Subscribe Us

ksk logo.jpg

Relasi Al-Qur’an dan Konsep Wahdatul Wujud: Perspektif Fazlur Rahman (Bagian III dari 3 Tulisan)

Tajuddin Nur

Dalam upaya menafsirkan Wahdatul Wujud, Fazlur Rahman tidak memisahkan pemikiran filsafat dengan teks suci. Ia meyakini bahwa seluruh doktrin metafisik dalam Islam, termasuk sufisme, pada dasarnya harus merujuk dan berpijak pada pesan etis dan teologis Al-Qur’an. Bagi Rahman, tauhid dalam Al-Qur’an bukan sekadar pernyataan metafisik tentang keesaan Tuhan, tetapi adalah asas kesadaran moral manusia. 

Tauhid sebagai Fondasi Etis dalam Al-Qur'an 

Menurut Fazlur Rahman, Al-Qur'an sangat menekankan bahwa Tuhan adalah satu dan transenden, namun juga imanen secara moral dalam kehidupan manusia. Kesatuan eksistensi dalam kerangka Qur’ani berarti bahwa semua realitas mengacu pada Tuhan dan harus mengarah pada tanggung jawab sosial, keadilan, dan pengabdian. 

“The Quran is deeply theocentric but its theocentrism is inextricably linked with a moral system.” (Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2009, hlm. 10) 

Dalam surah Al-Hadid (57:3), Tuhan digambarkan sebagai berikut : 

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin.” 

Ayat ini sering dirujuk oleh para sufi untuk membuktikan bahwa Tuhan mencakup seluruh dimensi eksistensi. Namun, Fazlur Rahman mengajak agar ayat ini tidak dipahami secara eksklusif metafisik, tetapi dalam konteks tanggung jawab manusia untuk mengenal dan meneladani sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. 

Al-Qur’an dan Kosmos sebagai Arena Tauhid 

Al-Qur’an sering mengarahkan perhatian manusia kepada ciptaan: langit, bumi, binatang, dan musim—semuanya sebagai tanda-tanda (āyāt) kehadiran dan kemuliaan Tuhan (QS. Al-Baqarah:164, QS. Fussilat:53). Ini sejalan dengan pandangan sufistik tentang alam sebagai manifestasi Tuhan, namun Fazlur Rahman menekankan bahwa tanda-tanda ini harus dibaca secara aktif, bukan hanya untuk ekstase batin, tapi untuk membangun kesadaran spiritual dan etis yang berujung pada tindakan. 

Kritik Fazlur Rahman terhadap Mistisisme Pasif 

Salah satu aspek paling kritis dari pemikiran Fazlur Rahman terhadap sufisme klasik adalah penolakannya terhadap mistisisme yang menjauh dari realitas sosial. Ia menilai bahwa banyak sufi, terutama pasca-Ibn ‘Arabi, terlalu menekankan pada ekstase personal dan pengalaman batin, namun abai terhadap dimensi historis dan sosial dari ajaran Islam. 

Kesadaran Mistis tanpa Aksi: Suatu Anomali Qur’ani 

“Mysticism, if divorced from action, runs the risk of degenerating into self-indulgence. The Qur’anic God is not a God of contemplation only, but a God of justice, mercy, and action.” (Rahman, Islam, 1966, hlm. 122). 

Dalam kerangka pemikiran Fazlur Rahman, bentuk spiritualitas yang terjebak dalam kesadaran mistis tanpa diiringi aksi nyata merupakan anomali terhadap pesan etis Al-Qur’an. Al-Qur’an secara konsisten menegaskan bahwa iman sejati selalu berkelindan dengan amal (QS. Al-Baqarah: 2-3; QS. Al-Ma’un: 1-7). Maka, mistisisme yang hanya mengejar ekstase spiritual tanpa keterlibatan dalam realitas sosial merupakan penyimpangan dari esensi ajaran Islam. 

Kritik terhadap Mistisisme Apolitis 

Fazlur Rahman mengkritik keras bentuk sufisme yang berkembang setelah Ibn ‘Arabi, yang menurutnya cenderung menyuburkan uzlah (pengasingan diri) dan fana’ personal, namun mengabaikan dimensi baqa’, yaitu keterlibatan aktif dalam dunia dengan kesadaran ketuhanan. Ia menyebut model spiritualitas semacam itu sebagai bentuk eskapisme yang mengabaikan dimensi profetik Islam, yakni transformasi moral dan sosial. 

“The Quranic vision is ethical and activist. A mysticism that ignores this thrust betrays the Qur’an’s basic character.” (Rahman, Islam, 1966: 123) 

Paradigma Aksi dalam Wahyu 

Al-Qur’an menggambarkan Nabi Muhammad tidak hanya sebagai sosok yang berzikir dan bertafakur, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Dengan demikian, Fazlur Rahman menegaskan bahwa kesadaran mistis yang otentik mesti menghasilkan komitmen terhadap keadilan, pembebasan, dan amal saleh. 

Rahman menganggap bahwa spiritualitas sejati harus melahirkan kesadaran tanggung jawab terhadap masyarakat, bukan lari dari kenyataan. Mistisisme yang mengajarkan penarikan diri (uzlah) dan hanya mengejar fana’ tanpa baqa’ (kontinuitas pengabdian) adalah bentuk alienasi terhadap tugas kekhalifahan manusia. 

Dalam konteks ini, Rahman menyatakan bahwa umat Islam harus kembali pada etika kenabian, bukan hanya pada ketenangan sufi. Nabi Muhammad bukan hanya seorang kontemplatif, tapi pemimpin revolusioner yang membangun peradaban melalui keadilan dan perjuangan moral. 

Spiritualitas Sosial sebagai Jalan Tengah 

Rahman mengusulkan bentuk sufisme dinamis: spiritualitas yang berakar dalam kesatuan eksistensi, namun menuntun pada transformasi sosial. Sufisme yang ia dambakan bukan hanya gerakan batiniah, tetapi juga kekuatan reformasi moral dan sosial. 

Spiritualitas sosial merupakan konsep yang mencoba menyatukan antara dimensi batiniah (transendensi) dan dimensi lahiriah (aksi sosial) dalam kehidupan beragama. Dalam kerangka pemikiran Fazlur Rahman, spiritualitas sosial adalah bentuk jalan tengah antara dua kutub ekstrem: rasionalisme kering tanpa kedalaman rohani dan mistisisme pasif yang mengabaikan tanggung jawab sosial. 

Dasar Konseptual 

Fazlur Rahman memandang bahwa ajaran Islam menekankan keterpaduan antara iman, amal, dan kesadaran etis. Dalam Major Themes of the Qur’an, ia menekankan bahwa Tauhid tidak hanya bermakna teologis, tetapi juga merupakan asas etika dan pembebasan sosial. 

“The Qur’an wants to produce a morally responsible, socially active human being who is spiritually aware of God’s presence.” (Rahman, 2009: 29) 

Dengan demikian, spiritualitas yang sejati menurut Rahman adalah spiritualitas yang mendorong pengabdian kepada Tuhan melalui pelayanan kepada sesama manusia, bukan yang mengasingkan diri dari dunia. 

Ciri-Ciri Spiritualitas Sosial menurut Fazlur Rahman 

1. Berakar pada Tauhid: Kesadaran akan keesaan Tuhan menjadi landasan untuk memuliakan seluruh ciptaan.

2. Menjembatani Zikir dan Amal: Hubungan vertikal (zikir kepada Tuhan) tidak boleh mengabaikan hubungan horizontal (amal sosial).

3. Kritis terhadap Asketisme Eksklusif: Mistisisme pasif yang menarik diri dari dunia dikritik karena bertentangan dengan misi kenabian.

4. Menekankan Keadilan Sosial: Spiritualitas tidak hanya soal kontemplasi, tetapi juga transformasi realitas. 

Implikasi Etis dan Sosial 

Konsep ini relevan dalam konteks modern di mana umat beragama dihadapkan pada krisis kemanusiaan, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan. Spiritualitas sosial menawarkan pendekatan integral—yang tidak membiarkan agama terjebak dalam ritualisme, tetapi juga tidak tereduksi menjadi aktivisme tanpa ruhaniyah. 

Kesimpulan Tambahan: Integrasi Wahdatul Wujud, Al-Qur’an, dan Etika Profetik 

Dengan menempatkan Wahdatul Wujud dalam kerangka Qur’ani dan etika profetik, Fazlur Rahman menghindari jebakan spekulasi metafisik yang steril dan mistisisme yang pasif. Ia mengembalikan konsep ini ke pangkuan tugas profetik: menjadikan manusia sebagai khalifah Tuhan yang sadar akan keesaan-Nya, serta bertindak di dunia dengan nilai-nilai ilahiyah. 

Konsep kesatuan eksistensi dalam pandangan Rahman bukan semata-mata kesatuan ontologis, tetapi juga kesatuan aksi dan tanggung jawab. Dunia bukan tempat yang harus dilenyapkan dalam ekstase, melainkan medan jihad spiritual dan sosial demi menegakkan nilai-nilai ilahi dalam kehidupan nyata.

Referensi Tambahan. 

1. Rahman, Fazlur. Islam. Chicago: University of Chicago Press, 1966.
2. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Second Edition. Chicago: University of Chicago Press, 2009.
3. Nasr, Seyyed Hossein. Sufi Essays. Albany: SUNY Press, 1991.
4. Knysh, Alexander. Islamic Mysticism: A Short History. Leiden: Brill, 2000.
5. Ernst, Carl W. The Shambhala Guide to Sufism. Boston: Shambhala, 1997.
6. Chittick, William. Faith and Practice of Islam: Three Thirteenth Century Sufi Texts. Albany: SUNY Press, 1992.

gambar : https://islami.co/ibnu-al-arabi-ahli-tafsir-dari-sevilla/

Posting Komentar

0 Komentar