Dr. Muhammad Ashar
Di bulan Oktober 1978, filsuf Dekonstruksionis, Michael Foucault bertemu Imam Khomeini di Neauphle-le-Château. Tak ada catatan pembicaraan mereka. Foucault menaruh kekaguman pada sosok yang ia sebut "the old Saint" itu. Pandangannya yang positif tentang revolusi Islam Iran menuai kritikan keras dari koleganya di Barat.
Ia menyebut sang imam, sosok atau tokoh liminal. Sebuah istilah yang melambangkan bagaimana Foucoult menggambarkan Imam Khomeini sebagai tokoh yang berada digaris batas norma sosial dan pengetahuan. Tokoh yang tidak tersandera norma sosial dan pengetahuan yang dinormalkan oleh penguasa. Tokoh yang pada akhirnya menjadi "musuh" penguasa dan pengubah tatanan.
Pertemuan dengan sang Imam membawa Foucoult menyempurnakan gagasannya tentang Kematian. Baginya, Kematian bukanlah fenomena biologis semata. Kematian adalah konstruksi sosial!! Kematian yang kita yakini adalah semacam kesadaran yang dibangun dan direkayasa oleh kuasa norma sosial politik.
Alih-alih melihat kematian sebagai akhir kehidupan. Baginya, Kematian justru awal bagi perubahan tatanan. Kematian agung adalah kematian yang menciptakan sejarah. Bangsa yang mencintai kematian, seperti Iran, tidak pernah melihat kematian sebagai fenomena alami. Kematian adalah alat perlawanan!!
Kematian adalah sesuatu yang dibanggakan. Kematian selalu bermakna merealisasikan nilai penghias eksistensi. Kematian adalah permodelan. Sebuah proses.... modelling. Foucoult menyebut antara Kematian dan kuasa wacana tak pernah terpisahkan.
Kuasa baginya bukan lagi sebagai alat penindas. Kuasa, khususnya kuasa wacana, mempu menggoyangkan struktur kuasa kezaliman. Revolusi Islam Iran yang disadarinya dan perjumpaannya dengan Iman Khomeini membuatnya yakin kuasa tak selalu buruk. Kuasa di tangan "Old Saint" menjatuhkan kediktatoran Monarki Reza Pahlevi yang dibencinya.
Dibalik revolusi sang Imam ada wacana yang mengaliri setiap tetes darah pengikutnya. Satu hal yang membuat Foucoult terpesona pada sang Imam adalah kekuatannya untuk menggerakkan rakyatnya menjemput kematian. Kecintaan pada kematian membudaya dalam diri mereka.
Ada kebanggaan bagi keluarga yang mengorbankan anggota keluarganya demi revolusi dan Islam. Sebuah model gaya hidup yang "aneh" bagi mereka yang membanggakan hidup. Hidup dalam ketertindasan bagi mereka adalah aib. Keyakinan seperti ini, secara genealogis, berakar pada satu diskursus.
Sederhannya, genealogi menggambarkan bagaimana manusia dibentuk dan digerakkan oleh wacana. Genealogi menelisik jauh kedalam kesadaran dan pengetahuan manusia. Wacana tidak hanya membentuk individu. Wacana juga membentuk sistem sosial kita. Wacana adalah ruh bermasyarakat. Wacana adalah ideologi gerakan.
Wacana dibalik kecintaan pada kematian berporos pada satu kata sekaligus juga satu nama, Al Husain!!. Tragedi Karbala adalah wacana transformatif yang menjadi energi penggerak revolusi. Wacana Tragedi Karbala dimatangkan sejarah. Dipelihara dan diabadikan oleh mereka yang meneriakkan namanya : "Labbayka Yaa Husain!!
Tragedi Karbala adalah api pembakar mereka yang mencintai kematian. Seperti Al Husain, mereka pantang hidup hina. Mereka memilih kematian, sebagai simbol perlawanan pada kezaliman. Lihatlah para pejuang revolusi Islam Iran itu. Janganlah menakut-nakuti mereka dengan kematian. Mereka merindu kematian seperti Al Husain.
Tragedi Karbala adalah wacana yang dimaksud Foucault itu. Tragedi Karbala digerakkan dan dimatangkan oleh sejarah penindasan. Para pengikut Ahlul Bayt adalah mereka yang dimatangkan oleh sejarah penindasan. Bentangan penindasan berabad-abad mematangkan wacana. Menguatkan pengaruh kuasa wacana pada struktur masyarakat Iran khususnya dan pengikut Ahlul Bayt pada umumnya.
Setiap tahunnya, khususnya di bulan Muharram, pencinta al Husain meneriakkan "Labbayka Yaa Husain!!". Teriakan terlama dalam sejarah. Pekikan yang semakin mengokohkan kuasa wacana. Kuasa wacana Karbala adalah kuasa yang mengayomi mereka yang terpinggirkan, terzalimi dan teraniaya.
Wacana Karbala mencerminkan watak azasi manusia yang mendambakan keadilan. Watak inilah yang membuat wacana Karbala menginspirasi mereka yang tegar berhadapan dengan kezaliman. Tak peduli Mazhab dan agamanya. Lihatlah Gandhi yang mencintai Husain. Lihatlah Bung Tomo, pemuda gagah berani, pembebas Surabaya. Lihatlah Bung Karno, sosok terdepan anti-kolonial. Bahkan lihatlah para guru honorer di pelosok desa.. yang bermandi peluh untuk mencerdaskan anak bangsa.
Inilah kuasa wacana yang didambakan oleh semua manusia dan dibenci oleh mereka yang zalim. Mungkin Foucoult tidak menyadari keluasan dan kemurnian Wacana Karbala yang menginspirasi dunia. Lihatlah kata para tokoh dunia tentang kesyahidan Al Husain. Tokoh orientalis inggris Edward Browne mengatakan : "Is the a heart that may not brim with grief and sorrow when it hear about the Tragedy Karbala, even a non muslim also cannot deny the cleaners and purity of this Islamic war". Presiden India pertama, Rajendra Prasad mengatakan : "The sacrifice of Imam Hussein is not limited to one country, or nation, but it is the hereditary state of the brotherhood of all mankind".
Imam Husain yang menjadi pusat wacana kesyahidan bukan hanya milik Syiah tapi milik seluruh dunia. Milik pendamba keadilan. Milik mereka yang rela mengorbankan dirinya demi meruntuhkan kepongahan ketidakadilan.
Foucoult memberikan kita petunjuk bagaimana budaya kesyahidan itu dibertuk, dipelihara dan dimatangkan. Kekagumannya pada Imam Khomeini membawanya menapaki jejak wacana yang menginspirasi the old Saint itu, Karbala Al Husain.
Labbayka Yaa Husain....
(Renungan Subuh 1-2 Muharram)
gambar : https://parstoday.ir/id/radio
0 Komentar