Menurut buku Sejarah 14 Manusia Suci (seri 13) Imam Hasan
Askari hidup pada empat masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah yaitu Mutawakkil,
Muntashar, Musta’in dan Mu'taz. Beliau seperti juga ayahnya, tidak pernah
berbaiat kepada Khalifah. Karena itulah maka Mutawakkil sering mengganggu dan
menyiksa Imam.
Mutawakkil terbunuh ditangan anaknya sendiri, Muntashar.
Barulah pada saat itu Imam dan pengikutnya mendapatkan kelonggaran. Bahkan Muntashar
menyerahkan kembali tanah fadak kepada keluarga Imam Ali. Sayangnya hal itu
tidak berlangsung lama. Menurut sejarawan, Tabib Muntashar meracunnya dengan
upah 30.000 dinar dari bangsa Turki.
Khalifah penggantinya, Mu’tamid seorang yang zalim. Mereka melihat keberadaan Imam sebagai batu sandung dan penghalang untuk mencapai keinginan kotor mereka. Mereka meracun Imam dan mereguk cawan syahadah dalam usia beliau 28 tahun.
Mempertimbangkan posisi penting dan kedudukan Imam Askari,
maka komunitas KSK mengadakan peringatan syahadah beliau. Hal tersebut
bertujuan agar bisa mengambil hikmah dari perjuangannya. Imam Hasan Askari yang walaupun berada dalam tahanan
rumah akan tetapi tetap melaksanakan kewajibannya mengajar dan membimbing umat.
Dalam acara tersebut hadir Uztad Ridwan Lagading sebagai pembawa
hikmah syahadah. Menurut beliau, Imam Hasan Askari, mendorong dan mensupport pengikutnya
untuk menjadi ilmuwan. Dikisahkan, ada seorang ulama meninggalkan tugasnya mengajar
dan pergi berkhalwat untuk menulis tentang kontradiksi dalam Al Qur'an. Imam tidak
mencegah dan melarang hal tersebut. Karena jika sebuah pemahaman ada kemungkinan
benar atau salah maka besar kemungkinan memahami bahwa tidak ada kontradiksi dalam
Al Qur’an.
Selain itu, uztad Ridwan juga menekankan pentingnya selalu mencontoh dan mempraktekkan pola hidup ma’sumin. Salah satu yang beliau kisahkan bahwa Imam mendapat perlakuan buruk dari penguasa dan musuh-musuhnya, akan tetapi Imam tidak dendam atas hal tersebut. Imam bahkan memperlakukan mereka dengan sebaik-baik perlakuan.
Penceramah juga sangat menekankan pentingnya tarbiyah dalam keluarga,
terutama pasangan hidup. Begitupun terhadap anak-anak. Akan ada fase dimana anak-anak
tidak mau mendengar. Dalam kondisi tersebut beliau menegaskan bahwa anak-anak terdidik
bukan dengan perkataan tapi dengan perbuatan. Oleh karena itu, akhlak buruk hanya
bisa dirubah dengan cinta.
Dalam kesempatan tersebut Uztad Ridwan juga menjelaskan 3
tahap tolak ukur seorang pecinta. Pertama
adalah meninggalkan hal-hal yang sia-sia. Kedua, qurbunnawafil yakni mendekatkan
diri kepada Allah dengan memperbanyak amalan-amalan Sunnah. Ketiga, adalah qurbulfaraid.
Ditingkat ini sebuah amalan sunnah akan dianggap wajib bagi dirinya, oleh seorang
penempuh yang telah sampai pada maqam tersebut.
Hal yang sangat menakutkan menurut beliau adalah alam barzakh.
Oleh karena itu kita harus mempersiapkan kematian dan belajar mati sebelum mati
jasmani. Karena di alam tersebut syafaat manusia-manusia suci belum berlaku. Oleh
karena itu, maksumin mengajarkan amalan yang bisa melampaui alam barzakh.
Lebih lanjut Uztad Ridwan menegaskan bahwa semua manusia diberi kemampuan menjadi paripurna. Hanya saja, kita yang serba kurang ini tidak bisa mengaktualkan kesempurnaan tersebut sebagaimana kemampuan para maksumin. Alam rahimiyah harus betul-betul sempurna, tidak boleh ada cacat. Oleh karena itu, kita harus menanggung konsekuensi kembali ke neraka sebagai manifestasi sifat marahnya Tuhan.
Menurut Uztad, ada perbedaan antara mahabbah dengan Mawaddah
kepada ahlul bait. Mahabbah terkadang bertepuk sebelah tangan. Lain halnya dengan
Mawaddah, pasti akan ada jawabannya. Dengan menyambungkan diri kepada ahlul bait,
hal itu bisa membersihkan kita dari sifat marahnya Tuhan.
Berkaitan dengan hal tersebut, beliau menekankan untuk senantiasa
bersyukur atas nikmat wilayah. Menurut beliau, salah satu penyebab dari sholat yang
kita lakukan terasa hambar karena kita tidak bersyukur. Sebagaimana kaidah akal,
bahwa barang siapa yang tidak mensyukuri perantara maka tidak mensyukuri pemberi.
Olehnya itu, kita harus merealisasikan kesyukuran tersebut dengan berupaya meraih
Mawaddah warahmah.
Lebih praktis lagi, Uztad menjelaskan perbedaan antara sekedar
membaca syahadat dengan bersyahadat. Menurutnya, bersyahadat artinya mengikrarkan.
Begitupun ketika mengucapkan salam kepada Rasulullah dan kepada orang-orang shaleh,
kita harus belajar dan mengupayakan latihan
agar salam tersebut bisa sampai dan terealisasi dengan seharusnya. Salah satu jalannya
adalah bertanya kepada orang-orang yang memiliki otoritas dalam hal tersebut.
Diakhir ceramahnya, beliau kembali mengingatkan agar senantiasa
menjaga thaharah, terutama dalam menghadiri majelis seperti acara syahadah ini.
Lebih utama lagi dengan mandi Sunnah. Karena menurut beliau, para ma’sumin menghadiri
atau setidak-tidaknya menyaksikan acara-acara yang diselenggarakan khusus buat mereka.
Oleh karena itu sudah selayaknya kita menjaga adab, agar kita bisa menghubungkan
diri secara maksimal dengan meraka.
0 Komentar