Prof.Dr.Khusnul Yaqin,M.Sc.
Ada ungkapan klasik dari Amirul Mukminin, Imam Ali bin Abi Thalib, yang patut direnungkan dalam-dalam: “Ilmu hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki wawasan dan kesabaran.” Bagi generasi kita, ucapan ini bukan sekadar petuah spiritual, melainkan juga peta jalan bagaimana bangsa membangun peradaban melalui ilmu dan teknologi. Wawasan dan kesabaran adalah dua fondasi mutlak. Tanpa keduanya, ilmu hanya akan menjadi informasi kering yang tidak pernah membentuk kebijaksanaan.
Pernyataan Imam Ali itu dihidupkan kembali oleh Imam Khamenei dalam refleksi sejarah tentang mengapa para sahabat Imam Hasan dan Imam Ali mudah terpengaruh dan gagal menjaga kesetiaan. Kata beliau, kelemahan itu bukan karena mereka jahat, melainkan karena mereka kehilangan kemampuan menganalisa. Mereka tidak mampu membaca realitas, sehingga gampang dipengaruhi oleh retorika palsu. Ketika wawasan hilang, maka kesabaran pun goyah.
Jika ditarik ke realitas hari ini, refleksi itu sangat relevan. Kita hidup di era ketika informasi berlimpah tetapi wawasan menipis, ketika akses ke ilmu luas tetapi kesabaran dalam mendalaminya kian berkurang. Padahal, tanpa keduanya, bangsa ini akan mudah tertipu, rapuh menghadapi perubahan, dan gagal melahirkan generasi ilmuwan sejati.
Wawasan adalah keluasan pandangan, kemampuan menganalisa, serta keterampilan membaca realitas. Pendidikan yang baik harus membentuk analytical mind, bukan sekadar storage mind. Anak didik tidak boleh hanya menjadi gudang hapalan, tetapi harus dilatih menjadi penggali makna.
Sayangnya, dalam banyak ruang kelas di Indonesia, siswa lebih sering diajarkan menghapal ketimbang berpikir. Ada saja dosen dalam mengajar hanya membaca teks di alat presentasinya. Pertanyaan kritis kerap dianggap mengganggu, bahkan kadang “kurang ajar”. Akibatnya, kebiasaan untuk menganalisa melemah.
Di era digital, masalah ini menjadi lebih kompleks. Banjir informasi di media sosial membuat generasi muda seolah tahu banyak hal, tetapi sesungguhnya dangkal. Mereka terbiasa menelan informasi tanpa memilah, membagikan berita tanpa memverifikasi, dan beropini tanpa refleksi. Inilah ciri masyarakat yang kehilangan daya analisa: mudah percaya, gampang marah, cepat bereaksi, tetapi lambat memahami.
Padahal, kemampuan analisa adalah kunci. Bangsa yang ingin maju harus melatih warganya untuk bertanya, menimbang, dan memverifikasi. Sebagaimana kata Imam Khamenei, kehilangan analisa berarti kehilangan masa depan. Karena itu, pendidikan Indonesia mesti lebih berani memberi ruang bagi kebebasan berpikir.
Wawasan tidak akan tumbuh tanpa kebebasan berpikir. Peradaban Islam klasik pernah mencapai masa emas justru karena para ulama dan ilmuwannya terbiasa berpikir terbuka. Perdebatan filsafat di Baghdad, riset astronomi di Andalusia, hingga eksperimen kedokteran di Persia—semuanya tumbuh dari keberanian bertanya, bukan dari sikap jumud.
Dalam konteks Indonesia, kita seharusnya bisa belajar dari tradisi serupa. Nusantara memiliki sejarah intelektual yang kaya: tradisi macapat di Jawa, lontarak di Bugis-Makassar, atau manuskrip ulama Minangkabau yang penuh dengan diskusi kritis. Sayangnya, dalam sistem pendidikan modern kita, tradisi itu kerap tersingkir oleh pendekatan birokratis yang menekankan kurikulum baku dan standar ujian.
Kita jarang membiasakan siswa untuk mengajukan pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”, lebih sering sekadar menjawab “apa” dan “siapa”. Padahal, wawasan hanya lahir ketika pikiran dibiarkan menjelajah, bahkan melawan arus jika perlu.
Jika kita ingin melahirkan masyarakat ilmiah, maka kebebasan berpikir harus dilembagakan, bukan hanya menjadi slogan. Dosen tidak boleh menutup ruang kritik mahasiswa, guru tidak boleh menakuti siswa yang mempertanyakan teori, dan pejabat pendidikan tidak boleh membungkam gagasan segar dengan alasan “tidak sesuai aturan”.
Namun, wawasan saja tidak cukup. Pilar kedua adalah kesabaran. Ilmu sejati tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari ketekunan.
Inilah yang kerap terabaikan di Indonesia. Kita sering terjebak pada logika instan. Mahasiswa dikejar-kejar agar cepat lulus, peneliti tergesa-gesa menulis demi angka sitasi, bahkan dosen terpaksa mengejar jumlah publikasi demi kenaikan pangkat. Akibatnya, ilmu dikorbankan demi administrasi.
Padahal, sejarah ilmuwan besar mengajarkan hal sebaliknya. Isaac Newton membutuhkan puluhan tahun menekuni matematika sebelum menemukan hukum gravitasi. Ibn Sina menulis berbagai karyanya setelah bertahun-tahun mengamati, membaca, dan bereksperimen.
Kesabaran dalam ilmu berarti kesediaan untuk gagal berkali-kali, untuk berjalan di jalan sunyi, untuk tetap meneliti meski kondisi tidak memungkinkan dan publik tak peduli. Tanpa kesabaran, ilmu hanya menjadi komoditas, bukan cahaya yang menerangi zaman.
Jika kita tarik ke konteks Indonesia, kedua pilar ini—wawasan dan kesabaran—masih menjadi PR besar.
Pertama, pendidikan kita masih cenderung rote learning, menekankan hafalan, bukan analisa. Banyak mahasiswa S1 tidak terbiasa menemukan ide penelitian sendiri, melainkan menumpang pada proyek dosennya. Akibatnya, kebiasaan berpikir bebas tidak tumbuh.
Kedua, budaya instan merajalela. Kegiatan penelitian sering hanya formalitas, sekadar memenuhi syarat administratif kelulusan. Banyak skripsi, tesis, dan disertasi ditulis terburu-buru tanpa kesabaran ilmiah. Di sisi lain, birokrasi penelitian di perguruan tinggi juga tidak memberi ruang cukup untuk penelitian jangka panjang yang serius.
Ketiga, masyarakat luas pun rentan terhadap kehilangan daya analisa. Misalnya, mudah termakan hoaks politik, terjebak polarisasi, atau mengidolakan tokoh hanya berdasarkan retorika. Semua ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan yang melatih analisa dan kesabaran, bukan sekadar memberi ijazah.
Namun demikian kebebasan berpikir dan kesabaran ilmiah masih membutuhkan satu jangkar yaitu laboratorium verifikasi agar semua menjadi berdampak positif.
Kebebasan berpikir memang penting, tetapi agar tidak kebablasan dan melayang tanpa arah, ia membutuhkan laboratorium sebagai jangkar. Laboratorium berfungsi sebagai ruang uji, tempat gagasan liar diuji secara empiris dengan penuh kesabaran sehingga dapat dipilah antara yang hanya fantasi dengan yang benar-benar bermanfaat. Tanpa laboratorium, kebebasan berpikir berisiko menjadi spekulasi kosong, sementara dengan laboratorium, setiap ide diuji melalui eksperimen, data, dan pengamatan yang terukur. Dengan demikian, syarat agar kebebasan berpikir dan kesabaran ilmiah benar-benar berdampak bagi perkembangan ilmu dan masyarakat adalah keberadaan laboratorium—ruang di mana imajinasi bertemu dengan kenyataan, dan kreativitas disempurnakan oleh verifikasi.
Bangsa ini membutuhkan transformasi: dari masyarakat yang reaktif menjadi masyarakat ilmiah. Yang dimaksud masyarakat ilmiah bukan sekadar kumpulan profesor atau banyaknya publikasi, melainkan masyarakat yang berpikir dengan wawasan terbuka dan sabar dalam mencari kebenaran.
Ciri masyarakat ilmiah adalah:
1. Kritis — terbiasa menguji informasi sebelum mempercayai, terbiasa berdebat tanpa benci.
2. Sabar dalam riset — menghargai proses panjang, tidak hanya hasil instan.
3. Terbuka pada dialog lintas disiplin — menyadari bahwa kebenaran tidak tunggal dan bisa ditemukan dari banyak sudut.
4. Berbudaya ilmu — menjadikan belajar bukan hanya aktivitas sekolah, melainkan kebiasaan hidup sehari-hari.
Jika ini berhasil diwujudkan, maka bangsa kita tidak mudah tertipu oleh retorika politik, tidak gampang terseret isu-isu sesaat, dan tidak akan kalah dalam “perang” global yang kini berlangsung.
Di era modern ini, “senjata” sebuah bangsa bukan hanya meriam atau rudal, melainkan ilmu dan teknologi. Namun sebelum memiliki senjata itu, bangsa harus lebih dulu memiliki wawasan. Dan sebelum melahirkan ilmu yang bermanfaat, suatu bangsa harus menapaki jalan panjang kesabaran.
Imam Ali telah menegaskan: “Ilmu hanya dimiliki oleh mereka yang berwawasan dan bersabar.” Imam Khamenei menambahkan: kehilangan analisa adalah kehilangan kemenangan. Maka, pendidikan Indonesia harus menjadikan dua pilar ini—wawasan dan kesabaran—sebagai napasnya.
Jika tidak, kita akan memiliki lulusan banyak, tetapi ilmuwan sedikit; memiliki informasi melimpah, tetapi kebijaksanaan miskin; memiliki sekolah megah, tetapi bangsa tetap tertipu.
Sebaliknya, jika kita berani membudayakan kebebasan berpikir dan meneguhkan kesabaran ilmiah, maka bangsa ini akan melahirkan generasi ilmuwan yang bukan hanya cerdas, tetapi juga kokoh. Dan kelak, masyarakat ilmiah itu akan menjadi benteng sejati bangsa, menghadapi tantangan zaman bukan dengan amarah, tetapi dengan kejernihan analisa dan keteguhan ilmu.
gambar : https://id.pinterest.com/pin/, https://suaramuhammadiyah.id/
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Ir. Khusnul Yaqin, M.Sc. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada Tahun 1992. Pada tahun 2001-2003, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) di Department of Marine Ecology, University of Aarhus, Denmark dengan mengambil spesifikasi di bidang Aquatic Ecotoxicology. Selanjutnya pada tahun 2003, penulis mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S3 dari DAAD dalam Sandwich Scheme “Young Researcher for Marine and Geosciences Studies. Dengan beasiswa itu penulis dapat menimbah khazanah ilmu ekotoksikologi di dua universitas yaitu Institut Pertanian Bogor (Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan) selama dua tahun dan tiga tahun di Techniche Universitaet Berlin (Program Studi Ekotoksikologi), Jerman. Sejak tahun 1992-sekarang, penulis mengabdi sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penulis intensif melakukan penelitian, pengajaran dan penulisan di bidang ekotoksikologi terutama dalam bidang biomarker. Penulis juga secara intensif melakukan pengabdian masyarakat dengan tema transformasi sampah organik maupun non organik menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi.
0 Komentar