Ustadz Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc.
Surat Al Maidah ayat 35
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Artinya : Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah WASILAH yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
Di ayat 35 surat al Maidah Allah SWT mengajari kita tentang
hukum keperantaraan (wasilah). Terlalu dangkal jika kita memahami hukum
keperantaraan dalam konteks fiqh yang melahirkan terminologi halal dan haram.
Fiqh adalah turunan dari cara berpikir yang lebih dalam dan
jeluk dari logika kehidupan yang harus diikuti dan disarikan dari Al
Quran. Wasilah atau keperantaraan adalah
sesuatu yang niscaya. Akan tidak bisa
dipahami jika keniscayaan masih diperbincangkan di tingkat halal dan haram,
karena ia merupakan keniscayaan alam semesta.
Allah SWT sebagai Sesuatu yang Maha tak terjangkau oleh
apapun tidak mungkin ujug-ujug terlibat langsung dalam mekanisme empiris. Oleh karenanya, Allah SWT dan makhlukNya akan
sangat tepat jika dipahami dalam sistem gradasi wujud dalam sistem kesatuan
yang utuh (Wahdatul Wujud).
Wujud gradasional yang paling rendah dan mugkin, tidak
mungkin bisa mencapai Wajibul Wujud.
Oleh karenanya, terentang wujud gradasional dari Wajib Wujud hingga
wujud yang paling rendah agar terjalin hubungan antara Sang Wajibul Wujud dan
para mumkinul wujud. Inilah hukum
wasilah yang disebutkan dalam surat AL Maidah ayat 35.
Menariknya ayat itu didahului dengan seruan kepada mereka
yang beriman. Artinya ayat itu diserukan
kepada mereka yang sudah memahami dan menyadari konsep gradasi wujud dan
wahdatul wujud yang meniscayakan wasilah, agar mencapai derajat keberuntungan
setelah disertakan dengan jihad.
Wasilah atau keperantaraan juga meniscaya dalam tingkatan
wujud yang paling rendah di alam empiris.
Contohnya, jika kita haus tidak mungkin seketika dapat diselesaikan
dengan keinginan kita untuk tidak haus.
Haus itu akan sirna saat kita meneguk air. Air menjadi wasilah untuk menyelesaikan rasa
haus. Jika kita cerdas, contoh itu dapat
dielaborasi ke berbagai rentetan realita yang ada di alam semesta baik yang
empiris maupun non empiris.
Dengan berbekal pada ilmu tentang wasilah kita akan
menyadari betapa lemahnya diri kita (kesadaran ini penting dalam perjalanan
ruhani). Di dunia, kita tidak bisa hidup
tanpa perantara atau bantuan yang lain dari makhluk Allah dari berbagai
tingkatan wujudnya.
Kedua, ajaran wasilah ini mengajarkan kepada kita bahwa
kerusakan pada salah satu sumber wasilah akan menyulitkan hidup kita, bahkan
pada tingkatan yang katastropik dapat memunahkan kehidupan kita.
Secara ekologis dapat kita ketahui bahwa kita hidup menjadi
wasilah antara satu dengan yang lain.
Dengan kata lain antara manusia dengan sistem ekologi terdapat hubungan
yang erat antara satu dengan yang lain.
Kerusakan pada tingkat mikrobiologis saja sudah dapat
menyulitkan kehidupan manusia. Contoh yang
paling nyata adalah pandemi covid-19.
Terlepas bahwa covid-19 dipahami dengan dalil konspirasi atau tidak,
kenyataannya bahwa virus ini lepas kendali karena ada bagian dari sistem
ekologis yang kita rusak.
Kalau kita mau mendata, kita akan menemukan bahwa kerusakan
ekologis itu terjadi karena kita abai bahwa sistem ekologis adalah sesuatu yang
organik -- antara satu komponen ekologis dengan komponen yang lainnya adalah
satu kesatuan yang utuh yang sama sekali tidak terpisah antara satu dengan yang
lainnya dan saling memperantarai. Oleh
karenanya, untuk memenuhi kebutuhan kita, kita membutuhkan komponen ekologis
yang lain dalam pengertian yang luas. Dan itulah wasilah, suatu hukum alam yang
niscaya.
Jika kesadaran wasilah itu terinternalisasi dalam tubuh
manusia, maka kerusakan lingkungan akibat ulah manusia tidak akan terjadi.
Dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
mengingkari hukum keniscayaan wasilah adalah kafir (ingkar) dan menjadi sumber
kerusakan alam semesta. Kedua, hukum
wasilah itu kokoh tidak mungkin tergoyahkan oleh argumen penolakannya, sebab
jika anda ingin menolak hukum wasilah pada dasarnya anda sudah menggunakan
hukum wasilah itu, sebab anda tidak bisa mengutarakan pendapat anda tanpa
berwasilah dengan makhluk yang bernama argumen, bahasa, kuota internet, facebook
dan lain sebagainya.
Wa Allahu A'lam bis
shawab...
gambar : http://fgulen.com/id/karya-karya/membangun-peradaban-kita
0 Komentar