Subscribe Us

ksk logo.jpg

Jangan Menyisakan Air Minum

Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.

Ada yang ganjil dalam kebiasaan kita meminum air. Dalam berbagai acara, ruang publik, seminar, hingga pertemuan formal, botol-botol air kemasan disediakan dengan tampilan yang rapi dan seragam. Namun yang menyedihkan, sebagian besar dari botol itu tidak pernah dihabiskan. Air tersisa. Botol ditinggal begitu saja. Dan di sanalah bencana kecil bermula.

Kebiasaan menyisakan air dalam botol kemasan terlihat sepele, bahkan mungkin dianggap wajar. Tapi ketika diperbesar dalam skala populasi perkotaan, dampaknya menganga lebar. Air yang telah melalui proses pengolahan—melibatkan teknologi filtrasi, energi listrik, logistik distribusi, hingga kemasan plastik—dibuang sia-sia. Padahal, air bersih diolah bukan tanpa biaya. Setiap tetesnya adalah hasil konversi dari sumber daya alam menjadi komoditas berharga.

Namun kerugian terbesar justru bukan pada air yang tersisa. Melainkan pada cangkangnya: plastik kemasan yang menjadi residu abadi.

Plastik tidak mengenal waktu. Ia tidak lapuk dalam semusim, tidak lebur oleh hujan, dan tidak larut oleh waktu. Botol yang ditinggal di meja rapat akan berpindah ke tempat sampah, lalu ke TPA, dan pada akhirnya menyusup ke tanah, terbawa air hujan, menuju selokan, sungai, dan bermuara ke laut. Dari sanalah ia berubah bentuk—terdegradasi menjadi fragmen-fragmen kecil yang disebut mikroplastik.

Mikroplastik telah terdeteksi dalam tubuh ikan, kerang, udang, bahkan garam meja yang kita konsumsi. Ia merusak jaringan organik biota, mengganggu sistem reproduksi, dan menjadi ancaman lintas generasi bagi spesies air dan darat. Dalam tubuh manusia, mikroplastik telah ditemukan di dalam darah, feses, plasenta, dan bahkan ASI. Ini bukan sekadar soal sampah—ini adalah warisan racun bagi masa depan.

Maka, masalah air kemasan bukan cuma soal etika konsumsi, tapi juga tentang keadaban ekologis. Kita tidak sedang membicarakan botol plastik semata, tetapi keberlanjutan hidup di planet ini.

Lantas, apa solusinya?

Beberapa negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Singapura telah menyediakan air minum yang mengalir langsung dari keran. Dalam istilah modern disebut safe to drink. Teknologi ini memungkinkan masyarakat tidak lagi bergantung pada air kemasan. Namun tentu saja, sistem ini memerlukan infrastruktur sanitasi dan jaringan pipa yang bersih dan aman—suatu hal yang masih menjadi tantangan besar bagi sebagian besar kota di Indonesia.

Implementasi safe to drink memang patut diupayakan, namun tidak realistis jika menunggu keajaiban politik dari pemerintah yang tidak punya good will. Butuh visi jangka panjang, investasi besar, dan kemauan kuat dari elite pengambil kebijakan. Sementara bumi terus menua dan plastik terus menggerogoti jantung ekosistem.

Di sinilah urgensi lahirnya solusi berbasis komunitas: bank sampah.

Bank sampah bukanlah konsep baru. Tapi selama ini ia hanya menjadi tempat penitipan plastik. Setelah itu, plastik tetap dijual ke industri yang membakarnya atau mencacahnya menjadi pelet, lalu kembali diproduksi menjadi botol, kemasan, atau barang-barang plastik lainnya. Siklus ini tidak memutus problem utama, hanya mengulang daur kehancuran dalam bentuk baru.

Bank sampah generasi baru harus berevolusi menjadi pusat teknologi pemusnah plastik—bukan sekadar pengumpul. Di titik ini, teknologi pirolisis menjadi jawaban.

Pirolisis adalah proses termokimia yang memanaskan sampah plastik dalam kondisi tanpa oksigen, mengubahnya menjadi bahan bakar cair, gas, dan karbon padat. Tanpa emisi terbuka, tanpa residu beracun yang liar. Dengan kata lain, plastik bisa diubah kembali menjadi energi, bukan menjadi momok ekosistem.

Jika setiap kelurahan memiliki satu unit pirolisis mini, maka volume plastik di TPA akan berkurang drastis. Dan yang lebih penting, mikroplastik dapat direduksi sebelum terlanjur mencemari air dan tanah. Ini bukan mimpi muluk. Teknologi pirolisis skala kecil sudah dipakai di berbagai negara berkembang dan bisa dibuat dengan biaya yang jauh lebih rendah dibanding membangun jaringan air minum nasional.

Tentu saja, teknologi tanpa kesadaran sosial hanya akan jadi artefak mahal. Oleh karena itu, kesadaran kolektif dalam mengubah gaya konsumsi menjadi kunci. Tidak ada lagi alasan menyisakan air dalam botol. Setiap tetes yang kita tinggalkan adalah pengkhianatan terhadap jerih payah alam dan kerja keras manusia yang memprosesnya.

Kita juga mesti belajar menyayangi air. Air bukan hanya komoditas. Ia adalah makhluk hidup dalam teologi banyak peradaban. Ia suci. Ia menurunkan wahyu. Ia membersihkan jiwa. Dalam Islam, air adalah alat wudhu. Dalam tradisi Hindu, air adalah jalan penyucian. Dalam budaya lokal Nusantara, air adalah perantara leluhur. Maka menyia-nyiakan air adalah menyia-nyiakan berkah Tuhan.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bersama pemerintah daerah, perlu membuat regulasi tegas agar perusahaan air kemasan turut bertanggung jawab atas limbah plastik yang mereka hasilkan. Skema extended producer responsibility harus ditegakkan. Jika mereka bisa menjual air dalam botol, maka mereka juga wajib menarik kembali botol-botol kosong yang terbuang.

Lebih jauh dari itu, pendidikan lingkungan harus masuk sejak dini. Di sekolah dasar, anak-anak harus diajarkan untuk menghabiskan air minum mereka. Bukan sekadar tentang hemat, tapi soal karakter. Karakter ekologis yang menyadari bahwa hidup tidak bisa terus-menerus mengkonsumsi tanpa menyisakan ruang untuk alam bernapas.

Kita sedang berada di persimpangan. Jika dibiarkan, mikroplastik akan menjadi tragedi abad ini. Ia tidak membunuh dengan cepat, tapi menyusup perlahan, melemahkan generasi, menurunkan kualitas hidup, dan membebani sistem kesehatan.

Tapi jika kita memilih untuk bertindak—dengan mengubah kebiasaan minum, dengan membangun bank sampah berbasis pirolisis, dengan mereformasi sistem produksi plastik, dan dengan menumbuhkan budaya ekologi sejak dini—maka masih ada harapan. Masih ada masa depan.

Terkadang, revolusi tidak lahir dari senjata. Ia bisa bermula dari sebuah botol air yang kita habiskan sampai tetes terakhir, dan sebuah sampah plastik yang tidak kita buang sembarangan.

Dan dari situlah peradaban dimulai kembali—dengan kesadaran, bukan keserakahan.

gambar : https://www.siu-bijiplastik.com/

Posting Komentar

0 Komentar