Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Dalam sejarah intelektual Islam, keterpautan antara manusia dengan alam bukan sekadar hubungan utilitarian—bukan sekadar soal bagaimana manusia memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya—tetapi juga soal maqām spiritual, etika tauhid, dan visi imamah. Salah satu puncak ajaran ini terekam kuat dalam kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib:
وَاللهِ، لَوْ أُعْطِيتُ الْأَقَالِيمَ السَّبْعَةَ، بِمَا تَحْتَ أَفْلَاكِهَا، عَلَى أَنْ أَعْصِيَ اللهَ فِي نَمْلَةٍ أَسْلُبُهَا جِلْبَ شَعِيرَةٍ، مَا فَعَلْتُهُ.
"Demi Allah, seandainya aku diberikan tujuh benua dengan segala yang ada di bawah langitnya, dengan syarat aku harus bermaksiat kepada Allah hanya dengan mengganggu seekor semut dan merampas sebutir gandum darinya, niscaya aku tidak akan melakukannya."(Nahjul Balaghah).
Ini bukan sekadar retorika zuhud atau ketakwaan pribadi. Ucapan ini mencerminkan pandangan metafisik yang amat dalam tentang posisi manusia sebagai khalifah, di mana tanggung jawabnya melampaui relasi sosial, memasuki ruang ekosentris, bahkan trans-eksistensial: semut pun diakui sebagai makhluk dengan hak-hak sakral yang tidak boleh diganggu sembarangan.
Untuk memahami akar dari etika transenden ini, kita harus kembali pada pondasi kenabian dan imamah. Dalam riwayat sahih, Rasulullah SAW bersabda kepada Ali bin Abi Thalib:
"أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي"
"Engkau (wahai Ali) di sisiku seperti Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku."(HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, dll. Juga diriwayatkan dalam literatur Syiah seperti al-Kafi, al-Ihtijaj, dan Bihar al-Anwar)
Hadis ini, yang dikenal sebagai Hadis Manzilah, menegaskan bahwa posisi Imam Ali terhadap Nabi Muhammad SAW adalah seperti Harun terhadap Musa, kecuali kenabian. Maka, segala kualitas kepemimpinan, keilmuan, dan pengayoman Harun terhadap umat Bani Israil menjadi cerminan dari posisi Ali terhadap umat Islam.
Lalu, apa yang dikatakan al-Qur’an tentang Harun?
"وَقَالَ مُوسَى لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ"
"Dan Musa berkata kepada saudaranya Harun: Gantikanlah (jadi khalifah) aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan."(QS. al-A‘rāf: 142)
Dan juga:
"وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِّنْ أَهْلِي، هَارُونَ أَخِي، اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي، وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي"
"Dan jadikanlah untukku seorang pendamping dari keluargaku: Harun, saudaraku. Kuatkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku."(QS. Ṭāhā: 29–32).
Tiga fungsi Harun dalam ayat ini: khalifah, wazir, dan syarīk fī amrī (sekutu dalam urusan dakwah)—seluruhnya menunjukkan bahwa Harun bukan hanya pembantu administratif, melainkan pemikul kelanjutan misi kenabian secara spiritual dan moral. Maka ketika Nabi SAW menyamakan Ali dengan Harun, hal itu adalah penegasan bahwa Imam Ali adalah wali dan pemikul kelanjutan moral, keilmuan, dan spiritualitas kenabian.
Dalam hadis manzilah, posisi Ali diproyeksikan sebagai sosok yang menyempurnakan risalah Rasulullah SAW dalam bentuk imamah. Maka etika Ali adalah refleksi dari makna imamah itu sendiri. Ketika ia berkata bahwa ia tidak akan mengganggu seekor semut demi kekuasaan atas tujuh benua, ia sedang mendefinisikan etika pengelolaan kekuasaan sebagai refleksi tauhid.
Mengganggu semut adalah maksiat, kata Ali. Artinya, maksiat bukan dimulai dari pembunuhan atau pengrusakan besar, tapi dari gangguan kecil terhadap makhluk lemah. Inilah dimensi ontologis dari ekologi transenden—ekologi yang tidak berhenti pada pelestarian lingkungan semata, tetapi berpangkal pada tauhid, pada kesadaran bahwa setiap makhluk hadir dalam sistem ketuhanan yang terstruktur dan memiliki hak eksistensialnya sendiri.
Imam Ali bukanlah naturalis dalam pengertian modern. Beliau bukan aktivis lingkungan yang hanya menuntut konservasi. Beliau mewujudkan maqām Insan Kāmil, tempat di mana etika spiritual berpadu dengan tanggung jawab ekologis. Dalam perspektif Mulla Ṣadrā, insan kāmil adalah cermin dari nama-nama Tuhan, dan dengan demikian, ia tidak dapat melakukan tindakan yang merusak al-‘ālam, karena ‘ālam itu sendiri adalah tajalli (penampakan) Tuhan.
Al Quran :An-Nur · Ayat 35:
۞ اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌۗ اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍۗ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍۙ يَّكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْۤءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌۙ ٣٥
Allah adalah cahaya (pada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang (pada dinding) yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang (yang berkilauan seperti) mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Konsep ekologi transenden yang saya maksud adalah ekologi yang berakar dari paradigma imamah—bukan sekadar pengelolaan sumber daya, tetapi pengayoman terhadap keberadaan sebagai amanah ilahi. Seorang imam bukan hanya pemimpin manusia, tetapi juga penjaga harmoni kosmik.
Dalam kerangka ini, “mengganggu semut” menjadi alegori dari segala bentuk ketimpangan ekologis yang bermula dari ketimpangan etis. Dunia yang hari ini rusak bukan karena teknologi atau populasi semata, tetapi karena krisis spiritual dalam memandang keberadaan. Kita menilai tanah, air, dan hewan sebagai resources, bukan sebagai ayat-ayat Tuhan.
Ekologi transenden yang dicontohkan Imam Ali adalah ekologi yang bercahaya dari dalam, dari maqam ruhani yang tidak akan pernah menyakiti bahkan makhluk kecil yang tak bersuara.
Ketika Nabi Muhammad SAW bersabda dalam peristiwa Ghadir Khum:
"من كنت مولاه فهذا عليٌّ مولاه، اللهم والِ من والاه وعادِ من عاداه"
"Barang siapa yang aku adalah mawlanya, maka Ali adalah mawlanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya."
Maka makna "mawla" dalam konteks ini adalah puncak dari segala bentuk kedekatan spiritual dan otoritas moral. Di sinilah Ali mengambil posisi sebagai Waliullah, bukan sekadar pemimpin politik, tetapi sebagai manifestasi dari rahmat dan kebijaksanaan Allah dalam ciptaan-Nya.
Dalam konteks ini, wilayah (kepemimpinan ilahi) bukan sekadar otoritas, tetapi kosmik kasih sayang. Maka ketika Ali mengatakan ia tidak akan mengganggu semut demi kekuasaan, ia sedang menjelaskan bahwa wilayah itu bukan jalan kekuasaan, melainkan jalan amanah ilahiah untuk menjaga kehidupan.
Jika konsep transpersonal ecology yang dikemukakan oleh Warwick Fox merupakan pengembangan dari ekosentrisme yang menekankan pentingnya pelebaran identitas diri hingga melampaui batas-batas individual dan merasuk ke dalam keseluruhan alam semesta. Manusia yang menyadari keterhubungan mendalam dengan alam tidak lagi memandang dirinya sebagai entitas terpisah, melainkan sebagai bagian dari jalinan eksistensi yang saling terkait.
Dengan demikian, tindakan menjaga lingkungan bukan sekadar kewajiban moral eksternal, tetapi ekspresi otentik dari Self yang telah tercerahkan dan melebur dalam keutuhan ekologis. Maka, konsep ekologi transenden melangkah lebih jauh. Ia menuntut perubahan radikal dalam cara kita memahami posisi manusia di alam semesta: dari pemilik menjadi penjaga, dari pemanfaat menjadi pelindung, dari sekadar self transpersonal menjadi pembimbing ruhani menuju kesempurnaan.
Dalam kerangka ini, etika ekologis tidak hanya bersumber dari perluasan identitas, tetapi dari penyucian batin yang mendalam, seperti yang diteladankan oleh Imam Ali — sosok yang menolak berbuat zalim bahkan terhadap sebutir gandum seekor semut. Posisi manusia sebagai khalifah hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah melampaui nafsu, ego, dan hasrat kekuasaan duniawi; menjadikan perlindungan alam sebagai wujud ibadah dan kesaksian spiritual atas kehadiran Ilahi dalam ciptaan.
Inilah etika yang kita perlukan hari ini. Ketika dunia tenggelam dalam ekstraktivisme, perusakan atas nama kemajuan, dan ketimpangan ekologis, maka suara Ali harus kembali kita dengarkan: jangan ganggu semut pun jika itu adalah bentuk maksiat kepada Allah.
Jika semut saja dilindungi oleh qalbu seorang wali Allah, maka betapa jauh kita dari maqam itu ketika kita merusak hutan, menambang gunung, mencemari laut, dan mengusir makhluk dari habitatnya.
Ekologi transenden bukanlah mimpi utopis. Ia adalah keniscayaan peradaban yang menggabungkan wahyu, akal, dan cinta terhadap seluruh keberadaan. Dan jejak pertamanya telah digariskan sejak Ghadir Khum, ketika Ali diumumkan sebagai mawla, dan sejak ia berkata:
"Aku tidak akan mengganggu seekor semut pun, demi semua kekayaan langit dan bumi, jika itu berarti harus bermaksiat kepada Allah."
Di sinilah imamah menjadi rahmat bagi seluruh alam—rahmatan lil-‘ālamīn—dan Ali bin Abi Thalib adalah wujud dari kalimat itu dalam ranah ekologis, spiritual, dan historis.
Untuk menguatkan gerakan ekolologi transenden, saya ingin menutup tulisan ini dengan firman Allah swt
قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ وَنَجْعَلُ لَكُمَا سُلْطَانًا فَلَا يَصِلُونَ إِلَيْكُمَا ۚ بِآيَاتِنَا أَنتُمَا وَمَنِ اتَّبَعَكُمَا الْغَالِبُونَ
"Dia (Allah) berfirman: 'Kami akan menguatkan lenganmu dengan saudaramu dan Kami berikan kepada kamu berdua kekuasaan (sulṭān), maka mereka tidak akan dapat mencapaimu berdua. Dengan tanda-tanda (mukjizat) Kami, kamu berdua dan orang-orang yang mengikuti kamu, akan menang.'"(QS. Al-Qashash [28]: 35)
Semoga gerakan ekologi transenden dimasukkan oleh yang Maha Kuasa ke dalam gerakan yang mengikuti Nabi Musa dan Harun, tentunya adalah yang mengikuti Muhammad saw dan Ali.
gambar : https://www.askthesheikh.com/, https://id.wikipedia.org/, https://sahibulsaif.wordpress.com/
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar