Subscribe Us

ksk logo.jpg

Malamatiyah versus Industri Hipokrisi Religius

Prof..Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.

Dalam sejarah spiritualitas Islam, Malāmatiyah hadir sebagai arus bawah yang membisikkan kritik sunyi terhadap kecenderungan manusia untuk membungkus ego dengan jubah kesalehan. Ia bukan sekadar mazhab tasawuf, tetapi sebuah etika eksistensial yang lahir dari kesadaran mendalam tentang betapa halusnya tipu daya jiwa. Dalam terminologi Mulla Ṣadrā, riya bukan hanya sikap terang-terangan ingin dipuji, melainkan bisa bersembunyi dalam bentuk-bentuk spiritualitas yang tampak murni, namun dilumuri hasrat pengakuan di tingkat wujud yang lebih dalam. Maka, dalam kerangka filsafat Sadrian, riya memiliki gradasi ontologis, dan oleh karena itu cara mengatasinya pun harus bertingkat dan mendalam.

Malamatiyah lahir dari intensi suci: mencabut akar riya hingga ke relung terdalam jiwa, bahkan dengan cara-cara yang, secara kasat mata, tampak berlawanan dengan norma umum kesalehan. Para malamati bukan hanya menjauhkan diri dari pujian, tapi juga secara sadar menghindari tampilan-tampilan kebaikan agar tak dijerat oleh perangkap pencitraan rohani. Di titik ekstrem, mereka bahkan rela dicela atau tampak berdosa, hanya untuk menjaga hati dari kemurnian semu. Dalam kerangka filsafat eksistensial, ini adalah bentuk kenosis spiritual—pengosongan diri dari ego, bukan dengan menghindari dosa secara demonstratif, tetapi dengan membungkam bisikan diri yang ingin tampil bersih.

Namun kekuatan ajaran malamatiyah tidak hanya terletak pada nilai asketisnya, tapi juga pada daya kritik sosialnya. Dalam masyarakat yang dijejali jargon kesalehan, Malāmatiyah adalah semacam cermin retak yang menggambarkan wajah lain dari keberagamaan: bahwa tidak semua yang berjubah adalah suci, dan tidak semua yang tampak berdosa adalah hina. Ia menyuguhkan pemahaman bahwa kesucian tidak selalu datang dari tampilan, dan kehinaan tidak selalu tampak secara eksplisit. Dalam masyarakat di mana agama sering dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan, atau tameng atas kejahatan, Malāmatiyah tampil sebagai strategi sosiologis untuk meruntuhkan kredibilitas palsu yang dibangun di atas retorika ilahiyah tanpa substansi moral.

Secara filosofis, Malāmatiyah dapat dibaca sebagai laku spiritual yang membebaskan manusia dari belenggu pencitraan etis. Di tengah budaya modern yang semakin didominasi oleh simulacra—realitas palsu yang ditampilkan terus-menerus hingga dianggap sebagai kebenaran—ajaran malamatiyah mengajak kita kembali kepada keheningan batin, kepada kesadaran bahwa kebaikan bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dirahasiakan demi keikhlasan yang murni. Ia membongkar kepalsuan, bukan dengan ceramah, tapi dengan diam; bukan dengan tampil benar, tapi dengan menanggung salah.

Dalam realitas kontemporer yang penuh manipulasi simbolik, ajaran Malāmatiyah menjadi penting sebagai alat resistensi spiritual terhadap industri kesalehan palsu. Ia menantang publik untuk tidak mudah terpukau oleh simbol, dan menantang individu untuk tidak menjadikan agama sebagai panggung narsisme rohani. Filosofi Malāmatiyah adalah panggilan untuk menghadirkan kejujuran radikal: bahwa diri ini adalah pendosa, bahwa kebaikan kita pun bisa ternoda, dan bahwa keselamatan spiritual justru dimulai dari kesadaran akan kecacatan diri sendiri.

Di dunia yang semakin sibuk menunjukkan siapa yang paling suci, Malāmatiyah mengajarkan kita untuk menjadi biasa-biasa saja, namun jujur kepada Allah. Dan mungkin, dari sanalah rahmat yang sejati akan mengalir—bukan kepada mereka yang menampilkan kesucian, tapi kepada mereka yang berusaha menghindarinya demi Allah semata.

gambar : https://www.tiktok.com/@santri_smesta, https://alif.id/read/redaksi/


Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 


Posting Komentar

0 Komentar