Tajuddin Nur
Pendahuluan
Dalam sejarah intelektual Islam, sufisme telah memainkan peran penting dalam memperkaya pemahaman spiritual umat Muslim.
Salah satu konsep metafisika paling kontroversial dan berpengaruh dalam sufisme adalah Wahdatul Wujud—doktrin tentang kesatuan eksistensi yang mengemuka melalui pemikiran Ibn 'Arabi. Konsep ini telah menimbulkan berbagai interpretasi, mulai dari apresiasi spiritual hingga kritik teologis dan filosofis.
Fazlur Rahman (1919–1988), seorang pemikir Muslim modern asal Pakistan, menawarkan pembacaan baru terhadap doktrin ini. Dengan latar belakang sebagai akademisi di dunia Islam dan Barat, Rahman menempatkan pemikiran Islam dalam dialog kritis dengan modernitas.
Dalam konteks Wahdatul Wujud, ia tidak semata-mata menerima atau menolak, melainkan menafsirkan ulang secara etis dan rasional agar tetap relevan dengan dinamika zaman.
Wahdatul Wujud: Akar Teologis dan Dimensi Filsafinya
Konsep Wahdatul Wujud berakar pada perenungan mistik tentang eksistensi Tuhan dan relasinya dengan dunia. Dalam doktrin ini, hanya Allah yang memiliki wujud hakiki (al-Wujud al-Haqiqi), sementara semua ciptaan hanyalah perwujudan (tajalli) dari sifat-sifat-Nya.
Ibn 'Arabi dalam Fusûs al-Hikam dan al-Futûhât al-Makkiyyah menjelaskan bahwa segala sesuatu adalah “cermin” yang memantulkan wujud Tuhan, sehingga realitas makhluk bukanlah ilusi, tetapi eksistensinya bergantung secara mutlak kepada Tuhan (Chittick, 1989).
Ini menimbulkan implikasi ontologis dan epistemologis yang mendalam: makhluk tidak memiliki keberadaan independen, dan kesadaran manusia harus diarahkan untuk melihat Tuhan dalam segala sesuatu.
Namun, pandangan ini mengandung risiko ditafsirkan secara ekstrem menjadi panteisme, yang menghapus batas antara Khalik dan makhluk. Di sinilah Fazlur Rahman mengambil posisi kritis.
Fazlur Rahman: Pendekatan Historis-Hermeneutik terhadap Sufisme
Fazlur Rahman mengembangkan pendekatan ganda untuk memahami teks dan tradisi Islam:
1. Pendekatan Historis: memahami latar kemunculan doktrin dalam konteks sosiokulturalnya.
2. Pendekatan Normatif-Etis: menilai nilai-nilai universal yang terkandung dalam suatu ajaran untuk menjawab tantangan zaman.
Dalam Islam and Modernity (1982), ia menyatakan bahwa pemikiran Islam klasik, termasuk pemikiran sufi, memiliki banyak potensi progresif, namun seringkali terkungkung dalam bentuk mistik yang statis dan tidak komunikatif terhadap realitas sosial.
Kritik dan Reinterpretasi Rahman atas Wahdatul Wujud
Fazlur Rahman tidak serta merta menolak Wahdatul Wujud, tetapi mengkritik interpretasi-interpretasi yang menjauhkan doktrin tersebut dari dimensi etis dan sosial Islam. Ia menyatakan:
"Spiritual experience must be rooted in moral responsibility. The God of Islam is not a remote Being, but an active agent who commands man to act justly and ethically in society." (Rahman, 1982, hlm. 21)
Beberapa poin reinterpretasi Rahman terhadap Wahdatul Wujud antara lain:
Kesatuan Wujud bukan pembatalan dunia, melainkan penegasan bahwa dunia memiliki nilai karena merupakan wadah manifestasi kehendak Tuhan. Tauhid harus membuahkan etika. Kesadaran akan keesaan Tuhan harus tercermin dalam komitmen terhadap keadilan sosial dan pembebasan manusia.
Transendensi Tuhan tetap dijaga, sekalipun Tuhan hadir dalam ciptaan, Ia tetap berbeda dari ciptaan-Nya. Melalui reinterpretasi ini, Rahman berusaha menyeimbangkan antara kesadaran metafisik dan praksis sosial.
Sufisme Aktif dan Spiritualitas Sosial
Menurut Fazlur Rahman, sufisme harus melampaui dimensi batiniah yang pasif. Ia mengkritik kecenderungan sebagian sufi klasik yang tenggelam dalam ekstase dan menarik diri dari realitas:
“The ultimate aim of the Qur’an is not mystical absorption but a morally upright and socially engaged human being.” (Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2009, hlm. 29)
Bagi Rahman, Wahdatul Wujud seharusnya mengarahkan manusia pada kesadaran bahwa setiap tindakan sosial adalah bagian dari ibadah dan manifestasi hubungan dengan Tuhan. Dunia bukan tempat untuk ditinggalkan, melainkan ruang untuk mengabdi.
Implikasi bagi Pemikiran Islam Kontemporer
Relevansi reinterpretasi Rahman terhadap Wahdatul Wujud sangat signifikan dalam konteks kekinian, di mana spiritualitas sering diceraikan dari etika publik.
1. Membumikan Tauhid: Konsep kesatuan eksistensi menjadi dasar bagi inklusivitas, toleransi, dan kesadaran akan relasi seluruh makhluk.
2. Etika Tindakan: Kesadaran spiritual tidak cukup jika tidak diwujudkan dalam keadilan, solidaritas sosial, dan perjuangan melawan penindasan.
3. Dialog antara Tradisi dan Modernitas: Pemikiran Rahman membuktikan bahwa nilai-nilai sufistik dapat dikontekstualisasikan dalam kerangka pemikiran rasional dan progresif.
Kesimpulan
Fazlur Rahman telah memberikan kontribusi penting dalam menafsirkan Wahdatul Wujud secara kritis dan konstruktif.
Ia tidak menolak warisan spiritualitas klasik, tetapi mengupayakan pembacaan ulang agar ajaran tersebut selaras dengan nilai-nilai etis dan kebutuhan zaman.
Reinterpretasi ini menegaskan bahwa kesatuan wujud bukanlah ajaran untuk melarikan diri dari dunia, melainkan panggilan untuk mengabdi pada-Nya melalui dunia.
Dalam dunia yang dilanda krisis makna, pemikiran Fazlur Rahman memberi harapan akan spiritualitas yang transformatif—yang menyatukan kontemplasi dan aksi, tauhid dan keadilan, Tuhan dan kemanusiaan.
Daftar Pustaka
1. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
2. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Second Edition. Chicago: University of Chicago Press, 2009.
3. Ibn ‘Arabi. Fusûs al-Hikam. Trans. Ralph Austin. Great Britain: Beshara Publications, 1980.
4. Chittick, William C. The Sufi Path of Knowledge: Ibn 'Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: SUNY Press, 1989.
5. Nasr, Seyyed Hossein. Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi. Cambridge: Harvard University Press, 1964.
6. Murata, Sachiko & Chittick, William C. The Vision of Islam. St. Paul: Paragon House, 1995.
0 Komentar