Subscribe Us

ksk logo.jpg

NEGERI PARA BEDEBAH & PUISI LAINNYA


NEGERI PARA BEDEBAH

Di atas tanah subur yang menangis
Berkibarlah bendera dengan warna darah
Burung-burung enggan hinggap di pagi
Karena fajar di sini lahir dari luka. 

Hukum dijual di pasar gelap
Dan kebenaran dikubur hidup-hidup
Oleh tangan-tangan berpakaian suci
Yang lidahnya menjilat penguasa. 

Anak-anak tumbuh tanpa mimpi
Karena malam membawa jeritan
Dan siang menabur janji palsu
Di ladang yang penuh ranjau kata. 

Negeri ini kaya emas dan racun
Airnya suci tapi tak menghapus dosa
Pemimpinnya tersenyum dari mimbar
Dengan dada penuh kutukan rakyat. 

Mereka memuja berhala modern:
Uang, kuasa, dan kursi yang gemuk
Kitab suci pun disobek-sobek
Demi proyek dan kuota asing. 

Di langitnya tertulis sejarah busuk
Di jiwanya mengendap darah pengkhianat
Inilah negeri yang dulu dijanjikan surga
Kini tenggelam di dasar sumpah rakyatnya sendiri. 

Di kursi kekuasaan duduk serigala berseragam,
Menyeringai di balik pidato pembangunan.
Mereka bicara rakyat
Tapi menulis kontrak untuk tuan asing di balik layar. 

Tanah dijual per meter kesetiaan
Gunung ditukar izin tambang
Hutan dibakar demi janji investasi
Dan sungai mengalirkan air mata petani. 

Mereka yang bersuara disebut makar
Mereka yang diam diberi sembako
Lalu dilantik jadi penjilat resmi
Yang tugasnya menutup aib dengan kata “nasionalisme.” 

Parlemen bukan rumah rakyat
Tapi pasar suara
Tempat suara nurani dilelang
Dan keputusan dibeli dengan kurs dolar. 

Media tak lagi melapor
Tapi menari dengan irama penguasa
Kebenaran dibingkai sesuai pesanan
Dan fitnah dijual dengan iklan. 

Inilah negeri yang katanya merdeka
Tapi berdaulat hanya di upacara
Negeri yang katanya demokratis
Tapi kotak suara ditentukan sebelum tangan memilih. 

Lalu mereka berkata, “jangan kritik terlalu keras
Nanti stabilitas terganggu.”
Padahal yang goyah bukan negara,
Tapi kebohongan yang mereka bangun bertahun-tahun.


Makassar, 03.05.2025


Oligarki

(Puisi tentang Para Tuan yang Tak Pernah Memilih Tapi Selalu Menang) 

Mereka tidak perlu mencoblos
Cukup menelepon saja
Nama-nama calon sudah di saku mereka
Bersama peta tambang dan izin reklamasi. 

Mereka tak berkampanye
Tak peduli baliho atau debat kusir
Karena semua kursi sudah diukur
Untuk pantat-pantat kesayangan. 

Rakyat mengantri di TPS
Dengan harap dan keringat
Sementara mereka menyeruput anggur
Di ruang tertutup hotel ibukota
Menandatangani nasib petani dengan pena emas. 

Inilah republik yang dikendalikan geng elite
Yang punya partai, punya media
Punya aparat, punya undang-undang
Mereka tak butuh suara mayoritas
Cukup suara pasar dan saham. 

Keadilan hanyalah jargon
Demokrasi tinggal panggung sandiwara
Yang berteriak "Reformasi!" kini menjadi pembisik
Di telinga oligark dengan lencana pengkhianat. 

Kami menyebut mereka penguasa
Tapi sesungguhnya mereka penjarah
Yang menyamar jadi penyelamat
Dengan jas mahal dan pidato penuh empati palsu. 

Tuan-tuan oligarki
Kalian bukan dewa
Kalian kutukan yang dipelihara
Oleh diamnya rakyat
Dan ingatan yang pendek.



MONOLOG SEORANG RAKYAT

"Dari Bawah Kolong Negeri yang Dikhianati" 

(Aktor berdiri di tengah panggung gelap, hanya disorot cahaya redup dari satu sisi. Suaranya lirih di awal, lalu mengeras perlahan seiring kemarahan.) 

Aku rakyat…
Bukan yang ada di baliho… bukan yang kalian sebut di pidato…
Aku yang kalian lewati saat jendela mobil kalian tertutup rapat.
Aku… yang keringatnya kalian jadikan data statistik. 

Kalian bilang: “Negeri ini demokratis.”
Tapi kenapa aku tak pernah benar-benar memilih?
Setiap pilihan sudah dijahit
Dengan benang uang, dan jarum kekuasaan. 

Kalian datang tiap lima tahun
Dengan senyum palsu dan nasi bungkus
Setelah itu?
Kalian duduk di singgasana—bukan untuk melayani
Tapi untuk menandatangani perampokan legal. 

Aku lihat wajah-wajah yang sama
Di semua berita, di semua lembaga
Dari tambang, bank, pabrik, parlemen, hingga mimbar agama.
Kalian bersaudara dalam satu marga: oligarki. 

Kalian rebut tanah ibuku
Katanya untuk kemajuan
Tapi kenapa hanya gedung-gedung kalian yang naik
Sementara harga beras di pasar tak sanggup aku gapai? 

Kami yang protes disebut pengganggu stabilitas
Padahal kami hanya ingin bertanya:
Siapa yang kalian wakili selain rekening dan saham? 

Kami yang lapar diminta sabar
Kami yang marah dituduh makar
Kami yang menyuarakan nurani
Dibungkam dengan pasal-pasal yang elastis seperti lidah kalian. 

Kini ia melangkah maju, suaranya semakin dalam, tegas, dan getir. 

Tuan-tuan kekuasaan…
kalian bukan wakil kami
kalian hanya pengelola kolam milik asing
penjaga gerbang istana yang tak pernah dibuka untuk rakyat. 

Tapi dengar ini:
Jika dari bawah kami tak lagi bisa berharap
maka dari bawah pula kalian akan diguncang
Kami tidak ingin revolusi…
Tapi kalian yang sedang memanggilnya. 

(Aktor menunduk, perlahan mundur ke gelap, suara mengecil namun tajam.)
Karena jika keadilan tak bisa lahir dari kotak suara,
Ia akan lahir dari amarah yang tak lagi bisa kalian bendung.



MONOLOG PEREMPUAN DI TANAH YANG DIRAMPOK

"Kami Tak Dilahirkan untuk Tunduk" 


(Sorot lampu jatuh pada seorang perempuan sederhana. Tangan dan wajahnya kasar, tubuhnya lelah, matanya tajam. Ia berdiri di panggung tanah dengan cangkul dan keranjang plastik di sampingnya.) 

Aku perempuan
Petani di pagi hari
Buruh di pabrik saat matahari tegak
Dan ibu—setiap malam saat dunia tidur. 

Namaku tak pernah kalian kenal
Wajahku tak pernah muncul di televisi
Tapi kalian hidup dari tanganku
Dari nasi yang kupanen
Dan baju yang kususun di jalur mesin. 

Negeri ini katanya subur
Tapi aku disuruh tinggalkan ladang
Karena katanya di bawahnya ada tambang
Katanya: “Untuk kemajuan.”
Tapi yang maju cuma rekening kalian. 

Kalian bilang: “Perempuan harus dilindungi.”
Tapi di pabrik aku cuma angka
Gajiku dipotong
Suara protesku dianggap ancaman.
Kalau kubuka mulut
Atasanku bilang: “Banyak buruh lain yang antri.” 

Kalian duduk di kantor berpendingin
Menyusun kebijakan tentang buruh
Tanpa pernah tahu rasanya darah haid
Di balik celana kerja yang tak sempat diganti. 

Dan di ladang?
Kami tanam padi dengan harapan,
Tapi setiap panen, harga hancur
Karena tengkulak adalah saudara ipar kalian. 

Suamiku dulu bicara tentang keadilan
Sekarang dia tiada
Meninggal bukan karena perang
Tapi karena utang dan mesin yang tak diberi pelindung. 

Aku ingin anakku sekolah
Tapi bagaimana?
Jika biaya pendidikan lebih tinggi
Daripada harga panen kami sebulan? 

(Suaranya meninggi, menghadap pada bayangan kursi-kursi kekuasaan.) 

Tuan-tuan dan nyonya oligarki
Kami ini bukan angka di spreadsheet!
Kami punya rahim yang tak hanya melahirkan anak,
Tapi juga kemarahan
Dan kemarahan ini
Tidak akan lama tinggal diam. 

Kalau tanah kami terus kalian ambil
Kalau suara kami terus kalian bungkam
Maka yang kalian panggil
Bukan hanya rakyat…
Tapi badai! 

(Aktor perempuan menggenggam tanah, suaranya pelan, tajam, dan mendalam.) 

Kami tak dilahirkan untuk tunduk
Kami adalah tanah itu sendiri—
Kalau terus diinjak
Ia akan pecah… dan menelan kalian semua.

"Di Antara Kapur dan Ketidakpastian"

(Untuk Semua Guru Honorer yang Terlupakan Negara) 

Aku datang paling pagi
Membuka ruang kelas yang remuk oleh waktu
Nenyapu lantai, mencuci papan tulis
Lalu berdiri di hadapan generasi
Dengan sepatu yang mulai jebol
Dan gaji yang bahkan kalah dari upah parkir. 

Aku bukan pahlawan
Karena pahlawan—katanya—dihormati
Sedang namaku tak pernah disebut
Di ruang-ruang kebijakan. 

Tiap bulan aku menghitung harap,
Bukan gaji
Kadang dibayar, kadang tidak
Kadang dijanjikan, kadang dilupakan
Tapi aku tetap mengajar
Karena tak ada yang lebih menyakitkan
Daripada melihat murid kehilangan arah
Hanya karena aku menyerah. 

Negeri ini memujiku di spanduk Hari Guru
Tapi melupakanku dalam daftar pengangkatan
Mereka bilang: “Sabar ya Bu
Nanti ada rekrutmen.”
Tapi sabar itu sudah bertahun-tahun
Dan anakku pun tumbuh tanpa tahu
Rasanya dibelikan baju baru dari hasil keringat Ibunya sendiri. 

Aku ajarkan tentang kejujuran
Sementara pejabat bermain angka
Aku ajarkan tentang cita-cita
Sementara impianku sendiri
Ditertawakan sistem yang buta. 

Tapi aku tetap datang
Dengan kapur di tangan
Dan cahaya kecil di mata murid-murid
Yang membuatku yakin:
Meski aku bukan siapa-siapa di mata negara,
Aku adalah segalanya bagi mereka
Yang menyebutku Bu Guru.

Makassar, 04.05.2025

Oleh : Tajuddin Nur

gambar : https://www.kibrispdr.org/

Posting Komentar

0 Komentar