Subscribe Us

ksk logo.jpg

Argumen Wujud dalam Pembuktian Eksistensi Tuhan (3)




 Oleh : Ust. Dr. Muhammad Adlani

Argumentasi yang bernama argumen wujud ini merupakan salah satu argumen rasional terbaik dalam menegaskan sumber keberadaan dan eksistensi Tuhan. Tidak satu pun manusia yang berakal menolak dan memungkiri eksistensi dirinya sendiri dan realitas-realitas materi di luar dirinya.

Berikut ini kami akan jelaskan beberapa pendahuluan dan pengertian mendasar demi mudahnya mengikuti alur-alur argumentasi dan memahami premis-premisnya secara benar:

1.      Pengertian wujud-mungkin (mumkin al-wujud), wujud-niscaya (wajib al-wujud) dan wujud-mustahil (mumtane' al-wujud);
2.      Pengertian keniscayaan;
3.      Prinsip kausalitas;
4.      Kemustahilan daur dan tasalsul.

Apa itu Wujud-Mungkin, Wujud-niscaya, dan Wujud-Mustahil?

Ketika kita menelaah realitas-realitas di alam ini misalnya manusia, hewan, tumbuhan, gunung-gunung, batu-batuan, dan lain sebagainya, maka kita dapat simpulkan bahwa realitas-realitas itu dalam rentangan waktu pernah tiada dan kemudian mewujud dan mengada di alam materi ini.

Begitu pula, realitas-realitas ini, dalam koridor ruang-waktu, mengalami perubahan yang terus menerus dan berjenjang. Kelihatannya, tidak satu pun realitas-realitas ini yang tidak pernah mengalami perubahan dari awal keberadaannya dan tetap pada satu kondisi dan tingkatan tertentu.

Jika realitas-realitas itu adalah niscaya dan mesti adanya, maka mereka akan senantiasa ada, dan sebaliknya jika mereka itu tidak niscaya adanya, maka mustahil ada dan mengada. Segala realitas di alam materi ini pernah tiada dan ketika ada akan mengalami perubahan yang terus menerus dalam rentangan ruang-waktu dan kemudian akan meniada. 

Ini berarti realitas-realitas ini berada pada interval ada dan tiada. Dengan ungkapan lain, realitas-realitas ini berada pada titik nol, bukan pada angka negatif (mustahil ada) dan bukan pada angka positif (niscaya ada). Karena kalau realitas-realitas ini mustahi adanya, maka mereka tidak akan pernah mengada, begitu pula jika mereka niscaya adanya, maka mereka pasti senantiasa ada dan mustahil meniada.

Dalam istilah filsafat, jika sesuatu secara esensial niscaya adanya, disebut Wujud-Niscaya (Wâjib Al-Wujud). Wujud-Niscaya adalah realitas yang senantiasa ada, azali, dan abadi. Dan jika sesuatu secara esensial mustahil adanya, disebut wujud-mustahil (mumtane' al-wujud). Dan jika sesuatu secara esensial mungkin adanya dan mengada serta mungkin meniada, disebut wujud-mungkin (mumkin al-wujud).

Sifat esensial dan substansial wujud-mungkin adalah mengalami perubahan dan gerak yang terus menerus dalam ruang dan waktu, seperti individu-individu manusia, hewan, tumbuhan, dan sejenisnya. Manusia mengalami masa balita, remaja, dewasa, tua, dan akhirnya meninggalkan alam materi ini (baca: kematian). Begitu pula makhluk-makhluk hidup lainnya.

Apa itu Keniscayaan

Ketika kita memperhatikan kata-kata seperti ganjil dan genap, angka tujuh dan delapan, kita akan menemukan hubungan antara genap dengan angka delapan dan ganjil dengan angka tujuh. Kemudian, hubungan tersebut akan membentuk premis-premis yang logis seperti, delapan adalah genap dan tujuh adalah ganjil.

Interaksi logis antara angka delapan dan genap dan angka tujuh dan ganjil didasarkan atas realitas luar yang ada di alam ini dan di pikiran kita bahwa terdapat hubungan hakiki yang tak terpisahkan di antara realitas-realitas itu. Dengan ungkapan lain, genap merupakan hakikat delapan dan angka delapan meniscayakan kegenapan. Adalah mustahil memisahkan antara sifat genap dan angka delapan, begitu pula antara sifat ganjil dan angka tujuh. Hubungan hakiki di antara realitas-realitas ini disebut hubungan niscaya dan mesti.

Jika dikatakan wujud itu niscaya, wujud itu mungkin, atau wujud itu mustahil, ini bermakna terdapat hubungan hakiki yang tidak dapat dipisahkan antara sifat niscaya, mungkin, atau mustahil dengan wujud itu. Jika Tuhan dikatakan sebagai wujud yang niscaya, ini bermakna bahwa keberadaan Tuhan adalah mesti, senantiasa ada, dan mustahil tiada dan meniada.

Prinsip Kausalitas

Teori kausalitas telah muncul seumur dengan peradaban manusia, bahkan seusia dengan alam ini dan realitas itu sendiri. Manusia yang berakal senantiasa mencari sebab-sebab dari setiap kejadian. Karena dengan mengetahui sebabnya berarti memahami akar dan sumber akibat atau kejadian itu.

Di bawah ini, saya akan ungkapkan beberapa pandangan filosof terkemuka tentang definisi kausalitas:

Al-Farabi berkata, "Sebab adalah sesuatu yang niscaya ada dan hadir bersama dengan akibat."
Ibnu Sina berkata, "Sebab adalah sesuatu yang meniscayakan sesuatu yang lain, dan akibat mesti aktual karena keaktualan sebabnya."

Mulla Sadra berkata, "Sebab memiliki dua pengertian, pertama, sebab adalah sesuatu yang menghadirkan realitas yang lain dan ketiadaan sebab berefek pada ketiadaan realitas itu. Pengertian kedua, sebab adalah wujud yang memestikan kebergantungan realitas lain, dan ketiadaan akibat karena ketiadaan sebabnya."

Syekh Isyraq Suhrawardi berkata, "Sebab adalah sesuatu yang keberadaannya mengharuskan sesuatu yang lain dan memustahilkan kejamakan sebab."

Konklusi dari semua definisi di atas adalah sebab merupakan realitas yang meniscayakan kebergantungan mutlak dan hakiki segala eksistensi lainnya. 

Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh berikut. Secara empiris, api menimbulkan panas. Api disebut sebab karena meniscayakan hadirnya panas. Panas disebut akibat karena bersumber dari api. Api dan panas memiliki hubungan khusus yang hakiki yang tak terpisahkan.

Hubungan khusus ini, dalam istilah filsafat, disebut kausalitas atau hubungan sebab-akibat. Dengan kausalitas, manusia mampu menghubungkan antara satu realitas dengan realitas lain serta menentukan mana sebab dan akibat dari realitas-realitas tersebut.

Sebagian filosof barat seperti David Hume, menolak adanya hubungan khusus dan hakiki di antara sebab dan akibat itu. Ia beranggapan, yang bisa diempiriskan hanyalah api dan panas bukan hubungan khusus yang bersifat niscaya itu. Segala realitas yang mustahil diempiriskan, tidak dapat dikategorikan sebagai realitas yang benar-benar ada.

Karena hubungan kausalitas (hubungan khusus dan hakiki antara sebab dan akibatnya) itu mustahil diempiriskan, maka ia tiada. Lebih lanjut dia berkata, "Semua pengetahuan manusia bersumber dari hal-hal yang empiris. Jika terdapat "keberhubungan" antara satu realitas dengan realitas lain, maka hubungan ini hanya bersifat kebetulan belaka, bukan karena adanya kausalitas itu. Karena "keberhubungan" dua realitas itu senantiasa terjadi, yakni keberadaan api senantiasa memunculkan panas, maka terbentuklah hubungan kausalitas antara kedua realitas itu di alam pikiran."

Jawaban atas kritikan itu, sebagai berikut:

Pertama, dalam filsafat Islam, hubungan kausalitas itu tidak ada kaitannya dengan indera lahiriah, tapi berkaitan dengan persepsi akal dan dibuktikan lewat kajian-kajian rasional. Kajian-kajian rasional tidak berpijak secara mutlak kepada realitas empiris. Mengambil contoh fenomena api sebagai sebab dan panas adalah akibatnya, hanya dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman tentang hukum kausalitas.

Penentuan mana sebab dan akibat dalam fenomena empiris antara api dan panas, bukanlah wewenang filsafat. Filsafat hanya merumuskan kaidah dan hukum universal. Hal yang wajar jika terjadi kesalahan dalam wilayah penerapan kaidah dan hukum itu bahwa apakah benar-benar api adalah sebab dan panas adalah akibatnya sehingga terjadi hubungan kausalitas di antara keduanya. 

Kritikan atas penentuan subyek atau obyek masalah (dalam hal hubungan api dan panas), dalam filsafat adalah tidak dibenarkan. Sanggahan semestinya dialamatkan kepada kajian filosofisnya. Adanya kesalahan dalam penentuan subyek atau obyeknya bukan berarti adanya kekeliruan dalam kaidah dan hukum universalnya. Jadi sebab, akibat, dan hubungan hakiki sebab akibat (baca: kausalitas) adalah realitas yang tidak dapat dinafikan.

Kedua, dalam ilmu logika, proposisi tersusun dari premis minor dan mayor, misalnya A dari B dan B dari C, maka A dari C. A dari B disebut premis minor dan B dari C disebut premis mayor. Jika kita menolak adanya hubungan kausalitas, maka kita mustahil melahirkan silogisme dari proposisi itu, yaitu A dari C. Menolak hubungan kausalitas artinya ragu bahwa B dari A dan B dari C, akhirnya mustahil menyimpulkan bahwa A dari C. Jadi, silogisme A dari C hasil dari adanya hubungan keniscayaan dari dua premis minor dan mayor. Hubungan keniscayaan itu disebut hubungan kausalitas atau hubungan sebab-akibat.

Bukankah David Hume sendiri membangun premis-premis untuk menolak hubungan kausalitas itu? Ia menyatakan: hubungan kausalitas antara api dan panas adalah nonempiris (premis minor), segala yang nonempiris mustahil ada (premis mayor), jadi hubungan kausalitas antara api dan panas mustahil ada, yakni tidak ada hubungan kausalitas di antara kedua realitas itu (silogisme).

Kalau David Hume konsisten atas argumentasinya, maka ia harus menolak konklusi atau silogisme dari argumentasi yang dibangunnya. Karena dalam proposisi, premis minor dan mayor adalah sebab dan silogisme adalah akibatnya. Dengan demikian, dalam proposisi terdapat suatu hubungan kausalitas.

Maka dari itu, menolak hubungan kausalitas sama dengan menolak ilmu logika, dan menolak ilmu logika sama dengan menolak semua bentuk proposisi dan argumentasi, termasuk menafikan argumentasi yang menolak hubungan kausalitas itu. Menolak argumentasi sama dengan menolak semua ilmu dan pengetahuan, karena hubungan kausalitas adalah perkara prinsipil dan fundamental dalam semua realitas, baik di alam eksternal maupun di alam internal (baca: alam pikiran).

Immanuel Kant, filosof besar asal Jerman, karena mengetahui konsekuensi logis dari pemikiran Hume, lantas mengambil jalan lain dalam menyikapi fenomena hubungan kausalitas itu. Namun usahanya bahkan melahirkan problem yang lain. Dalam pandangannya, kausalitas atau hubungan khusus dan hakiki antara sebab dan akibat hanya ada di alam pikiran, bukan di alam eksternal.

Hubungan kausalitas ada di alam eksternal, jika dapat diaplikasikan ke dalam fenomena ruang-waktu di alam materi. Hubungan kausalitas itu, begitu pula argumen kemungkinan (contingency) dan keniscayaan (necessity), tidak akan bermanfaat jika tidak dapat diterapkan dan diaplikasikan dalam koridor ruang dan waktu.

Kant, sebagaimana Hume, sepakat bahwa pengetahuan berasal dari realitas-realitas empiris. Kant, berbeda dengan Hume, yang berpendapat bahwa walaupun pengetahuan diperoleh dari realitas-realitas empiris, namun ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan berasal dari realitas empiris dan alam materi.

Kritikan Kant dalam masalah kausalitas sangat tidak konsisten. Ia menolak sebagiannya, yaitu menolak adanya hubungan kausalitas di alam materi karena tidak dapat diempiriskan dalam ruang-waktu. Sementara ia menerima sebagian lainnya, yakni menerima hubungan kausalitas dapat diterapkan di alam gaib (nonmateri). Ketidakkonsistenan Kant ini karena hanya mengkhususkan hubungan kausalitas di alam gaib.

Ia tidak menyadari, konsekuensi dari pengecualian ini sama dengan menolak realitas semua alam, karena akan memunculkan pertanyaan tentang bagaimana proses munculnya alam gaib itu? Apakah ada hubungan antara alam gaib dan alam non gaib dan bagaimana bentuk hubungannya? Kalau ia menerima adanya ‘proses munculnya’ alam-alam (alam materi dan nonmateri) dan mengakui adanya ‘pola hubungan’ di antara realitas-realitas di semua alam, maka tidak ada jalan lain kecuali menerima adanya hubungan kausalitas di semua alam.

Bersambung….

www.everystudent.com

Posting Komentar

0 Komentar