Subscribe Us

ksk logo.jpg

Ironi Tragis Dana Ibadah Haji Kita

Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.

Di tengah gemuruh takbir yang menggema dari minaret ke minaret, dan iringan zikir yang tak putus dari lidah umat, ada ironi yang kian menyesakkan: devisa umat Islam yang dikumpulkan melalui haji dan umrah, justru diserahkan kepada Amerika Serikat dalam bentuk investasi. Amerika memakai dana itu untuk membeli senjata. Senjata itu kemudian dipasok kepada Israel. Israel memakainya untuk membantai rakyat Palestina. Maka, setiap langkah thawaf yang tidak dibarengi dengan rasional check-up, setiap lemparan jumrah yang tidak disertai kesadaran politik, setiap wirid dan dzikir yang dilafazkan tanpa perenungan struktural, justru menjadi amunisi bagi genosida terhadap rakyat Palestina. Ibadah tanpa kesadaran bukan hanya kosong, tapi berbahaya.

Padahal al-Qur’an telah memperingatkan: "Wailul lil mushallin. Alladzina hum ‘an shalatihim sahun." (Celakalah orang-orang yang shalat, yang lalai dalam salatnya). Lalai bukan karena tak mengucap, tapi karena tak sadar. Karena salat tak menggerakkan. Karena zikir tak memerdekakan. Karena haji tak memutus rantai penindasan.

"Betapa menyakitkan jika setiap “alhamdulillah” yang terucap di Masjidil Haram justru menjadi bagian dari transaksi global yang memperkuat tentara Zionis"

Betapa menyedihkan jika setiap “subhanallah” justru menjadi penyubur kapital Arab yang mengalir ke Wall Street. Betapa menyakitkan jika setiap “alhamdulillah” yang terucap di Masjidil Haram justru menjadi bagian dari transaksi global yang memperkuat tentara Zionis. Umat ini telah dijebak. Dirayu oleh kemasan spiritual yang tidak mengajarkan berpikir. Dimanjakan oleh ritual yang menjauhkan dari aktual. Dimabukkan oleh pahala, tapi tak peduli darah yang mengucur di tanah para nabi.

Sementara itu, di padang tandus Yaman, masyarakat Ansharullah justru mempraktikkan Islam yang sejati. Tanpa busana ihram, mereka memikul senjata demi membela Al-Quds. Tanpa membawa zamzam, mereka minum dari telaga keteguhan hati. Tanpa berdiri di Arafah, mereka berdiri tegak di medan jihad melawan kezaliman dunia. Mereka tidak menunggu malam lailatul qadar, karena mereka tahu: setiap malam ketika seorang anak Palestina menangis adalah malam qadar yang sebenarnya.

Apa gerangan yang membuat umat ini tak mampu meneladani mereka? 

Karena umat ini lebih percaya pada jumlah bacaan wirid daripada kedalaman pemahaman. Karena umat ini lebih sibuk menghitung tasbih daripada menghitung korban kebiadaban. Karena umat ini lebih suka mencium Hajar Aswad daripada mencium kening anak yatim yang terusir dari rumahnya di Rafah.

Ali Syariati pernah berteriak dalam sunyi sejarah: “Agama yang tak membebaskan adalah agama para penjajah. Tuhan yang tak menuntut keadilan adalah Tuhan yang diciptakan oleh para penindas.” Dan kini, kita hidup di era itu. Era di mana agama dijadikan pelarian, bukan perlawanan. Di mana surga dijual dengan harga ritual, bukan dengan keberanian.

"Apa gunanya haji jika setiap dolarnya memperkuat peluru musuh? Apa gunanya tawaf jika yang engkau putari bukan lagi Ka’bah, tapi kapitalisme global yang membungkam nurani?"

Sudah saatnya kita bangkit dari tidur panjang ini. Saatnya membongkar kemunafikan global yang didanai dari kantong umat sendiri. Saatnya menolak menjadi konsumen kebodohan yang dikemas dalam label “ibadah murni”. Karena haji yang tanpa rasional check-up, yang tak memeriksa ke mana aliran devisanya, yang tak bertanya siapa yang diuntungkan oleh ritus itu, hanya akan menjadikan umat ini seperti orang yang sedang menyembelih saudaranya sendiri—dengan pisau yang dibeli dari tokonya musuh.

Mari kita belajar dari Yaman. Dari Ansharullah. Dari Islam yang tidak dijalankan dari lidah, tetapi dari dada. Dari Islam yang tidak hanya berbicara tentang dosa individu, tapi dosa struktural. Dari Islam yang tidak membiarkan satu dirham pun jatuh ke tangan pembantai, apalagi atas nama ibadah.

Dan kepada setiap Muslim yang masih mengira bahwa cukup dengan salat dan puasa ia telah selamat, renungkanlah:

Apa gunanya dzikir jika engkau tetap diam melihat genosida? Apa gunanya haji jika setiap dolarnya memperkuat peluru musuh? Apa gunanya tawaf jika yang engkau putari bukan lagi Ka’bah, tapi kapitalisme global yang membungkam nurani?

Bangkitlah, wahai umat. Kembalikan Islam pada jalan perlawanan. Pada pembelaan. Pada keadilan. Jangan biarkan ritus-ritus suci berubah menjadi ladang pengkhianatan terhadap Palestina. Jangan biarkan setiap tasbih menjadi peluru, setiap takbir menjadi senjata, dan setiap doa menjadi pisau yang melukai tubuh umat sendiri. Karena agama yang tak berpihak adalah agama yang sudah mati. Dan umat yang tak sadar, adalah umat yang sedang bunuh diri

gambar : https://web.telegram.org/a/#-1001739558014


Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.ScPenulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992.  Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology.  Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies.  Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman.  Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker.  Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. 

Posting Komentar

0 Komentar