela Syiah, tapi membela yang dizalimi.” (Sayyid Hasan Nasrallah).
Iran bukan tujuan akhir, tetapi jembatan menuju keadilan Mahdawi. Dalam beberapa riwayat, Imam Mahdi saat muncul akan menghadapi tantangan dari internal dan eksternal, dan pasukan pertama yang berbaiat kepadanya berasal dari Timur.
Hari ini, ruh Karbala hidup di Iran, tetapi ia akan menyalakan obor di seluruh dunia. Maka peran kita bukan mengkultuskan Iran, melainkan meneladani semangat: perlawanan terhadap tirani dan penjagaan nilai Ilahi.
Imam Mahdi akan datang. Tapi sebelum itu, siapa di antara kita yang menyiapkan jalannya?
KARBALA: MATRIKS PERLAWANAN AKHIR ZAMAN
Karbala Bukan Sejarah, Tapi Jiwa
Karbala tidak selesai pada 10 Muharram 61 H. Ia adalah cetak biru perlawanan ilahiah—peta abadi antara hak dan batil. Dalam logika Ahlulbait, Karbala adalah rahim dari semua kebangkitan, termasuk kebangkitan Imam Mahdi a.s.
“Setiap hari adalah Asyura, dan setiap tanah adalah Karbala.” (Imam Khomeini)
Dalam setiap zaman, akan ada Yazid dan ada Husein. Maka, Karbala adalah ujian akhir zaman—sejauh mana kita berpihak, dan sejauh mana kita siap menebus kebenaran dengan darah dan kesadaran.
Seorang arif berkata: “Karbala bukan tempat gugurnya Husein, tapi tempat kelahiran manusia sejati.”
Di Karbala, Islam spiritual melawan Islam kekuasaan. Imam Husein tidak membawa tentara besar, tapi membawa hujjah (argumen Ilahi), akhlak, dan darah suci. Inilah struktur dasar perjuangan Imam Mahdi kelak, bukan dominasi, tapi pembebasan ruh manusia.
Tiga Pilar Matrix Karbala
1. Wilayah Ruhaniyah (Kepemimpinan Spiritual).
Imam Husein melawan karena kepemimpinan umat dicemari oleh nafsu dunia. Matrix Karbala mengajarkan bahwa umat tidak akan selamat jika dipimpin oleh orang zalim, meski bernama Islam.
Dalam tradisi Syiah, wilayah bukan sekadar kepemimpinan politik, tetapi merupakan manifestasi dari kepemimpinan ilahiah yang menghubungkan langit dan bumi. Wilayah adalah perpanjangan dari nubuwah (kenabian) dalam bentuk imamah, yaitu kepemimpinan spiritual, intelektual, dan moral yang tak terpisahkan dari petunjuk Tuhan.
Imam Ja’far Shadiq a.s. mengatakan:
“Agama tidak akan tegak kecuali dengan pemimpin (wali) yang ditaati.”
Ini menandakan bahwa fondasi keselamatan umat bukan hanya akidah, tetapi juga siapa yang memimpin akidah itu.
Kepalsuan Kepemimpinan: Pelajaran dari Yazid. Imam Husain a.s. tidak bangkit melawan karena semata-mata Yazid fasik secara personal. Beliau bangkit karena simbol-simbol Islam telah dikendalikan oleh orang yang tidak layak menjadi pemimpin ruhani umat. Yazid bukan hanya penguasa zalim, ia mengklaim mewarisi kekuasaan Rasulullah, namun menggunakan kekuasaan itu untuk menindas, merusak syariat, dan memperbudak umat dengan hawa nafsu.
Imam Husain a.s. berkata:
“Aku tidak bangkit untuk kesombongan atau kerusakan, tetapi untuk menegakkan agama kakekku dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.”
Ini adalah bentuk perlawanan terhadap perampasan wilayah ruhaniyah.
Dajjal sebagai Proyeksi Kepemimpinan Palsu
Hadis dari Imam Ja’far Shadiq a.s. bahwa Dajjal akan datang dari Isfahan dengan membawa simbol keilahian menggambarkan ancaman besar umat Islam di akhir zaman: munculnya pemimpin palsu yang mengklaim religiusitas, tetapi sejatinya adalah musuh Tuhan.
Dajjal bukan hanya figur fisik, melainkan sistem dan struktur kekuasaan yang menipu umat dengan simbol-simbol Islam namun berlandaskan nafsu dunia dan kediktatoran. Seperti Yazid, ia tampil membawa nama Tuhan, tetapi dalam praktiknya menyembah kekuasaan, harta, dan pengaruh.
Keselamatan Umat hanya dengan Wilayah Ilahiyah
Matrix Karbala menunjukkan bahwa umat tidak akan pernah selamat kecuali di bawah kepemimpinan yang ma’shum (terjaga dari dosa), adil, dan berilmu. Kepemimpinan ilahiah seperti yang dijalankan oleh Imam Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain adalah model sejati yang harus dicari dan diikuti.
Dalam ziarah Arba’in, kita membaca:
“Salam atas darah yang tumpah karena pembelaan terhadap wilayah.”
Artinya, pengorbanan Imam Husain bukan semata untuk keadilan umum, tetapi demi menjaga wilayah ruhaniyah agar tidak jatuh ke tangan orang yang tidak layak.
Di era modern, banyak pemimpin dan gerakan yang mengklaim membawa Islam namun dalam praktiknya justru mengokohkan ketidakadilan, kapitalisme global, dan hegemoni budaya asing. Matrix Karbala mengingatkan bahwa setiap umat harus kritis terhadap kepemimpinan—bukan hanya secara simbolik, tetapi juga secara substansial: apakah pemimpinnya dekat dengan Tuhan, atau hanya menjual nama Tuhan?
Imam Khomeini r.a. sering mengingatkan:
“Jika agama dan politik dipisahkan, maka yang akan mengisi ruang kekuasaan adalah para munafik.”
Wilayah Ruhaniyah dalam Matrix Karbala adalah peringatan abadi bahwa keselamatan umat bergantung pada siapa yang mereka ikuti. Imam Husain a.s. menolak tunduk kepada kepemimpinan zalim meski bertajuk Islam. Dalam konteks akhir zaman, umat Islam harus waspada terhadap bentuk baru Dajjal: yaitu pemimpin atau sistem yang tampaknya religius, namun sejatinya musuh kebenaran dan penghalang cahaya Tuhan.
2. Kesetiaan Kecil yang Agung.
Abul Fadhl Abbas, Ali Akbar, Qasim, Zainab—mereka adalah potret kesetiaan bukan karena jumlah, tapi kualitas ruhani. Di akhir zaman, yang dibutuhkan bukan umat yang banyak, tapi umat yang sadar dan siap berkorban.
Peristiwa Karbala adalah ironi sejarah: pasukan kebenaran hanya berjumlah puluhan, sementara musuh berjumlah ribuan. Namun dari segi moral dan makna, Karbala adalah kemenangan mutlak. Mengapa? Karena kemenangan diukur bukan oleh banyaknya orang, tetapi oleh kualitas kesetiaan, keikhlasan, dan ruh pengorbanan.
Ali Akbar a.s., Qasim a.s., dan Abul Fadhl Abbas a.s. bukan hanya pejuang di medan perang, tetapi lambang dari cinta suci dan pengorbanan total. Bahkan anak kecil seperti Ali Asghar a.s. menjadi simbol perlawanan ruhani yang melampaui usia dan logika. Imam Husain sendiri berkata:
“Tidak kutemukan sahabat yang lebih setia dan keluarga yang lebih mulia daripada keluargaku.”
Di sinilah matrix kesetiaan itu bekerja: ia tidak beroperasi pada logika jumlah, tetapi pada logika langit—yang menimbang dengan timbangan ruh.
Kesetiaan Adalah Perlawanan terhadap Dunia
Dalam dunia yang dikuasai oleh kepentingan, kompromi, dan kecenderungan untuk mencari aman, kesetiaan kepada kebenaran menjadi tindakan revolusioner. Qasim bin Hasan, saat ditanya bagaimana kematian menurutnya, menjawab:
“Lebih manis dari madu.”
Ini bukan sikap bunuh diri, tetapi ungkapan dari cinta yang melepaskan dunia dan hanya melihat Allah sebagai tujuan.
Kesetiaan seperti ini lahir dari wilayah ruhaniyah—yaitu hubungan spiritual antara Imam dan pengikutnya. Tanpa cinta ruhani kepada Imam Husain a.s., tidak mungkin seseorang rela menjemput kematian dengan wajah tersenyum.
Abul Fadhl Abbas a.s. adalah lambang kesetiaan yang menolak dunia. Ia tidak hanya gagah dan berani, tetapi setia secara mutlak. Ia bisa saja mengambil air untuk dirinya, tetapi ia memilih tetap setia pada misi dan tidak minum selagi anak-anak Ahlul Bait kehausan. Bahkan saat tangannya putus, ia tetap menjaga panji dan berkata:
“Demi Allah! Jika kalian memotong tangan kananku, aku tetap akan melindungi agamaku dan membela Imamku yang benar.”
Dalam konteks akhir zaman, Abbas adalah arketipe “pendekar ruhani”—mereka yang menjaga bendera kebenaran dalam dunia yang kering dan haus akan kebenaran.
Di zaman fitnah dan Dajjal, mayoritas bisa tertipu oleh propaganda, simbol, dan narasi palsu. Hanya sedikit yang tetap sadar dan setia. Matrix Karbala mengajarkan bahwa jumlah bukan jaminan kebenaran—yang dibutuhkan adalah minoritas yang sadar dan rela berkorban.
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ali a.s.:
“Kebenaran tidak diukur dengan banyaknya pengikut, tetapi dengan mengikuti orang yang benar.”
Kesetiaan seperti inilah yang akan menyelamatkan umat dari arus besar kebatilan akhir zaman.
Kesetiaan Sebagai Puncak Ma’rifat
Dalam spiritualitas Islam, terutama tasawuf dan irfan Syiah, kesetiaan (wafa’) adalah buah dari ma’rifat (pengenalan yang hakiki kepada Allah dan Wali-Nya). Ketika seseorang mengenal siapa Imam Husain, maka kesetiaan menjadi keniscayaan. Inilah yang dimaksud dalam ziarah:
“Salam atas darah yang mengalir karena cinta kepada Wali.”
Kesetiaan Kecil yang Agung dalam Matrix Karbala adalah pelajaran bahwa di tengah kerusakan dan dominasi kebatilan, hanya segelintir orang yang akan tetap setia. Mereka adalah hujjah (bukti hidup) bahwa Tuhan masih menjaga dunia melalui ruh-ruh yang tidak tergoda dunia. Dalam konteks Dajjal, mereka adalah penjaga mata air kesadaran di tengah kekeringan ruhani.
3. Perempuan dalam Perlawanan.
Zainab a.s. bukan hanya saksi, tetapi juru bicara kebenaran. Di tengah reruntuhan, dialah penjaga Karbala. Matrix ini memberi pesan bahwa perempuan bukan pelengkap, tetapi tiang kekuatan ruhani revolusi.
Karbala dan Imam Mahdi. Dalam banyak riwayat disebut bahwa ketika Imam Mahdi a.s. muncul, ia akan menangis saat menyebut Husein, dan menyerukan “Yā liṡāri al-Ḥusayn!” (Wahai penuntut balas darah Husein!).
“Aku adalah yang akan menuntut balas untuk darah Husein.” (Ziarah al-Nahiyah al-Muqaddasah)
Dengan kata lain, misi Mahdi adalah penyempurnaan revolusi Karbala, bukan politik, tapi tahapan akhir dari proyek penyucian dunia.
Hari ini, dunia sedang direkayasa menjadi padang tandus moral. Palestina dibantai, Yaman dikepung, Rohingya dilupakan. Tapi dalam semua tragedi itu, ruh Karbala bangkit—dalam Gaza, di perlawanan Ansharullah, di Hizbullah, dan hati-hati pencari kebenaran.
Karbala adalah lensa akhir zaman: siapa yang membela, siapa yang diam, siapa yang menertawai para syuhada.
Menjadi suara Zainab di zaman fitnah.
Menjadi tangan Abbas yang menjaga kebenaran.
Menjadi air yang menghidupkan ruh umat yang kering.
“Ya Imam Mahdi, jika kami hidup saat engkau muncul, maka kami akan menjadikan Karbala sebagai rumah, dan ruh Husein sebagai panji.”
Sebagai Paradigma Perlawanan dari Perspektif Filosofis, Intelektual, dan Irfani:
Pendekatan Filosofis:
Karbala adalah penegasan "radikal" atas keesaan Tuhan dalam ranah politik dan sosial. Imam Husain menolak legitimasi kekuasaan yang mengklaim hak ilahi tetapi menindas manusia. Dalam pandangan filsafat politik Islam, ini adalah keberanian untuk mengatakan La (tidak) terhadap taghut—tirani yang menafikan Tuhan.
Karbala adalah ruang pilihan ontologis. Pilihan Husain adalah eudoimonia Islam: hidup mulia atau mati bermartabat. Kebebasan yang dimaksud bukan sekadar politik, tapi keberanian memilih makna dalam absurditas dunia.
Pengorbanan Husain bukan nihilisme, tapi aksi afirmatif terhadap kehidupan yang bermakna. Ia menunjukkan bahwa makna lahir dari penderitaan yang dipilih secara sadar, bukan dipaksakan.
Pendekatan Intelektual:
Tawhid di Karbala bukan sekadar teologi, tetapi epistemologi. Imam Husain menafsirkan kebenaran bukan dari teks yang dibekukan, tapi dari konteks yang hidup. Ini adalah perlawanan terhadap fiqh status quo dan literalitas yang membenarkan kekuasaan.
Karbala menciptakan diskursus baru tentang kehormatan dan keadilan. Melalui khutbah dan surat-suratnya, Imam Husain mendidik nalar umat untuk keluar dari taklid kepada penguasa dan menuju ijtihad maknawi dalam membela yang benar.
Pengorbanan Imam Husain menciptakan narrative ethics – etika yang dibangun dari narasi keberanian, kasih, dan prinsip. Ia mendobrak moralitas pasif dan memperkenalkan etika revolusioner yang berbasis pada cinta dan kesetiaan.
Pendekatan Irfani:
Imam Husain adalah manifestasi tauhid tajalli—ia mewujudkan Tuhan dalam tindakan, bukan sekadar pengucapan. Tawhidnya adalah fana dalam kehendak Ilahi. Kesyahidan bukan kematian, tapi liqa’ (pertemuan), puncak cinta Ilahiah.
Dalam Irfan, kebebasan sejati adalah keluar dari belenggu nafsu, dunia, dan makhluk. Husain memutus semua ketergantungan kecuali kepada Allah. Inilah maqam tawakkul hakiki, di mana hanya kehendak Ilahi yang menjadi kiblat ruh.
Dari sisi tasawuf, pengorbanan Husain adalah bentuk fana fi al-ma'syuuq – hancur dalam Kekasih. Darahnya bukan tumpah, tapi kembali kepada Laut Cahaya. Ini adalah maqam sirru al-syahaadah, di mana tubuh binasa namun ruh bersinar selama-lamanya.
Makassar, 19.05.2025
gambar : https://www.deviantart.com/, https://icc-jakarta.com/, https://www.tinewss.com/ragam-news, te//PalestinaPost, www.chatgpt.com
0 Komentar