Dua hari setelah haul Mbah Buyut Dirah—seorang wali keturunan Kanjeng Sunan Giri Ainul Yaqin—langit masih menyisakan sisa-sisa ziarah di udara. Aroma bunga dan pencemaran amoniak dari petro kimia gresik di sekitar makam masih melekat dalam ingatan. Haul itu bukan hanya mengenang yang telah pergi, tapi juga membangkitkan yang nyaris dilupakan: akar-akar spiritualitas yang mulai longgar dari tanahnya.
Pada hari kedua itulah saya bertemu kembali dengan Zabidi, teman lama yang sejak kecil sudah menapaki jalan pesantren. Selepas SD, ia nyantri di Tebu Ireng, dan kini wajahnya memancarkan ketenangan yang tak dibuat-buat, seperti air sumur tua yang bening dan dalam.
Kami duduk di beranda rumah salah satu teman SMPN 2 Gresik, membiarkan percakapan mengalir seperti sungai kecil yang tak dibendung. Kami bicara tentang banyak hal—dari revitalisasi makam para keturunan Sunan Giri yang terlantar, hingga soal tawasul yang kini terdengar asing di telinga generasi muda. Tapi ada satu hal yang paling lama kami bicarakan: pesantren.
"Saya tidak akan membangun pesantren," kata Zabidi, suaranya tenang, tapi penuh muatan makna. "Banyak pesantren hari ini justru kesepian, kekurangan santri. Bahkan ada yang diwariskan dan jadi sumber konflik keluarga."
Baginya, pesantren bukan proyek. Bukan pula impian kosong untuk meninggalkan nama. Pesantren, katanya, harus tumbuh seperti dulu: dari kebutuhan masyarakat terhadap seorang kyai. "Dulu para kyai sepuh tak pernah niat membangun pesantren. Mereka hanya membuka rumahnya bagi orang-orang yang ingin belajar. Saat jumlah santri bertambah, rumah itu diperluas. Lalu jadi langgar, jadi pondok. Tapi semua itu tumbuh karena masyarakat yang butuh, bukan karena kyai yang ingin."
Aku terdiam, membayangkan rumah-rumah tua yang disulap menjadi tempat mengaji. Bukan karena desain arsitek, tapi karena doa dan keberkahan. Bukan dari proposal, tapi dari kerinduan umat yang ingin dekat dengan ilmu dan pemilik ilmu.
Zabidi melanjutkan, "Kalau pondok dibangun hanya karena obsesi, nanti pondok itu akan dibebani warisan, bukan dilimpahi keberkahan. Dan saat itu, yang tersisa hanya bangunan, bukan ruhnya."
Kata-katanya seperti mengetuk pintu yang selama ini tertutup rapat dalam pikiran saya. Saya menyadari bahwa membangun pesantren bukan soal membangun bangunan, tapi membangun kebutuhan yang tumbuh dari bawah, dari kehausan umat.
Pertemuan dengan Zabidi hari itu lebih dari nostalgia. Itu adalah pelajaran sunyi tentang bagaimana memulai sesuatu dengan benar: dari kerendahan hati, dari kesabaran, dan dari cinta masyarakat. Karena ketika sesuatu lahir dari kebutuhan umat, grassroot, maka ia akan hidup dalam denyut mereka. Tapi jika lahir dari kehendak pribadi, sebesar apapun bentuknya, ia akan rapuh.
Dan mungkin, begitu juga kita seharusnya membangun segalanya: tidak dengan ambisi, tapi dengan pengabdian. Tidak dengan nama, tapi dengan kebutuhan yang datang dari bumi, dari suara hati yang tak bersuara tapi dirindukan
gambar : https://pcnukendal.com/
0 Komentar