Subscribe Us

ksk logo.jpg

Islam Harapan Bangsa: Cahaya dari Langit untuk Negeri yang Mencari Jalan

Ustadz Ridwan L

Di setiap lembar sejarah bangsa-bangsa besar, selalu ada seberkas cahaya yang menjadi suluh arah—cahaya nilai, keyakinan, dan kebenaran. Bagi bangsa Indonesia, cahaya itu tak lain adalah Islam. Ia bukan sekadar agama dalam pengertian sempit ritual, tetapi sebuah sistem nilai yang membentuk nadi moral bangsa, ruh kebangkitan, dan fondasi peradaban.

Lantas, apakah Islam hari ini masih menjadi harapan bangsa? Ataukah ia telah dikerdilkan dalam sekat-sekat masjid, dikekang dalam ruang privat, sementara bangsa berjalan tertatih tanpa petunjuk yang kokoh?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar bahan renungan. Ia adalah panggilan untuk kembali: kepada Islam sebagai jalan, sebagai cahaya, sebagai kehidupan.

---

Islam dan Bangsa: Perjumpaan yang Menjadi Takdir

Islam datang ke Nusantara bukan dengan pedang, melainkan dengan kejujuran pedagang, kelembutan ulama, dan hikmah para wali. Islam tidak menjajah budaya, tetapi menyucikannya. Ia tidak menghapus jati diri, tetapi menyempurnakannya.

Dari Aceh sampai Ternate, dari tanah Jawa sampai Sulawesi, Islam diterima karena membawa harapan: harapan akan keadilan di tengah penindasan, harapan akan persaudaraan di tengah stratifikasi, harapan akan ilmu dan kemajuan di tengah keterbelakangan.

Para pahlawan bangsa, dari Pangeran Diponegoro hingga Tuanku Imam Bonjol, dari KH. Ahmad Dahlan hingga HOS Cokroaminoto, menjadikan Islam sebagai ilham perjuangan. Bagi mereka, Islam bukan hambatan nasionalisme, tetapi jantungnya. Dalam Islam, mereka menemukan cinta tanah air sebagai bagian dari iman.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

«حُبُّ الوَطَنِ مِنَ الإِيمَانِ»

"Cinta tanah air adalah bagian dari iman." (al-ʿUqūl ḥadīṡ 61, dari Imam aṣ-Ṣādiq as)

Jika dulu Islam melahirkan para pembebas, tidakkah hari ini ia mampu melahirkan para pembangun?

---

Islam: Falsafah Kehidupan dan Jalan Peradaban

Islam bukan hanya ajaran ritual, tetapi sistem epistemologis, spiritualitas, dan proyek kemanusiaan. Dalam Alquran, manusia diajak berpikir, merenung, bertanya, dan kembali kepada fitrah.

{سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ}

"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri..." (QS Fuṣṣilat: 53)

Islam membebaskan manusia dari kebekuan makna. Ia mengajarkan bahwa ilmu dan ruhani bukan dua hal yang bertentangan, melainkan dua sayap yang bersama mengangkat manusia ke maqam insān kāmil (manusia paripurna).

Imam Ali as bersabda:

«العِلمُ يُرْشِدُكَ إِلَى الْمَعْرِفَةِ، وَالْمَعْرِفَةُ تُوصِلُكَ إِلَى الْحَقِّ»

"Ilmu menuntunmu pada makrifat, dan makrifat mengantarkanmu pada kebenaran."

Bangsa yang hendak bangkit tak hanya butuh infrastruktur, tapi juga struktur ruh. Ia butuh kehadiran batin yang bersih, hati yang jernih, dan akhlak yang mendalam. Karena itu, Islam bukan sekadar ideologi; ia adalah jalan jiwa.

Budaya Tabuik di Pariaman, Sumatra Barat

---

Dimensi Sufistik: Menyucikan Jiwa, Menyembuhkan Bangsa

Para sufi dahulu adalah pembawa cahaya ke pelosok-pelosok negeri. Mereka tidak datang dengan kekuasaan, tetapi dengan cinta dan keikhlasan. Mereka mengajarkan bahwa kebangkitan bangsa berawal dari kebangkitan hati.

Imam Ja‘far aṣ-Ṣādiq as berkata:

«من أصلحَ سريرتهُ أصلحَ اللهُ علانيتَه»

"Barang siapa yang memperbaiki hatinya, maka Allah akan memperbaiki lahiriahnya." (al-Kāfī, 2/16)

Sufisme bukan pelarian dari realitas, tetapi pengukuhan makna dalam realitas. Seorang yang telah menaklukkan hawa nafsunya, akan mampu menaklukkan korupsi. Seorang yang telah terbakar cinta Ilahi, tidak akan tega mengkhianati rakyat.

Moralitas bukan sekadar etika publik, tapi kesaksian batin. Bangsa tidak akan besar oleh hukum belaka, tetapi oleh kejujuran hati warganya.

---

Islam dan Moralitas Publik: Jawaban atas Krisis Bangsa

Bangsa ini menjerit. Korupsi menjalar, ketidakadilan merajalela, dan masyarakat kehausan akan kejujuran. Dalam situasi seperti ini, Islam hadir bukan hanya dengan larangan, tetapi dengan pembersihan jiwa.

Allah Swt berfirman:

{قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا}

"Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya." (QS al-Syams: 9–10)

Islam bukan hanya membentuk orang saleh, tetapi insan muhsin. Bukan hanya taat dalam ibadah, tetapi adil dalam muamalah. Moralitas Islam bukan basa-basi sosial, tetapi cermin ketakwaan.

---

Membumikan Islam: Tugas Intelektual, Jiwa, dan Cinta

Islam sebagai harapan bangsa adalah proyek kolaboratif: antara akal dan hati, antara ilmuwan dan arif, antara birokrat dan sufi.

Allah Swt berfirman:

{ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ}

"Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik..." (QS al-Naḥl: 125)

Islam harus menyapa: dalam kurikulum, media, hukum, ekonomi, dan seni. Ia tidak boleh eksklusif, tapi inklusif. Tidak keras, tapi mengakar. Tidak memaksa, tapi memikat. Karena Islam bukan hanya akidah, tetapi juga cinta.

---

Retorika Hati: Wahai Bangsaku, Jangan Lupakan Islam!

Wahai bangsaku—engkau besar karena Islam. Jangan lupakan akar yang menghidupkanmu.

Wahai pemimpin—jika engkau ingin kekuasaanmu berkah, jangan jauh dari petunjuk Islam.

Wahai pemuda—galilah Islam bukan hanya untuk identitas, tapi untuk makna hidup.

Rasulullah Saw bersabda:

«إنَّما بُعثتُ لأتمم مكارم الأخلاق»

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (al-Muwaṭṭa’, Imam Mālik)

---

Penutup: Menyalakan Cahaya Islam, Menegakkan Harapan Bangsa

Islam bukan hanya agama yang diyakini, tapi warisan langit yang harus dihidupkan. Ia adalah api yang menyalakan semangat, embun yang menyejukkan hati, dan cahaya yang menuntun jalan.

Jika bangsa ini ingin tegak dalam keadilan, jaya dalam ilmu, dan luhur dalam akhlak—maka Islam harus kembali ke panggung utama sejarahnya: bukan sebagai tamu, tetapi sebagai tuan rumah nilai.

Mari kita hidupkan Islam dalam hati, dalam rumah, dalam sistem, dalam bangsa—agar kita tidak berjalan dalam gelap, tapi dalam cahaya yang abadi.

Samata, 1 Mei 2025 (RHR)

gambar 1 : https://www.harakatuna.com

gambar 2 : https://id.wikipedia.org/

Posting Komentar

0 Komentar