Subscribe Us

ksk logo.jpg

Menembus Bukit Soeharto yang Eksotik dan Mistis

Oleh : Rasmiati Yasin

Pagi pertama di Balikpapan diawali dengan rinai hujan. Cuacanya betul-betul adem. Aku melihat jam hp.  Waktu menunjukkan pukul 07.15. Kami siap-siap untuk mencari sarapan. Suhu dingin membuat perut kami keroncongan. Sambil menahan lapar kami menunggu redanya hujan.

Sekitar pukul 09.25, hujannya reda dan kami pun bergegas mencari sarapan. Biasanya sarapan kan disiapkan pihak hotel tetapi berhubung tarifnya sangat murah maka sarapannya pun mesti cari sendiri.

Kami keluar hotel dan menyusuri jalan seputar hotel. Tidak jauh dari hotel ada Depot Miki. Kata adik Ila, Depot Miki sudah berdiri sejak tahun 1980-an. Menurut adik lagi, rumah makan ini tidak pernah sepi. Menu makanan yang ditawarkan pun bermacam-macam layakmya rumah makan lain.

Tanpa membuang waktu, kami langsung memesan. Berhubung lagi di Balikpapan, maka aku putuskan untuk makan soto banjar. Aku ingin membandingkan mana yang lebih enak, soto banjar di tempat asalnya atau di Makassar.

Begitu pesananku tiba,  aku langsung mencicipi kuah sotonya. Ehm ada rasa yang kurang. Aku mencoba meraciknya dengan menambahkan beberapa bahan yang ada di meja. Setelah menambah beberapa bahan pelengkap akhirnya dapat juga rasanya. Alhamdulillah...

Setelah sarapan, kami balik ke hotel untuk prepare berangkat ke Samarinda. Begitu waktu menunjukkan pukul 13.00, kami check out dan langsung ke Pizza Hut untuk makan siang. Saya berpikir, di Makassar kami kulinernya Pizza, di Balikpapan juga sama. Jadi, dimana letak sensasinya? Akhirnya kami putuskan mencari buah khas Kalimantan.

Keluar dari Pizza Hut, kami langsung mengambil arah ke Samarinda. Dalam perjalanan, sangat banyak buah yang menyerupai durian. Bentuknya sama persis dengan durian. Perbedaannya ada di warna kulitnya saja. Kulit buah ini agak berwarna orange.

Agar tidak penasaran, aku minta kepada adik untuk singgah membeli buah itu. Kami pun singgah di salah satu penjual. Seorang ibu paruh baya langsung memayungi kami begitu turun dari mobil.

"Bu, tolong buah lainya yang segar, yah".

"Iya dek. Adek mau berapa?"

"Sebiji harga berapa?"

"Dua puluh ribu sebiji."

"Boleh... kasi ke kami tiga buah trus sawonya dua puluh ribu dan salak pondohnya dua puluh ribu. Trus buah lainnya satu buah di buka di sini, yah! Kami mau coba!"



Setelah dibuka aku perhatikan isi buahnya sangat mirip dengan durian. Bukan hanya kulitnya yang orange. Bahkan isi buahnya pun orange dan rasanya pun seperti rasa durian.  Salah seorang adikku menamakannya durian bencong. Spontan kami menanggapinya dengan tertawa.

Kami melanjutkan perjalanan setelah mencicipi buah lainnya. Sensasi rasanya benar-benar lain. Kata adik, daerah Kalimantan memang kaya dengan berbagai jenis buah. Jadi jika kalian ingin mencicipi buah khas Kalimantan, maka berwisata buahlah ke Kalimantan.

Kurang lebih sejam kami tiba di Tahu Sumedang. Kami singgah sejenak untuk membeli tahu sumedang sekaligus membuang cairan limbah dari tubuh kami. Kenikmatan yang tidak ada duanya manakala selesai membuang air limbah yang tidak dibutuhkan. Setelah semua hajat kami terpenuhi, kami pun segera beranjak dari tempat itu.

Beberapa meter keluar dari Tahu Sumedang kami memasuki kawasan Bukit Soeharto. Kawasan ini terletak di antara Kota Balikpapan dan Samarinda dan merupakan kawasan konservasi di Indonesia. Dan termasuk satu dari 28 Taman Hutan Raya yang ada di Indonesia.

Menurut catatan di Mbah Google, Kawasan Bukit Soeharto seluas 27.000 ha dan ditetapkan menjadi Hutan Lindung pada 1982. Dua puluh tahun kemudian kawasan ini diubah menjadi Taman Hutan Raya. Selain statusnya diubah, luasnya pun diubah menjadi 61.850 ha pada 2004.

Menurut masyarakat sekitar, kawasan Bukit Soeharto dulunya adalah daerah tambang batu bara yang sangat terkenal. Selain memberi manfaat lebih kepada masyarakat ternyata tambang itu memberi dampak negatif jika tidak ditangani secepatnya pada saat itu.

Galian tambang yang menganga di mana-mana serta potensi kebakaran yang selalu mengintai masyarakat. Namun kondisi itu berangsur berubah setelah Presiden Soeharto menginstruksikan untuk melakukan reboisasi pada 1990.

Aura mistis menyelimuti perjalanan kami bersama datangnya kabut. Rintik hujan masih saja mengawal kami. Aku tiba-tiba membayangkan adegan film Anaconda yang syutingnya berlokasi di daerah Kalimantan. Aku berpikir tentang apa yang harus kami lakukan jika tiba-tiba ada Anaconda. Iiihhh...rasanya ngeri juga membayangkannya!

Aku mengemudi sambil memperhatikan sekeliling. Dalam hati aku bergumam, "Hutan ini begitu luas. Tidak terbayangkan jika seorang anak tersesat di sini." Bagaimana tidak, hutan ini selain dihuni ular, monyet dan anjing liar juga memiliki cerita mistik yang cukup membuat bulu kuduk kita merinding.

Berbagai sumber yang aku baca menuliskan bahwa bukit ini telah ada dan dipergunakan sejak penjajahan Jepang. Lebih sadisnya lagi bukit ini menjadi tempat penyiksaan dan penguburan Romusha. Romusha pada waktu itu dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang.

Menurut cerita, pernah ada seorang pekerja jalan yang menyaksikan cara mereka disiksa. Katanya, suatu hari dia kerja lembur dan teman-temannya sudah pada pulang. Sementara dia masih tinggal menyelesaikan sisa pekerjaannya. Dia saat itu sedang kerja ketika melihat rombongan orang-orang lewat memanggul peti dikawal dalam todongan senjata tentara.

Pekerja jalan itu sempat berpikir bahwa kemungkinan orang-orang tersebut adalah pekerja paksa di wilayah itu. Kemudian si bapak ini mengikuti mereka diam-diam. Sesampai di tengah hutan, orang-orang tadi diminta menggali lobang.

Setelah lobangnya selesai, orang-orang tersebut membuang peti yang dipanggul tadi ke lobang. Namun yang paling mengejutkan si bapak ketika orang yang ditodong senjata tadi semua didorong masuk ke lobang selanjutnya ditembaki dan dilempari granat.

Seketika saja bapak itu pingsan dan diketemukan oleh temannya keesokan harinya. Karena kondisinya yang lemah si bapak tadi dimasukkan ke rumah sakit. Namun ketika bapak itu sadar, dia keluar rumah sakit dan langsung pergi ke tempat kemarin untuk memastikan apa yang dilihatnya. Dan ternyata, di tempat tersebut tidak ada bekas-bekas kejadian yang dilihatnya kemarin.

Begitu asyiknya aku mencerna cerita tentang Bukit Soeharto. Sehingga aku tidak sadar jika kami sudah di gerbang Kota Samarinda. Kota Samarinda adalah kota eksotik yang dilalui Sungai Mahakam. Sungai terbesar di Kaltim ini adalah ikon Kota Samarinda. Kegiatan di sungai ini dipenuhi dengan kegiatan memburu dolar dari kapal-kapal tongkang.

Diam-diam dalam hati aku bersyukur bahwa aku dapat menginjakkan kaki di kota ini, kota yang mengingatkanku akan ayahanda tercinta. Kota yang dipenuhi jejak papa. Teringat ketika beliau sering ke kota ini, aku sempat bertanya, "Kenapa Papa suka ke Samarinda?"

Papa menjawab, "Di Samarinda Kamu punya banyak keluarga. Yang mungkin Kamu tidak akan pernah bisa mengenalnya. Kecuali Kamu menjelajahinya. Bukan hanya di Samarinda, keluargamu tersebar dari Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Bontang, Sangata hingga ke Berau."

Dan benar saja, begitu tiba di Kaltim, kami bertemu beberapa di antara mereka. Semoga tempat ini dapat mengobati kerinduanku pada ayahanda tercinta.

Samarinda, 17 Februari 2020

Ket. Foto 1 dari wikipedia

Posting Komentar

0 Komentar