Prof.Dr. Khusnul Yaqin, M.Sc.
Tidak ada agama yang lebih revolusioner dalam memperjuangkan martabat perempuan selain Islam. Tapi tidak ada pula ajaran yang lebih sering disalahpahami, dicabut dari akarnya, lalu dijadikan alat penindasan terhadap perempuan—oleh tangan kekuasaan, oleh mulut patriarki, oleh fatwa-fatwa beku yang tidak lagi hidup bersama semangat wahyu, selain Islam.
Dalam arus pengetahuan Barat modern, perempuan sering dijadikan objek: dieksploitasi oleh pasar, diukur dari tubuh, dijual atas nama kebebasan. Di belahan lain dunia, dalam masyarakat yang mengaku religius, perempuan dijadikan beban: disingkirkan dari pusat akal, disurukkan dari arus sejarah. Islam datang melawan keduanya. Dan tak ada contoh paling terang tentang posisi perempuan dalam Islam kecuali dalam sosok Fathimah Zahra.
Bagi Syiah, Fathimah bukan sekadar putri Nabi. Ia adalah hujjah, ia adalah akar. Imam-imam suci Ahlul Bait tersambung kepada Nabi bukan lewat garis maskulin, tapi lewat seorang perempuan. Inilah revolusi diam-diam Islam terhadap sistem nasab jahiliyyah. Sistem yang menetapkan bahwa darah hanya mengalir dari laki-laki. Bahwa kemuliaan hanya dapat diwariskan oleh lelaki. Islam, dengan mulut suci para Imamnya, membalik logika itu.
Suatu ketika, Imam Ali Ridha dituduh oleh seorang Nasibi bukan sebagai keturunan Nabi. Dalihnya, ia adalah keturunan Fathimah, bukan dari jalur lelaki. Imam Ridha tidak berdebat panjang. Ia hanya bertanya: bagaimana dengan Nabi Isa? Apakah ia bukan utusan Allah hanya karena ia lahir tanpa ayah? Bukankah Isa tersambung pada Maryam? Dan bukankah Maryam, seorang perempuan, menjadi satu-satunya jalur suci yang menyambung Isa kepada langit?
Si Nasibi bungkam. Diamnya adalah kekalahan zaman. Kekalahan bagi doktrin patriarki yang mengira Tuhan hanya mencintai garis laki-laki.
Dari riwayat Imam Ja'far Shadiq kita dapati mutiara yang lain:
"الْبَنَاتُ حَسَنَاتٌ، وَالْبَنُونَ نِعْمَةٌ، فَالْحَسَنَاتُ يُثَابُ عَلَيْهَا، وَالنِّعْمَةُ يُسْأَلُ عَنْهَا."
Artinya: "Anak perempuan adalah kebaikan, dan anak laki-laki adalah nikmat. Maka atas kebaikan akan diberi pahala, dan atas nikmat akan dimintai pertanggungjawaban."
Ini bukan sekadar kalimat moral. Ini adalah kritik terhadap sistem nilai yang membebani perempuan, namun mengistimewakan laki-laki tanpa hisab. Ini adalah cara wahyu untuk mengoreksi dominasi sosial yang membudaya.
Dalam dunia yang dikuasai oleh angka, kalkulasi, dan mesin, keberadaan anak perempuan kerap dianggap beban. Sejak zaman pra-Islam, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap aib. Hari ini, mereka dibunuh secara perlahan oleh sistem yang tak memberi mereka ruang hidup yang setara. Tapi Imam Ja'far berkata: mereka adalah hasanah. Amal baik. Kebaikan itu bukan beban. Kebaikan itu tak perlu dibenarkan oleh statistik. Kebaikan itu cukup disayangi.
Riwayat ini tercatat dalam Al-Kafi, Wasail al-Shi'ah, dan Bihar al-Anwar. Bukan kitab tipis. Ini pondasi ilmu. Dan dalam tradisi Syiah, ini bukan hanya ucapan nostalgia. Ini adalah laku hidup. Mendidik anak perempuan bukanlah pekerjaan sambil lalu. Ia adalah ibadah. Ia adalah jihad.
Dan siapa yang lebih baik dalam memperjuangkan kebaikan ini kalau bukan para ibu?
Dalam masyarakat Islam awal, ibu bukan hanya madrasah pertama bagi anaknya, tetapi juga pengatur rumah tangga para pejuang. Perempuan tak disimpan di balik tembok. Mereka hadir dalam medan makna, dalam tafsir, dalam sejarah. Perempuan-perempuan Ahlul Bait bukan pelengkap kisah. Mereka adalah tokoh utama dalam revolusi spiritual Islam. Zainab bukan sekadar saudari Husain. Dia adalah Husain kedua. Dia adalah mutiara Ahlul Bait sang pewarta kebenaran Karbala. Ia lebih tangguh dari jenderal. Suaranya menggetarkan istana Yazid yang maskulin.
Islam tidak datang untuk memanjakan perempuan, tetapi untuk mengembalikannya pada posisi aslinya: sebagai manusia merdeka. Ia bukan pelayan. Ia bukan hiasan. Ia bukan pelengkap. Ia adalah amanah.
Jika seorang ayah dianugerahi anak perempuan, maka Allah sedang mengutus kebaikan ke dalam rumahnya. Dan jika ia merawatnya dengan kasih, maka rumah itu akan menjadi taman dari taman-taman surga. Tapi jika ia menyia-nyiakannya, maka nikmat itu akan ditanya pada hari penghisaban. Bukan karena anak perempuan itu lemah. Tapi karena manusia yang diberi nikmat seringkali tak tahu diri.
Fathimah adalah ibu para imam. Maryam adalah ibu Isa. Khadijah adalah ibu revolusi Islam. Mereka mulia bukan karena orang lain. Tapi karena mereka sendiri adalah tiang cahaya.
Jika umat Islam hari ini masih menganggap perempuan sebagai kelas dua, maka sesungguhnya mereka belum mengenal Islam. Mereka baru mengenal adat. Mereka belum membaca Al-Kafi. Mereka belum mendengar suara Zainab dari padang tandus Karbala.
Dan suara itu masih menggema.
Ia tak membutuhkan mikrofon. Ia cukup menusuk kalbu. Bahwa perempuan adalah kebaikan. Dan kebaikan, kata Imam Shadiq, akan dibalas dengan pahala.
Zaman boleh berubah. Tapi risalah ini abadi. Karena agama yang sejati adalah yang meletakkan perempuan sebagai jiwa, bukan benda. Sebagai sumber, bukan beban. Sebagai cahaya, bukan bayang-bayang.
Dalam masyarakat hari ini, diskriminasi terhadap perempuan tetap hidup dalam bentuk-bentuk baru. Ia menyelinap dalam birokrasi, dalam sistem warisan, dalam cara sekolah memperlakukan siswi, dalam majelis ilmu yang masih mengukur kelayakan dari gender. Kita butuh revolusi. Bukan yang berdarah, tapi yang menyentuh akar: kesadaran. Islam yang dibawa Nabi bukan agama simbol. Ia adalah sistem nilai. Dan nilai tertinggi itu ialah keadilan. Maka, ketika keadilan tak diberikan kepada perempuan, Islam itu tinggal nama.
Ali Shariati pernah mengatakan bahwa "perempuan adalah manusia pertama yang diperbudak dalam sejarah, dan akan menjadi manusia pertama yang dibebaskan dalam sejarah sejati." Kita belum sampai ke sana. Tapi Islam telah meletakkan jalannya. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an, perempuan disapa langsung. Dalam hadis-hadis Nabi, perempuan dimuliakan. Dalam riwayat para Imam, perempuan dijadikan cermin kemuliaan.
Kini, giliran kita menghapus debu dari risalah itu. Agar anak-anak perempuan hari ini tahu, bahwa mereka bukan produk salah. Mereka bukan bawahan. Mereka bukan makhluk yang harus minta maaf karena dilahirkan.
Mereka adalah hasanah. Dan hasanah itu, akan diganjar dengan pahala.
Tugas kita adalah menjaganya.
gambar : https://web.facebook.com/photo.php?fbid=10158655524794825&id
0 Komentar