Subscribe Us

ksk logo.jpg

Membangun Gerakan Sosial Belajar dari Imam Hasan Al-Mujtaba


Prof.Dr. Khusnul Yaqin,M.Sc.

Di antara derap zaman yang gemuruh, kadang suara kebenaran justru berbisik dalam peristiwa yang sederhana. Suatu hari, Imam Hasan al-Mujtaba, cucu suci Rasulullah SAW, melintasi sekelompok orang miskin yang duduk di tanah, mengais remah-remah roti kering untuk menghidupi diri. Mereka bukan hanya lapar, mereka juga berusaha mempertahankan martabat di tengah kekurangan yang menggigit. Dalam kesahajaan itu, mereka mengundang Imam Hasan untuk duduk dan makan bersama.

Imam Hasan tidak menolak. Beliau tidak hanya sekadar menerima undangan, tapi juga menanggalkan seluruh atribut sosialnya, turun ke titik di mana kemanusiaan berdiri setara. Di antara butir-butir roti yang tak utuh, beliau menyuapkan ke mulutnya seraya membaca ayat suci:

 "إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُتَكَبِّرِينَ"

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong." (QS. An-Nahl: 23)

Dalam gerakan itu, tersembunyi pelajaran agung: bahwa perubahan sosial tidak pernah lahir dari menara gading, tetapi dari perjumpaan sejati di antara manusia. Imam Hasan memulai langkah sosialnya dengan apa yang kini mungkin kita sebut "observasi partisipatif"—beliau duduk bersama mereka, hidup bersama mereka, mendengarkan tanpa menggurui. Dari situ, beliau menggali dengan mata dan hati kebutuhan yang paling mendesak: kebutuhan atas makanan, atas pakaian, atas pengakuan bahwa mereka tetap manusia yang layak dihormati.

Tidak ada intervensi gegabah. Tidak ada program yang disusun di atas kertas-kertas dingin tanpa memahami denyut luka rakyat. Setelah menyelami realitas itu, Imam Hasan bertindak: beliau mengundang mereka ke rumahnya, memberi makan, memberi pakaian, dan lebih dari itu, memberi rasa hormat yang mengangkat harga diri mereka.

Inilah langkah sosial yang mulia: menyatu, memahami, lalu memenuhi. Sebuah metode perubahan yang bukan hanya meringankan beban fisik, tapi juga membasuh luka batin manusia.

Nabi Muhammad SAW telah bersabda:

 "مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ"

"Barang siapa yang merendahkan diri karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya." (HR. Muslim)

Di tengah dunia hari ini, ketika proyek-proyek sosial kadang lebih sibuk mengabdi pada citra daripada cinta, kisah ini datang bagai cambuk. Berapa banyak program bantuan yang lahir tanpa pernah benar-benar mendengarkan suara mereka yang dibantu? Berapa banyak kebijakan kemanusiaan yang sebenarnya berjarak dari kemanusiaan itu sendiri?

Imam Hasan mengajarkan bahwa kita tidak akan pernah mengubah apa pun sebelum kita bersedia duduk di tanah yang sama, mengunyah rasa pahit yang sama, dan melihat dunia dari mata orang yang terluka. Bahwa solidaritas sejati lahir dari kedekatan, bukan sekadar belas kasihan.

Pemikir gerakan sosial Paulo Freire, dalam karya terkenalnya Pedagogy of the Oppressed, pernah berkata,

"Solidaritas sejati lahir dari perjumpaan manusia dengan manusia, dari keterlibatan dalam perjuangan mereka, bukan dari belas kasihan orang yang merasa diri lebih tinggi."

Kutipan ini seolah menggemakan spirit yang sama dengan apa yang dilakukan Imam Hasan lebih dari seribu tahun yang lalu.

Dalam dunia yang kian keras membenturkan kelas sosial, teladan Imam Hasan memanggil nurani kita: untuk mengikis kesombongan struktural, untuk mencipta ruang-ruang di mana manusia dapat bertemu tanpa topeng kekuasaan dan kemewahan. Untuk membangun gerakan sosial bukan sebagai proyek karitatif, tapi sebagai gerakan pengakuan—bahwa kemiskinan bukan sekadar statistik, melainkan ratapan jiwa-jiwa yang masih menunggu uluran tangan sejati.

Semoga kita belajar dari peristiwa sederhana itu: bahwa perubahan besar selalu dimulai dari keberanian kecil—untuk duduk bersama yang papa, untuk mendengar tanpa menghakimi, dan untuk bertindak tanpa pamrih.

gambar :https://parstoday.ir

Posting Komentar

0 Komentar