Oleh : Prof.Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc.
Keris pusaka masyarakat Nusantara sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia. Sayang sekali sampai sekarang masih sangat sedikit Perguruan Tinggi yang membuka jurusan atau prodi tentang keris, seperti yang sudah dibuka di Program Studi Sarjana Terapan Keris ISI Surakarta. Keris juga tidak menjadi matakuliah penting di Fakultas Ilmu Budaya, misalnya.
Yang sering kita dapati di masyarakat, keris hanya ditonjolkan sisi yang remeh-teme seperti sebagai senjata tajam, dihuni oleh makhluk halus, disyirikkan orang yang mengkoleksinya dan lain sebagainya.
Apakah ini menunjukkan kurangnya perhatian kita terhadap kekayaan intelektual bangsa sendiri? Saya kira jawabannya iya.
Padahal keris merupakan perwujudan ruang intelektual manusia Nusantara yang berisi sains suci, imajinasi ilhiyah hingga petunjuk praktis dalam suluk ruhani serta pelestarian alam.
Ruang intelektual itu bisa kita dapati pada dapur (model atau bentuk) dan pamor (guratan-guratan imajinatif pada keris).
Pamor dan dapur keris salah satunya merupakan refleksi dari biodiversitas dan sistem ekologi di Nusantara baik yang empiris maupun yang non empiris.
Salah satu contoh, pamor kupu tarung. Pamor ini menunjukkan biodiversitas binatang kupu-kupu di Nusantara.
Dapur yang terkenal seperti nogo sosro adalah refeksi imajinatif tangkapan spiritual tentang makhluk Naga. Keris ini diperebutkan, karena memunyai nyoni atau energi sebagai penguasa.
Tidak sekadar Naga, manusia Nusantara sudah menemukan makhluk gabungan antara Gajah, Garuda (rajawali) dan Naga. Makhluk ini biasanya diwujudkan dalam bentuk keris Naga Liman dengan berbagai variasinya. Keris Naga Liman dibentuk dalam dapur sekaligus atau nyambung ke pamor. Model keris seperti ini berdapur gajah yang bersayap seperti 1rajawali dan berbadan naga. Biasanya di kepala gajah (simbol ilmu) disematkan mahkota raja. Keris Naga Liman yang bermahkota raja biasanya dimiliki oleh seorang penghulu intelektual atau pemilik keris itu adalah seseorang yang dikonstruksi menjadi tokoh intelektual di zamannya.
Salah satu tokoh intelektual yang juga seorang rajah dan empu keris adalah Sunan Giri ke IV atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Prapen. Salah satu keris karya Sunan Prapen adalah keris Suro Angon Angon.
Keris ini merupakan rekonstruksi dari keris kakek buyutnya Sunan Giri I, sayyid Muhammad Ainul Yaqin yang dikenal dengan nama keris kalamunyeng. Dinamakan Suro Angon Angon karena keris itu dikonstruksi (Angon Angon) kembali pada bulan Suro.
Selain menggambarkan fauna, keris juga menggambarkan flora yang tumbuh di Nusantara. Pamor seperti itu bisa kita jumpai pada pusaka badik dari suku Bugis dan Makassar, yaitu pamor daun padi. Pamor ini diniatkan agara pemilik badik rezkinya lancar.
Selain tanaman padi sebagai simbol tanaman yang menjadi makanan pokok orang-orang Nusantara, ada juga pusaka atau keris yang berpamor daun kelapa atau yang dikenal dengan nama Blarak Sineret (daun kelapa yang diseret).
Keris dengan pamor Blarak Sineret memunyai tua atau fadhilah agar sang pemilik keris berposisi seperti pohon kelapa. Pohon kelapa adalah pohon yang dapat tumbuh di mana saja. Dari ujung daun yang paling atas sampai akar paling bawah dari pohon kelapa memunyai manfaat.
Sebagai misalnya buah kelapa memunyai manfaat dari sabutnya hingga airnya. Batang pohon kelapa juga dapat digunakan untuk berbagai keperluan manusia. Apalagi daunnya, bisa dijadikan hiasan, buah tangan atau sebagai pembungkus makanan seperti ketupat.
Oleh karena itu, pemilik keris dengan pamor Blarak Sineret diharapkan agar mereka bisa hidup di berbagai medan dan memunyai kebermanfaatan bagi seluruh kepentingan alam semesta.
Pamor dan Biodiversitas
Keris dalam tradisi Nusantara tidak sekadar memunyai nilai mistik, yang menghubungkan manusia dan Sang Pencipta, tetapi juga memiliki fungsi empiris.
Pembaca atau penikmat keris tidak bisa terjadi di sembarang orang. Keris itu bukan pisau dapur, tapi ia adalah teks sain suci yang dikonstruksi oleh seorang empu. Membaca keris tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Untuk bisa membaca atau menikmati keris, seseorang harus memunyai keahlian tertentu.
Kalau buku teks bisa dibaca oleh khalayak umum. Keris hanya bisa dibaca oleh mereka yang mempunyai ilmu tentang perkerisan dan memiliki pengalaman mistikal yang berkaitan dengan keris.
Pamor dan dapur keris tidak dikonstruksi sembarangan. Bahkan konstruksi itu masih berlanjut meskipun keris itu dianggap sudah rampung dalam proses pembuatannya. Keris yang merepresentasikan kondisi seperti ini bisa ditemukan pada keris tiban. Keris tiban yaitu keris yang pamornya tidak secara sengaja dikonstruksi oleh seorang empu. Tetapi sang enmpu menitipkan “mantra” sains suci, sehinga keris itu melakukan swadiskursus setelah keris itu jadi.
Pamor tiban semacam ini adalah hasil dialektika antara pamor dan dapurnya. Keris pusaka itu berisi sain suci yang hidup dan mengalami swadiskursus sepanjang masa.
Pamor dipandang dari sisi era revolusi industri 4.0 adalah sebuah algoritma. Algoritma yang dituangkan dalam keris bisa tampak secara empiris atau melaumpaui empirisitas. Perlu perjalanan atau sekolah batin agar memunyai kemampuan membaca keris.
Sesepuh Nusantara memberikan nama pamor dan dapur dengan merujuk pada biodiversitas yang ada di Nusantara, bukanlah hal yang kebetulan dan tanpa pertimbangan yang matang. Mereka mengkosntruksi pamor-pamor berbasis pada flora dan fauna untuk mengingatkan masyarakat Nusantara bahwa bumi Nusantara adalah semacam “percikan surgawi” yang menciprat ke bumi membentuk kepulauan Nusantara dengan biodiversitasnya yang tinggi.
Nusantara memiliki sekitar 8.000 spesies tumbuhan dan 2.215 spesies hewan yang sudah teridentifikasi. Ini adalah sebuah nilai biodiversitas flora dan fauna yang tinggi.
Keris pada akhirnya sebagai pengingat akan unen-unen atau jargon atau mantra memayu hayuning bawono (mempercantik bumi yang sudah cantik) dengan cara memandang komponen biotik (flora dan fauna) dan abiotik sebagai bagian integral (makrokosmos) dari seluruh aspek kehidupan atau jiwa mansusia (mikrokosmos).
Dengan demikian salah satu fungsi pusaka keris adalah untuk melestarikan kehidupan bumi berbasiskan pada pandangan luhur manusia Nusantara dengan kesadaran penuh tentang biodiversitas dan ekosistemnya.
0 Komentar