Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.sc
Di tengah kemajuan teknologi dan modernitas kehidupan, manusia sering lupa bahwa setiap kemudahan yang dinikmatinya kerap meninggalkan jejak yang menyakitkan bagi lingkungan. Teknologi tidak pernah hadir tanpa limbah, dan salah satu jejak paling membekas dari era industri modern adalah limbah plastik. Kini, kehidupan kita begitu lekat dengan plastik, dari bangun tidur hingga kembali ke ranjang. Tanpa sadar, setiap individu turut menjadi produsen sampah plastik, dan ironisnya, hanya sedikit yang merasa bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkannya.
Tidak seperti bahan pencemar lain yang mungkin hanya dihasilkan oleh industri besar atau aktivitas terbatas, pencemar plastik, terutama dalam bentuk mikroplastik, diproduksi oleh hampir semua orang. Setiap sedotan sekali pakai, setiap bungkus makanan ringan, setiap kemasan deterjen, semua akan berakhir sebagai sampah plastik yang pada waktunya akan terurai menjadi mikroplastik. Plastik yang kita gunakan hari ini akan tetap ada ratusan tahun ke depan, menyusup ke tanah, air, udara, dan akhirnya tubuh kita sendiri.
Ketika makroplastik dibuang ke lingkungan, ia tidak serta merta hilang. Proses fotodegradasi dan gesekan mekanis menyebabkan partikel besar itu terpecah menjadi serpihan-serpihan mikro yang tak kasat mata. Mikroplastik ini kemudian menyebar melalui saluran air, terbawa angin, masuk ke rantai makanan. Dari sungai, ia masuk ke laut. Dari laut, ia masuk ke perut ikan, kerang, dan akhirnya kembali ke meja makan kita.
Berbagai studi ilmiah telah menunjukkan bahwa mikroplastik kini ditemukan hampir di seluruh sudut bumi, termasuk dalam tubuh manusia. Penelitian oleh Schwabl et al. (2019) mendeteksi keberadaan mikroplastik dalam feses manusia dari berbagai negara, menunjukkan bahwa partikel plastik telah berhasil menembus sistem pencernaan kita. Penelitian lain oleh Leslie et al. (2022) menemukan adanya partikel plastik di dalam darah manusia, sebuah penemuan mengejutkan yang mengindikasikan bahwa mikroplastik tidak hanya berhenti di usus, tapi juga bisa bersirkulasi dalam tubuh manusia.
Dalam dunia kedokteran, mikroplastik dikaitkan dengan berbagai dampak kesehatan serius. Penelitian menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap mikroplastik dapat menyebabkan peradangan kronis, gangguan hormonal (endocrine disruption), penurunan kesuburan (infertilitas), hingga kanker. Efek ini tidak hanya dialami manusia, tetapi juga telah diamati pada hewan darat seperti tikus laboratorium. Sebuah studi oleh Li et al. (2020) menemukan bahwa paparan mikroplastik pada tikus menyebabkan kerusakan jaringan usus dan gangguan sistem kekebalan tubuh. Sementara itu, pada hewan perairan, seperti ikan Danio rerio (zebrafish), mikroplastik menyebabkan kerusakan hati, stres oksidatif, hingga perubahan perilaku (Lu et al., 2016).
Dengan sifatnya yang persisten dan sulit terurai, mikroplastik menjadi dosa lingkungan yang terus menumpuk. Masalahnya, dosa ini tidak disadari. Tidak terlihat. Tidak diakui. Namun dampaknya nyata. Dunia sains telah memberi cukup banyak peringatan, namun tanggung jawab masih minim. Mikroplastik menjadi bentuk nyata dari "dosa kecil" yang dianggap sepele, tapi bila dibiarkan akan menjadi gunung kesalahan kolektif umat manusia.
Ironisnya, kita adalah satu-satunya spesies yang menciptakan pencemar tak terurai ini, dan kita pula yang paling terdampak. Laut yang selama ini dianggap sebagai sistem pembersih alami kini telah kelebihan beban. Kajian oleh Jambeck et al. (2015) memperkirakan bahwa setiap tahun lebih dari 8 juta ton plastik masuk ke lautan. Sebagian besar di antaranya akan hancur menjadi mikro dan nanoplastik yang tak kasat mata.
Di ekosistem laut, mikroplastik tak hanya menyebabkan gangguan fisik pada biota perairan, tapi juga menjadi vektor (pembawa) senyawa beracun seperti PCB, PAH, dan logam berat. Ketika termakan oleh plankton, partikel ini mulai masuk ke jaringan tubuh hewan laut dan naik melalui rantai makanan. Ikan yang dikonsumsi manusia, terutama spesies pelagik seperti tuna dan tongkol, telah ditemukan mengandung mikroplastik di saluran pencernaannya (Rochman et al., 2015).
Lebih parah lagi, efek mikroplastik tidak hanya terbatas pada pencemaran fisik. Mikroplastik juga diketahui mengganggu mikrobiota usus ikan dan manusia. Keseimbangan mikrobiota ini sangat penting bagi sistem kekebalan tubuh dan kesehatan metabolik. Gangguan terhadapnya bisa berdampak pada seluruh sistem fisiologis. Sebuah studi oleh Jin et al. (2019) menunjukkan bahwa tikus yang diberi paparan mikroplastik mengalami disbiosis mikrobiota usus, yang berujung pada inflamasi sistemik.
Kesadaran ekologis tidak cukup hanya dengan memilah sampah. Kita harus merekonstruksi gaya hidup. Edukasi terhadap bahaya mikroplastik harus ditanamkan sejak usia dini. Pemerintah harus mulai meninjau ulang izin produksi plastik sekali pakai. Industri harus bertanggung jawab melalui mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR). Dan yang terpenting, individu harus berani berkata: "Cukup. Saya tidak ingin lagi menambah dosa plastik."
Bank sampah plastik, gerakan daur ulang komunitas, inovasi bioplastik, serta riset tentang enzim pemecah plastik harus terus didukung. Namun semua itu tidak akan berarti jika mentalitas konsumtif kita tidak berubah. Manusia modern telah menciptakan peradaban plastik, dan kini peradaban itu mulai menggigit balik. Kita tidak hanya sedang menghadapi krisis lingkungan, tapi juga krisis moral.
Plastik tidak salah. Yang salah adalah cara kita memperlakukannya. Ketika teknologi tidak dibarengi dengan etika, maka ia berubah menjadi mesin perusak. Dan mikroplastik adalah salah satu bukti betapa abainya kita terhadap konsekuensi jangka panjang.
Dosa yang tak kasat mata ini bersifat permanen, sebagaimana plastik itu sendiri. Dan karena ia tak bisa terurai dalam tubuh bumi, ia juga tak akan mudah terurai dari sejarah umat manusia. Maka siapa pun yang mengaku peduli pada masa depan, wajib mengambil bagian dalam penyelesaian masalah ini. Bukan hanya untuk bumi, tapi untuk kita sendiri dan generasi yang akan datang.
Jika tidak, kita akan dikenang sebagai generasi yang menumpuk dosa dalam bentuk partikel kecil, yang tak pernah kita lihat, tapi terus kita hirup, telan, dan wariskan.
gambar : https://riauaktual.com/
0 Komentar